SOROT 333

Meradang karena Alam

Kabut asap di Sampit, Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah
Sumber :
  • Antara/ Untung Setiawan

VIVA.co.id - Bau sampah sisa banjir begitu menyengat. Teronggok di sudut jalan kawasan Kampung Pulo, Jakarta Timur. Lalat-lalat beterbangan. Sebagian menyemut di sisa sampah bekas nasi bungkus.

Tiga anak melintas tak jauh dari onggokan sampah itu. Mereka seolah tak menyadari, sampah bekas banjir bisa mengganggu kesehatan. Penyakit pun mudah menyerang. Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dan diare adalah sebagian di antaranya.

Banjir dan dampak yang ditimbulkannya, memang hampir tiap tahun melanda Ibu Kota Jakarta. Cuaca ekstrem yang sering berubah, ikut memengaruhi intensitas curah hujan yang tinggi. Kondisi ini membuat ibu kota mudah tergenang.

Sampah bekas banjir dapat menyebabkan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dan diare.


Indonesia yang berada di negara kepulauan, notabene memiliki kelembapan udara yang kerap berubah karena adanya dua musim berbeda. Indonesia pun tidak lepas dari pengaruh perubahan iklim dan telah mengalaminya sekarang.

Setidaknya itu yang diingatkan Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Direktorat Penyehatan Lingkungan, Kementerian Kesehatan, Mohammad Subuh. Dia mengatakan, ciri itu terlihat dari kenaikan temperatur yang mempengaruhi kelembapan dan berakibat pada mikroorganisme di alam, bukan hanya manusia.

Risiko yang dialami Indonesia itu bisa jadi berawal dari ulah manusia sendiri. Selama lebih dari 50 tahun, aktivitas manusia, khususnya pembakaran fosil untuk energi telah mengeluarkan banyak karbondioksida dan gas rumah kaca.

Keduanya bertanggung jawab besar dalam meningkatkan suhu panas di atmosfer yang memicu perubahan iklim global. Dalam kurun 100 tahun belakangan, menurut data Badan Kesehatan Dunia (WHO), suhu dunia telah meningkat 0,75 derajat selsius. Bahkan tahun ini disebut sebagai tahun paling panas sejak 1850.

Perhitungan WHO, yang dikutip melalui fact sheet dalam situs resminya, perubahan iklim mampu memengaruhi faktor sosial dan lingkungan kesehatan, termasuk di antaranya kebutuhan akan air bersih, air minum dan makanan yang mencukupi, serta tempat tinggal yang aman. WHO memprediksi, antara 2030 hingga 2050, perubahan iklim akan menyebabkan penambahan 250.000 kematian per tahun.

Angka itu didapat karena malnutrisi (95.000 anak-anak), malaria (60.000), diare (48.000), dan stres akan panas (38.000 orang tua). Biaya kerusakan langsung terhadap kesehatan diperkirakan mencapai US$2-4 miliar per tahun pada 2030.

Situasi ini bukanlah isapan jempol belaka. WHO yakin jika perubahan iklim sangat memengaruhi penyakit yang menginfeksi melalui air, penyakit yang ditularkan serangga, siput atau hewan lainnya. Perubahan iklim mampu memperpanjang musim transmisi penyakit penting dan mengubah jangkauan geografis mereka.

Salah satu penyakit yang paling dipengaruhi oleh iklim adalah malaria yang ditularkan melalui nyamuk Anopheles dan membunuh hampir 800.000 orang per tahun, terutama anak-anak berusia di bawah 5 tahun.

Selain itu, nyamuk Aedes yang menyebabkan demam berdarah, juga sensitif terhadap iklim. Studi menunjukkan jika perubahan iklim bisa menambah 2 miliar orang terkena infeksi demam berdarah pada 2080.

Anak-anak paling beresiko terpapar efek penyakit dari perubahan iklim.

Semua populasi di dunia berisiko terpapar efek penyakit dari perubahan iklim, mulai dari penduduk desa, kota kecil, metropolitan, sampai masyarakat pegunungan. Menurut WHO, yang paling berisiko adalah anak-anak, terutama yang berada di negara miskin. Demikian juga dengan orang-orang usia lanjut.
Hutan, Perubahan Iklim, dan Pembangunan Berkelanjutan



Risiko Tinggi
Menyikapi kondisi itu, pemerintah perlu waspada. Sebagai negara tropis, Indonesia memiliki risiko tinggi terhadap peningkatan penyakit yang disebabkan perubahan iklim.

Menurut Subuh, bukan hanya penyakit menular yang diakibatkan perubahan iklim. Penyakit tidak menular juga ada. Kelembapan wilayah karena perubahan iklim bisa memicu asma.

Selain itu, ada malaria, infeksi saluran pernapasan (ISPA), diare, hingga kekurangan gizi. "Untuk penyakit yang terakhir itu, kekurangan gizi, tidak langsung dari perubahan iklim, tapi sebaliknya. Cuaca berubah, temperatur tinggi memengaruhi sektor pertanian, tanaman, dan bahan baku obat,”ujar Subuh.

