SOROT 336

'Kanker' Itu Bernama Pembajakan

Bens Leo
Sumber :
  • VIVA.co.id/Nuvola Gloria

VIVA.co.id - Alunan musik dangdut menghentak. Dentuman suara gendang berpadu dengan lengkingan seruling, mengiringi suara biduan perempuan. Lagu berirama Melayu pun terdengar merdu mendayu. Bersahutan dengan deru kereta dan kendaraan yang lalu lalang.

Siang itu, Jalan Letjen R Suprapto, di kawasan Pasar Senen, Jakarta Pusat, mulai ramai. Lantunan musik dangdut yang keluar dari pengeras suara penjual cakram padat (CD) bajakan itu, menambah hiruk pikuk.

Berbekal kios ala kadarnya, mereka menjajakan "barang haram" tersebut di pinggir jalan. Kios yang tak seberapa besar tersebut dijejali beragam CD bajakan.

Televisi 14 inci tampak digantung di atas deretan CD. Sementara itu, alat pemutarnya berada di sisi kios, tak jauh dari si empunya lapak.

Bak magnet, alunan musik itu berhasil menarik perhatian warga yang lewat. Sejumlah orang bahkan memilih minggir dan memarkir kendaraannya agar bisa mendekati lapak penjual CD bajakan tersebut.

Mereka langsung sibuk memilih dan memilah deretan CD. Sebagian dari mereka ada yang langsung menyodorkan uang dan membawa CD bajakan itu pulang. Sementara itu, sisanya sekadar melihat-lihat deretan cakram padat tersebut.

Saat itu, ada sekitar tiga orang yang membuka lapak, salah satunya Ujang. Pria berusia 30 tahun ini mengaku sudah berjualan CD bajakan sejak setahun lalu.

Riwayat Alat Perekam

“Daripada kerja yang lain, kerja begini paling mudah. Nggak susah lagi,” ujarnya saat VIVA.co.id menyambangi lapaknya, Rabu, 18 Maret 2015.

Ia mengaku mendapatkan CD bajakan dari Glodok, Jakarta Barat. Hasil penjualannya pun lumayan. Tiap hari pasti ada orang yang datang membeli barangnya.

Dia tak mematok harga tinggi. Tiap CD hanya dijual Rp5.000. Bahkan, harganya bisa lebih murah lagi jika membeli dalam jumlah banyak. Meski menjajakan "barang haram", Ujang tak merasa sungkan. Ia juga mengaku tak takut dirazia.

“Asal kita jualannya tahu tempat mah santai saja. Kalau mau razia biasanya ada info, tapi ya kadang-kadang mendadak sih. Cuman kita kan bayar keamanan,” dia menambahkan.



Tak hanya penjual, pembeli juga mengerti, pemerintah melarang pembajakan. Adi (28) misalnya. Karyawan di salah satu perusahaan ini mengakui bahwa ia membeli barang bajakan.

Tapi, ia berdalih hanya membeli. Selain itu, kadang ia kesulitan mendapatkan yang asli. “Kadang kita bingung cari yang asli di mana. Kan tahu sendiri, kaset bajakan itu kadang lebih cepet keluarnya ketimbang yang asli,” ujarnya, saat ditemui usai membeli CD di kawasan Pasar Senen, Jakarta Pusat, Rabu, 18 Maret 2015.

Hal senada disampaikan Yulfa (26). Mahasiswi di salah satu perguruan tinggi di Jakarta ini mengaku mengerti bahwa pembajakan dilarang pemerintah. Namun, ia terpaksa membeli CD bajakan karena harganya lebih murah.

“Beli asli dapat satu dengan harga mahal. Kalau bajakan, harga murah dapat banyak,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Rabu, 18 Maret 2015.

Intan (22) juga memiliki alasan sama. Karyawan swasta di bilangan Karet, Setiabudi Jakarta Selatan ini membeli kaset bajakan karena harganya murah. Dia mengaku sudah sering membeli CD bajakan sejak SMA. Selain murah, membeli CD bajakan juga lebih mudah.

