SOROT 356

Kala Kekeringan Meradang

Kekeringan di Jawa Tengah
Sumber :
  • ANTARA/Aditya Pradana Putra

VIVA.co.id - Puluhan orang tampak berendam dalam kubangan sungai di Desa Mapeganda, Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT). Pria dan wanita beragam usia ini mandi di kubangan yang sama.

Mereka tak terlihat jijik dan canggung, meski air kubangan tersebut keruh karena bercampur lumpur dan kotoran hewan. Tak jauh dari mereka, kawanan hewan ternak melakukan hal yang sama.

Puluhan kerbau dan sapi milik warga tersebut ikut mandi dan berendam di kubangan yang sama.

Mapeganda merupakan salah satu desa di NTT yang mengalami kekeringan. Warga terpaksa mandi di kubangan, berbagi tempat dengan hewan piaraan mereka. Mereka tak hanya memanfaatkan air kubangan untuk mandi, namun juga untuk masak dan mencuci.

Sumur yang mereka miliki sudah kering kerontang sejak sebulan lalu. Satu-satunya sumber air yang bisa dimanfaatkan warga hanya dari kubangan di sungai yang melintasi desa yang berada di pantai utara Sikka ini.

"Hanya di tempat ini yang masih ada airnya. Dan kami harus berbagi dengan ternak," kata Marsiadi, salah seorang warga yang ditemui VIVA.co.id, beberapa waktu lalu.

Di tempat berbeda, ratusan orang terlihat hilir mudik ke luar masuk hutan. Mereka adalah warga  dari Desa Cemara, Gunungpati, Semarang, Jawa Tengah.

Meski terpaut jauh dari Sikka, nasib mereka hampir sama, yakni mengalami krisis air akibat kemarau panjang yang mendera. Akibatnya, mereka rela antre di sendang yang terletak di tengah hutan demi mendapatkan air bersih.

Tiap hari, ratusan orang antre di Sendang Cemara ini. Sumber air bersih yang diburu warga ini adalah sebuah mata air kecil di bawah pohon besar.

Sendang yang berdiameter tujuh meter ini ramai dikunjungi warga sejak tiga bulan terakhir, meski letaknya jauh dari permukiman warga.

Tak hanya jauh, jalan menuju ke sana juga terjal, sempit, dan curam. Meski jauh dan sulit, warga tetap berbondong-bondong menuju sendang ini, demi mendapatkan air.

Desa Cemara merupakan salah satu wilayah yang mengalami kekeringan terparah di wilayah Semarang. Warga terpaksa mengambil air di sendang. Sebab jika tidak, mereka harus merogoh kocek lumayan dalam untuk membeli minimal empat jeriken sehari seharga Rp10 ribu.

"Kalau beli yang tangki besar kami harus membayar Rp170 ribu per tangki. Karena mahal, kami mending relakan tenaga untuk mandi dan mencuci di sendang," ujar Eko Wartono (37), salah satu warga kepada VIVA.co.id, Rabu, 5 Agustus 2015.

Namun, warga tetap cemas, air sendang yang menjadi tumpuan mereka semakin lama akan semakin habis, seiring kemarau panjang. Sementara itu, mereka tak punya uang untuk membeli air bersih guna memenuhi kebutuhan.

Tak hanya di Semarang. Antrean panjang juga terjadi di Lapangan Gelaran, Kecamatan Paranggupito, Wonogiri, Jawa Tengah. Puluhan warga berdiri memanjang dengan jeriken dan ember di tangan.

Kekeringan di Wonogiri
Puluhan warga berdiri memanjang dengan jeriken dan ember di tangan. Foto: VIVA.co.id/Fajar Sodiq


Hari itu, ada jadwal bantuan air bersih. Mereka datang berbondong-bondong untuk bisa mendapatkan air bersih. Sebab, selama musim kemarau, mereka hanya mengandalkan kebutuhan air bersih dari dropping tangki.

Di daerah ini tak ada sumber mata air. Selama ini, warga mengandalkan air bersih dari bak penampungan air tadah hujan.