Sayangnya, Kementerian Kesehatan mengaku hanya bisa berupaya untuk mencegah. Karena, perubahan iklim harus dilakukan oleh banyak instansi terkait, terutama organisasi dunia yang harus bersatu. Kemenkes sekadar memberdayakan masyarakat agar warga mengetahui adanya korelasi antara perubahan iklim dan penyakit.

Intinya, masyarakat diminta untuk menjaga lingkungan agar perubahan iklim tidak semakin parah. Kementerian lain juga dipastikan melakukan hal serupa. Misalnya, membudayakan penanaman pohon, penggunaan bahan anorganik, mengurangi pemakaian AC dan kulkas, cuci tangan sebelum makan, pengelolaan sampah, hingga perilaku hidup sehat.

“Kita sendiri yang harus merekayasa lingkungan itu jadi bersih. Membuat rumah sehat, bukan rumah layak huni," ujar dia.

Beda antara rumah sehat dan rumah layak huni. Rumah sehat mempunyai kriteria tertentu. "Jadi, jendela ukuran sekian, di mana letaknya, luasnya berapa, lantainya dan ventilasinya pun harus dipertimbangkan. Itu rumah sehat. Kalau rumah layak huni, satu dua jendela oke, asal bisa tinggal,” ujar dia.

Subuh melanjutkan, penyakit yang datang dalam diri seseorang dipengaruhi oleh banyak hal. Faktor lingkungan memberikan kontribusi 40 persen dalam kemunculan penyakit, sedangkan faktor perilaku dan gaya hidup berkontribusi sebanyak 30 persen.

Selebihnya, pelayanan kesehatan sebanyak 20 persen dan faktor genetik yang tidak bisa diubah itu berkontribusi sebanyak 10 persen. “Kami juga ada kerja sama lintas sektoral karena tidak bisa mengintervensi lingkungan itu sendirian, harus bersama-sama," ujarnya.

Pemerintah punya konsep dan rencana untuk aksi perubahan iklim, guna mempersiapkan pencegahan atas kerusakan yang lebih dalam. Dari sisi kesehatan dan pertanian, konsep itu dibuat bersama kementerian kehutanan dan lingkungan hidup, perdagangan, dan masih banyak lagi. "Ini bisa efektif jika tertib dilaksanakan, ditambah dengan kesadaran masyarakat,” katanya.

Indonesia Hanya Jadi Pengekor Negara Maju di COP 21 Paris



Kesadaran Masyarakat
Subuh menjelaskan, kesadaran masyarakat sangat berpengaruh besar dalam mencegah peningkatan penyakit karena perubahan iklim. Bahkan, jika pemerintah telah melakukan berbagai cara, kondisi ini tetap akan sulit pelaksanaannya. Karena, masalah perubahan iklim adalah masalah bersama, baik masyarakat, pemerintah dan sektor swasta.

“Kalau cari akar permasalahannya, perubahan iklim ini termasuk lingkaran setan. Bagaimana lingkaran setan itu kita ubah jadi lingkaran malaikat, ya harus ada intervensi ke masyarakat, pemerintah dan swasta," tuturnya.

Dia mengingatkan untuk tidak pernah bosan melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat, Mencegahnya adalah yang paling utama. Mencegah kalau sudah menjadi budaya atau kebiasaan, maka akan ekonomis nilainya. Lebih murah dibandingkan kalau sudah sakit.

"Berobat saja sudah mahal, ini dampaknya kalau sakit. Saya Kira ini yang harus dimengerti. Upaya pencegahan itu sangat memengaruhi dari segi ekonomi,” katanya.

Memang tidak mudah untuk bisa mempersatukan visi dan misi dari seluruh elemen untuk bisa mencegah perubahan iklim. Selain sinergi antarsektoral, komunikasi juga harus dibangun secara intensif, formal maupun informal. Bahkan, semua kementerian di pemerintah diharapkan memiliki inovasi untuk memperkaya sinergi dan menciptakan harmonisasi.

“Yang lainnya, masalah anggaran. UU mengatakan 5 persen dan itu cukup. Tapi, sekarang masih di bawah 2 persen. Untuk mencegah, akan lebih mudah jika 5 persen anggaran terpenuhi,” ujar Subuh.

Bagi masyarakat, dia melanjutkan, sejatinya cukup mudah untuk mencegah dampak perubahan iklim terhadap kesehatan lingkungan. Upaya preventif harus dilakukan, baik dari keluarga maupun lingkungan.

Ini dalam upaya menjaga lingkungan yang bersih dan sehat. Ada baiknya menggunakan barang ramah lingkungan, memproteksi diri, konstruksi dan situasi rumah yang harus sehat, jaminan akses terhadap air bersih, dan tidak membuang sampah sembarangan.

“Perilaku hidup bersih dan sehat juga penting, seperti tidak merokok, menjaga pola makan. Tidak Ada kata terlambat untuk memulai. Kalau kita tidak mulai itu yang jadi masalah,” kata Subuh. (art)

Para pengunjuk rasa membawa spanduk dalam demonstrasi perubahan iklim

Atasi Krisis Energi Harus dengan Kerja Lintas Sektoral

Ego sektoral masih menjadi problem bagi pemerintah daerah

img_title
VIVA.co.id
3 Agustus 2016