“Pinggir jalan banyak yang jualan. Jadi kita kayak dimanjakan, harga murah, di mana-mana ada,” ujarnya ringan.

Sama seperti Adi dan Yulfa, Intan juga paham betul bahwa pembajakan dilarang. Namun menurut dia, pembajakan ibarat rantai makanan yang susah dipotong dan dihentikan.

Susahnya Berantas Pembajakan
Maraknya aksi pembajakan di Indonesia bukan barang baru bagi kalangan musisi. Rian Ekky Pradipta pun mengaku prihatin. Vokalis grup band d'Masiv ini mengatakan, pembajakan, khususnya musik marak karena masyarakat mudah mengakses internet.

Selain itu, banyak laman yang memfasilitasi download lagu secara gratis. Menurut dia, untuk memberantas pembajakan kuncinya adalah kesadaran masyarakat dan para penikmat musik.

Tak hanya itu, para musisi diminta tak lelah mendidik penggemarnya agar memilih dan membeli yang asli. “Musisi jangan berhenti untuk teriak jangan beli bajakan. Klise tapi jangan capek,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Rabu, 18 Maret 2015.

Kembalinya Piringan Hitam

d'Masiv merupakan salah satu grup band yang belakangan merekam lagunya dalam bentuk piringan hitam (vinyl). Sejumlah kalangan menilai, itu merupakan salah satu upaya guna menekan pembajakan.

Namun, hal itu dibantah Rian. Pria kelahiran Yogyakarta, 17 November 1986 ini mengatakan, piringan hitam juga bisa dibajak. Cuma memang biayanya lebih mahal.

Menurut dia, untuk memberangus pembajakan, pemerintah harus bertindak tegas. Misalnya dengan memblokir laman-laman yang menyediakan fasilitas unduhan musik secara ilegal.

Detik-detik Pelaku Dugaan Pelecehan Seksual Anak di Bawah Umur Diamuk Massa

“Kayak situs porno aja di-cut. Download ilegal juga bisa di-cut,” tegasnya.

Pengamat musik, Bens Leo menyampaikan hal senada. Menurut dia, apa pun mediumnya, tetap bisa dibajak. Menurut dia, pembajakan itu sangat mudah. Orang hanya perlu membeli piringan hitam lalu mentransfernya ke CD.

Nggak ada pengaruhnya. Meskipun vinyl tetap bisa dibajak,” ujarnya saat ditemui di FX Senayan, Jakarta Pusat, Rabu, 18 Maret 2015.

Ia mengatakan, faktor ekonomi merupakan alasan utama yang membuat pembajakan marak terjadi. Di negara berkembang seperti Indonesia, musik belum menjadi konsumsi prioritas masyarakat. Makan, sandang, dan papan masih menjadi konsumsi utama masyarakat.

Menurut dia, pemerintah sudah berusaha memberantas pembajakan dengan membuat Undang-Undang Hak Cipta. Ia mengatakan, beleid itu memuat larangan terkait praktik pembajakan dengan ancaman hukuman yang berat dan membayar denda.

“Tapi, masih sulit diberantas juga,” ujarnya heran.

Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) yang dibentuk pemerintah pun belum kelihatan hasilnya. Selain karena belum lama dibentuk, lembaga yang berisi musisi, akademisi, dan ahli hukum ini hanya lebih banyak menangani masalah royalti.



Kementerian Hukum dan HAM tak memungkiri, praktik pembajakan masih marak dilakukan. Kepala Bagian Hubungan Masyarakat dan Tata Usaha Direktorat Hak Kekayaan Intelektual, Agung Damarsasongko, mengatakan, saat ini memang banyak pembajakan, khususnya di bidang musik.

Menurut dia, pemerintah sudah berusaha mencegah dengan UU Hak Cipta. “Sanksi hukum untuk pembajakan sampai 10 tahun. Dendanya juga sangat tinggi,” ujarnya, Rabu, 18 Maret 2015.

Ia mengklaim, dari tahun ke tahun pemerintah sudah berupaya menekan pembajakan. Dalam UU Hak Cipta yang baru, pemerintah bisa memblokir situs yang menyediakan konten-konten pembajakan.