Salah seorang warga, Ngatmin, mengatakan, sejak musim kemarau melanda, dia harus membeli air bersih. Air itu digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti memasak, minum, mandi, cuci dan keperluan lain.

"Sejak dua bulan lalu saya sudah mulai membeli air bersih dari tangki. Satu-satunya sumber air, ya, dari membeli tangki itu," ujarnya kepada VIVA.co.id, Rabu, 5 Agustus 2015.

Untuk bisa memenuhi kebutuhan air sehari-hari, Ngatmin terpaksa menjual hewan ternaknya berupa seekor kambing. Hasil penjualan kambing tersebut bisa untuk membeli 4-6 tangki air bersih.

"Dengan uang hasil penjualan kambing itu sudah saya gunakan untuk membeli 4 tangki air bersih. Setiap tangki harganya sekitar Rp150 ribu," dia menambahkan.

Ngatmin terpaksa menjual hewan ternaknya, karena sudah tak memiliki uang lagi guna membeli air. Karena, hasil uang dari lahan pertaniannya sudah habis untuk membeli air saat awal musim kemarau melanda dua bulan lalu.

"Sekarang mau menjual hasil pertanian juga sudah tidak ada yang bisa dijual. Punyanya hewan ternak, ya, dijual saja untuk membeli air,” tuturnya.

Kebiasaan warga menjual hewan ternak untuk mencukupi kebutuhan air bersih diamini Camat Paranggupito, Haryanto. Menurut dia, setiap kali musim kemarau datang, warga beramai-ramai menjual hewan ternaknya untuk membeli kebutuhan air bersih.

"Satu-satunya jalan, ya, dengan membeli tangki air bersih karena untuk mengambil air bersih dari telaga jelas tidak memungkinkan. Telaga di wilayah sini airnya hasil dari tadah hujan. Kalaupun masih ada, airnya pasti sudah keruh dan kotor," ujarnya kepada VIVA.co.id, Rabu, 5 Agustus 2015.

Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Wonogiri, Bambang Haryanto, mengatakan, di Kabupaten Wonogiri ada 8 kecamatan yang mengalami kekeringan. Kecamatan itu adalah Paranggupito, Selogiri, Manyaran, Eromoki, Nguntoronadi, Giriwoyo, Giritontro, dan Pracimantoro.

"Dari 8 kecamatan itu ada sekitar 38 desa yang daerahnya mengalami kekeringan,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Rabu, 5 Agustus 2015.

Berdasarkan data BPBD Wonogiri, jumlah warga yang mengalami kekeringan mencapai 67.320 jiwa dari 18.169 kepala kerja (KK). Untuk memenuhi kebutuhan air, warga mengandalkan pasokan tangki air bersih.

"Warga hanya bisa menggantungkan kebutuhan air bersih dari dropping tangki," ujarnya.

Untuk itu, BPBD Wonogiri telah melakukan kegiatan bantuan dropping air di daerah yang dilanda kekeringan tersebut. Jumlah tangki air bersih yang sudah didistribusikan mencapai 264 tangki.

"Tangki tersebut mendistribusikan air bersih di sejumlah bak penampungan air milik warga,” ujarnya.

Kekeringan di Wonogiri

BPBD Wonogiri telah melakukan kegiatan bantuan dropping air di daerah yang dilanda kekeringan. Foto: VIVA.co.id/Fajar Sodiq



Kekeringan Panjang
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyatakan, musim kemarau sudah terjadi sejak Maret dan April. Kekeringan terjadi di sebagian besar wilayah Indonesia khususnya di Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.

Monitoring Hari Tanpa Hujan (HTH) dari BMKG menunjukkan, sejumlah wilayah di Jawa, Bali, NTB, dan NTT telah mengalami HTH lebih dari 60 hari. Dengan kata lain telah mengalami kekeringan ekstrem.

Kepala Sub Bidang Analisis dan Informasi Iklim BMKG, Ardhasena Sopaheluwakan, mengatakan, kemarau diperkirakan berlangsung hingga akhir Oktober 2015. Menurut dia, fenomena El Nino menyebabkan kemarau tahun ini lebih panjang dari biasanya.

“Daerah-daerah di Indonesia yang berpotensi terkena dampak El Nino adalah Sumatera Selatan, Lampung, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan,” ujarnya kepada VIVA.co.id saat ditemui di kantornya, Jakarta Pusat, Kamis, 6 Agustus 2015.

Selain BMKG, beberapa badan pemantauan serupa milik negara lain juga memprediksi El Nino akan terus menguat. National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) dari Amerika Serikat memperkirakan, tren El Nino semakin menguat pada September-Desember.

Menurut dia, Indonesia harus siap dengan dampak terburuk dari El Nino ini seperti kekeringan dan berkurangnya cadangan air. “Dalam jangka panjang kita harus punya kesiapsiagaan. Untuk musim kemarau selanjutnya, harus ada upaya untuk menyimpan air seperti membangun waduk dan sejenisnya,” katanya.

Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menyatakan, berdasarkan ramalan, musim kemarau tahun ini akan lebih panjang dari sebelumnya. Manajer Penanganan Bencana Walhi Indonesia, Mukri Friatna, mengatakan, dibanding 2013 dan 2014, tingkat kekeringan sekarang ini jauh lebih parah.

Pertama, durasinya jauh lebih panjang. Selain itu, dampak dari kekeringan ini juga akan lebih parah terhadap sektor pertanian.

“Tentu akan banyak produk-produk pertanian yang mengalami gagal panen atau bahkan tidak berproduksi sama sekali karena tidak bisa diolah tanahnya,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Rabu, 5 Agustus 2015.

Sungai Batanghari Surut

Debit air Sungai Batanghari terus mengalami penyusutan akibat kemarau yang melanda daerah itu sejak dua bulan terakhir. Foto: ANTARA/Wahdi Septiawan



Langkah Pemerintah
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengklaim, mereka sudah melakukan berbagai langkah antisipasi terkait bencana kekeringan ini.

Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho, mengatakan, antisipasi yang dilakukan adalah menyusun langkah kedaruratan dalam menghadapi kekeringan. Selain itu, BNPB menggelar rapat koordinasi dengan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD).

“BNPB juga menyiapkan dana Rp75 miliar untuk didistribusikan ke provinsi. Nanti pemprov yang akan membagikan ke kabupaten/kota. Dana itu akan digunakan untuk operasional distribusi air bersih, perbaikan pipa, dan perbaikan bak-bak penampungan,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Rabu, 5 Agustus 2015.

Ia mengatakan, memang ada opsi membuat hujan buatan. BPBD bersama BPPT melaksanakan hujan buatan sejak Juni lalu sampai sekarang. Tapi, itu dilakukan di Riau dan Sumatera Selatan untuk memadamkan kebakaran hutan dan lahan.

Menurut Sutopo, ada 16 provinsi, 102 kabupaten/kota, dan 721 kecamatan yang mengalami kekeringan. Sementara itu, sekitar 111 ribu hektare sawah mengalami kekeringan.

Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Basuki Hadimuljono mengatakan, pemerintah sudah memantau belasan waduk guna memastikan kondisi debit air.

Menurut dia, dari 16 waduk yang dimonitor memang ada yang kering. Namun, karena ada hujan, ia yakin saat ini kondisinya sudah membaik.

“Ketua Komite Nasional Indonesia-International Commission on Irrigation and Drainage, Pak Hasan (Mohamad Hasan) kemarin bilang, dari 16 waduk utama, itu yang tadinya kering, sekarang sudah mulai ke kondisi normal defisit. Defisit artinya masih ada air yang kita operasikan dengan pola kering,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Rabu, 5 Agustus 2015.

Ia menambahkan, dari 91 waduk yang dimonitor di seluruh Indonesia, hanya 17 waduk yang airnya susut. Artinya, air dari waduk masih bisa digunakan untuk musim tanam hingga Oktober.

Menurut Basuki, ada sekitar 7,4 juta hektare sawah yang mengalami kekeringan. Ia mengatakan, yang kekeringan biasanya sawah irigasi teknis yang airnya dari waduk.

Namun, yang lebih dominan adalah yang air untuk sawahnya bukan dari waduk, tapi bendungan. “Untuk antisipasi, kita masih punya 760 pompa yang disiapkan,” katanya.

Hal senada disampaikan Menteri Pertanian, Amran Sulaiman. Ia mengatakan, kementerian sudah mengantisipasi kekeringan sejak dini.

Menurut dia, sejak Januari, pemerintah telah membangun irigasi tertier. Selain itu, pemerintah sudah menyiapkan puluhan ribu pompa. Kementerian juga membuat embung, parit, dan sumur dangkal.

“Irigasi tertier 1,3 juta hektare sudah selesai fisiknya. Kemudian pompa sudah di petani semua,” ujarnya di Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis, 6 Agustus 2015.

Ia mengatakan, Indonesia endemis kekeringan 200.000 hektare setiap tahun. Untuk itu, ia membentuk tim khusus guna menangani kekeringan, banjir, dan hama.

Mentan mengklaim, dengan sejumlah langkah antisipasi tersebut, pemerintah berhasil menyelamatkan sekitar 100.000 hektare lahan persawahan.

Ia juga optimistis, target produksi gabah akan tercapai. Ia  menjamin, cadangan pangan masih aman, sehingga pemerintah belum memutuskan impor pangan. “Jadi impor adalah pilihan terakhir,” kata Amran.

Lahan Terancam Kering

Dari 91 waduk yang dimonitor di seluruh Indonesia, hanya 17 waduk yang airnya susut. Foto: ANTARA/Ahmad Subaidi

Pernyataan senada disampaikan Dirjen Tanaman Pangan Kementerian Pertanian, Hasil Sembiring. Ia mengatakan, Kementan sudah melakukan langkah-langkah antisipasi terkait kekeringan. Salah satunya dengan memperbaiki infrastruktur pertanian.

“Kita sudah perbaiki infrastruktur itu seperti irigasi, penyimpanan air, tandon air (embung), dan pemberian pompa air. Kita juga sudah komunikasi dengan pemda supaya tidak memaksakan menaman padi di daerah yang endemis dan kurang air,” ujarnya kepada VIVA.co.id, di Jakarta, Kamis 6 Agustus 2015.

Ketua Komisi IV DPR RI, Edi Prabowo, mengatakan, kekeringan yang terjadi saat ini bukan yang pertama. Menurut dia, kekeringan dan perubahan iklim merupakan siklus alam yang terus berulang setiap tahun.

Untuk itu, seharusnya pemerintah tanggap dan mempunyai strategi yang matang guna menghadapi ancaman kekeringan.

Menurut dia, menteri pertanian, menteri kehutanan, menteri pekerjaan umum dan perumahan rakyat, BMKG, BNPB, BPPT, dan semua stakeholder yang terkait hingga tingkat daerah, seharusnya sudah siap dengan ancaman dan dampak dari kekeringan tahun ini.

“Ini penting, karena kekeringan dan ancaman El Nino akan berdampak pada banyak sektor, bukan hanya pertanian,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Rabu, 5 Agustus 2015.

Ia menegaskan, pemerintah harus serius menyikapi ancaman ini. Jangan sampai, penanganan kekeringan ini dilakukan ala kadarnya, setengah-setengah dan tidak menyelesaikan masalah.

Menurut dia, pemerintah harus mempunyai roadmap yang jelas dalam menghadapi ancaman kekeringan. “Koordinasi harus dilakukan dengan semua stakeholder di tingkat pusat dengan tetap melibatkan pemerintah daerah. Ini tidak bisa dikerjakan sendiri. Harus dikerjakan bersama-sama,” tuturnya.

Hari menjelang sore. Namun, puluhan warga Desa Mapeganda, Sikka, NTT, masih berdatangan ke sungai. Mereka juga mandi dan berendam di kubangan secara bergantian, bersama kawanan hewan ternak piaraan.

Mereka menunggu negara mengulurkan tangan, agar tak lagi menggunakan air kubangan, untuk mandi dan melanjutkan kehidupan. (art)

Amuk El Nino

Laporan: Octavianus Fredi Koban/tvOne

Nusantara Terancam Kekeringan

Separuh penduduk dunia tak punya air bersih. Krisis air menggejala.

img_title
VIVA.co.id
8 Agustus 2015