Agung mengatakan, saat ini peraturan menteri terkait dengan mekanisme atau prosedur pemblokiran itu sedang disusun. “Pelaksanaan teknisnya melalui permen juga sudah mulai dibuat. Mudah-mudahan dalam waktu dekat sudah bisa keluar,” ia menjelaskan.

Selain itu, Kemenkumham sudah menerapkan kawasan berbudaya Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Artinya, kawasan itu harus bebas dari pelanggaran.

Ia mencontohkan seperti di perguruan tinggi. Kemenkumham juga menggelar kampanye bersama, sehingga wilayah kampus dan daerah yang sudah dijadikan budaya HKI memberi stimulan dan menghargai karya orang lain.

Pemerintah juga meminta pengelola pusat perbelanjaaan melarang penjualan barang bajakan. “Dia punya kewajiban pencegahan dan melakukan sosialisasi kepada para pedagang agar tidak menjual barang bajakan,” tuturnya.

Agung mengatakan, kendala utama yang dihadapi dalam memberantas pembajakan adalah kemajuan teknologi. Dulu, dia melanjutkan, pembajakan dilakukan melalui bentuk fisik dan CD.

Namun, sekarang aksi itu dilakukan dalam bentuk digital. Untuk itu, aturan perundang-undangan akan terus direvisi, mengikuti perkembangan zaman. “UU sekarang cukup tegas. Beberapa peluang untuk melakukan pembajakan sudah diantisipasi. Artinya tinggal melakukan penegakan,” katanya.



Mengubah Strategi Pasar
Peneliti HKI Ignatius Haryanto mengatakan, industri musik memang sangat rentan terhadap pembajakan, karena adanya perangkat teknologi yang memudahkan proses berbagi musik secara gratis. Sayangnya, hal ini belum diantisipasi secara baik oleh industri musik.

Menurut dia, ini tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga di dunia. Ia menuturkan, pembajakan marak karena saat ini masyarakat gampang mengakses musik.

Selain itu, munculnya perangkat canggih seperti yang ada sekarang memudahkan proses berbagi. Karena, musik yang ada sudah terdigitalisasi, sehingga mudah dikirim ke berbagai pihak dalam bentuk file saja. Soal harga juga menjadi salah satu faktor penyebab maraknya pembajakan.

“Ketika album resmi barat dijual dengan harga Rp80.000 hingga Rp100.000, sedangkan sebagai file dalam CD, pembajak bisa menjual hanya Rp5.000-6.000, maka konsumen akan mencari yang lebih murah,” ujar penulis buku Sesat Pikir Kekayaan Intelektual ini.

Pria yang akrab disapa Kumkum ini menyarankan, musisi Indonesia belajar dari grup U2. Grup musik asal Irlandia ini memberikan kesempatan masyarakat dunia untuk mendengar sampel tiga lagu dari albumnya di I-tunes sebelum ia merilis albumnya.

U2 memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menikmati dulu atau mencicipi sedikit album barunya. Jika masyarakat suka, mereka akan membelinya. Namun, jika tak suka masyarakat cukup mengambil tiga sampel lagu tersebut.

“Menurut saya, ini terobosan marketing. Karena U2 memberikan kesempatan kepada bukan fansnya untuk mencicipi karyanya. Jika tertarik ia akan jadi fans baru U2,” ujarnya.

U2 memberikan kesempatan masyarakat dunia untuk mendengar sampel tiga lagu dari albumnya di I-tunes.

Berangkat dari apa yang dilakukan U2, Kumkum menyarankan agar industri musik juga melakukan terobosan dalam
marketing
untuk melawan pembajakan. Sebab, menurut dia, dunia digital butuh kecerdasan tersendiri dalam menanggapi perkembangan, termasuk perkembangan dalam dunia musik.


“Sebenarnya peluang itu ada banyak, tinggal mereka berani atau tidak melakukan sejumlah eksperimen tadi,” tuturnya. (art)
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya