- NASA
VIVA.co.id - Layar monitor berukuran besar itu bertengger di salah satu ruangan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), yang berlokasi di Jakarta Pusat. Puluhan orang bergantian memantau pergerakan yang ada di peta itu. Pemantauan semakin intensif saat siang menjelang.
Apalagi saat ini, ketika Indonesia menjadi bagian dari negara yang terkena dampak kekeringan. El Nino disinyalir menjadi penyebabnya.
El Nino, nama yang indah didengar dan terkesan macho. Sayangnya, nama ini tidak sesuai dengan dampak buruk yang ditimbulkannya.
Menurut BMKG, El Nino bukanlah gelombang panas seperti yang sedang melanda India dan telah menewaskan ribuan orang warganya. El Nino adalah gejala penyimpangan kondisi meningkatnya suhu permukaan laut yang signifikan di samudera Pasifik sekitar ekuator, khususnya di bagian Tengah dan Timur.
Dampaknya adalah pengurangan jumlah curah hujan yang signifikan di beberapa negara, termasuk Indonesia.
“Berbeda dengan gelombang panas yang tidak terlalu lama, El Nino adalah fenomena yang cukup panjang dan hanya terjadi di Samudera Pasifik dan sekitarnya.
Ini dikarenakan uap air yang terangkat dari Samudera Pasifik hanya sedikit maka curah hujan pun menurun dan bisa menyebabkan kekeringan. Gelombang panas sendiri, kecil kemungkinan terjadi Indonesia,” ujar Kepala Sub Bidang Analisa dan Informasi Iklim BMKG, Ardhasena Sopaheluwakan.
Dikutip dari laman National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), ilmuwan di lembaga pemantauan cuaca milik Amerika itu menyebut jika El Nino tahun ini bisa menjadi yang terburuk sepanjang masa.
Jika tidak diantisipasi, selain menimbulkan kekurangan air bersih dan sulitnya pasokan pangan, warga dunia juga bisa terkena infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), karena debu yang ditimbulkan dari lahan kering. Selain itu potensi kebakaran di daerah lahan gambut juga mesti diwaspadai jika kemarau panjang menjelang.
“Kemunculan El Nino sebenarnya sudah lama , sejak 10.000 tahun lalu. Namun observasi mengenai El Nino baru bisa dilakukan sejak adanya satelit cuaca," ujar ahli meteorologi dari divisi riset topan badai NOAA, Stanley Goldenberg, yang dilansir dari laman National Geographic.
Oleh karena itu, sepanjang sejarah, kami baru bisa menentukan adanya dua El Nino paling dahsyat yang pernah terjadi di dunia. "Satu fenomena di 1982-1983 dan satu lagi di 1997-1998,” lanjut Goldenberg.
Dijelaskan Goldenberg, saat fenomena El Nino di 1982-1983, wilayah Ekuador dan Timur Peru ditempa hujan deras terus menerus. Hujan berkelanjutan memacu pertumbuhan tanaman dan menarik kawanan belalang. Populasi katak dan burung pun melonjak.
Suhu lembab dan basah menyebabkan nyamuk tumbuh subur dan jentik menyebarkan malaria. Lalu pd 1997-1998, El Nino kembali menyebabkan bencana, khususnya kekeringan, yang melanda banyak negara, khususnya Indonesia dengan suhu udara yang sangat tinggi.
Sama seperti NOAA, BMKG juga mengakui El Nino yang berkunjung di tahun 1997-1998 merupakan yang terburuk sepanjang sejarah Indonesia. Saat itu area yang terkena dampak mencapai 11,6 juta hektar dengan total kerugian USD2,75 miliar.
El Nino yang tidak diundang dan kerap datang sekitar 5 sampai 7 tahun sekali, di tahun itu menyebabkan kebakaran lahan gambut sekitar 1,45 juta hektar dan menyumbang 2,5 gigaton emisi CO2.
“Paling parah memang tahun 1997. Apalagi saat itu pengetahuan kita soal El Nino juga masih kurang. Tahun ini El Nino dalam level moderat tapi diprediksi menguat hingga akhir tahun. Kita harus bersiap dengan dampak terburuknya, seperti kekeringan dan berkurangnya cadangan air,” ucap Ardhasena.
Selain kerusakan lingkungan, kerusakan daerah aliran sungai (DAS), pencemaran lingkungan, hal lainnya karena kebutuhan air meningkat namun ketersediaan air berkurang atau relatif tetap. Jadi gak imbang antara supply and demand,” ujar Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas BNPB.
BMKG juga meyakini jika El Nino bukanlah penyebab satu-satunya kekeringan di Indonesia. Hanya saja, fenomena ini adalah yang paling dominan, selain letak geografis Indonesia yang dekat dengan laut, alam yang sudah rusak, serta udara yang semakin tercemar.
Menurut pihak BMKG, jika wilayah Indonesia dingin tentu saja akan menyebabkan kemarau dan potensi kekeringan yang lebih tinggi karena tidak ada uap air untuk pasokan hujan.
“Jadi, wilayah pulau Jawa bagian tengah ke arah timur, kemaraunya lebih panjang. Suhu muka laut Sulawesi Tenggara, Ambon, Papua bagian selatan lebih dominan pengaruhnya. Sedangkan Kalimantan cukup hangat," ujar Kukuh Ribudiyanto, Kepala Bidang Peringatan Dini Cuaca, BMKG.
Sumatera, Kalimanta Utara, tidak berpengaruh karena daerah ekuator. Agustus adalah puncak kemarau. "Normalnya hanya sampai Oktober namun sekarang mundur sampai November,” lanjut dia.
Menurut Kukuh, selain Indonesia, negara lain yang terkena dampak buruk El Nino berupa kemarau panjang atau kekurangan air, adalah negara Asia dan sekitarnya, seperti Australia dan Filipina. Sedangkan di benua seberang seperti Amerika, dampak cuaca ekstrim bisa berbentuk hujan lebat sampai banjir.
Oleh karena hal ini sudah masuk dalam ketentuan alam, BMKG sendiri tidak bisa merekayasa cuaca untuk menghindari El Nino. “Paling hanya menggunakan teknik modifikasi cuaca, mempercepat hujan di wilayah yang berawan,” kata Kukuh.
Namun langkah itu diakui memang cukup memakan biaya. BNPB pun menyarankan pemerintah untuk mengantisipasi hal ini selama masih ada waktu.
Setidaknya, dampak buruk kekeringan tidak meningkat setiap El Nino menghantam Indonesia. Untuk hal ini yang harus dilakukan adalah kerja sama dari berbagai instansi, seperti Dinas Pekerjaan Umum maupun Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup.
“Benahi dulu sektor hulunya. BNPB dalam hal ini hanya menangani jangka pendek saja. Untuk jangka panjang, PU bisa melakukan manajemen sumber daya air dari sekarang.
Atau Kemenhut dan LH bisa menangani terkait kondisi alam, kehutanan dan lingkungan hidup. Kementerian Pertanian juga bisa membantu, atau tata ruang perijinan yang ditangani pemerintah daerah harus diperketat,” ujar Sutopo.
Sampai Awal 2016
NOAA memperkirakan El Nino, yang sudah berlangsung sejak Zaman Es (10.000 tahun lalu), bisa berlangsung cukup lama, mulai pertengahan 2015 sampai Februari-Mei 2016. Sedangkan BNPB melihat adanya periode yang berbeda di tiap wilayah Indonesia yang mengalami kekeringan.
“Ada yang mulai sejak April kemarin, ada juga yang bulan Mei. Untuk wilayah Indonesia, ada berbagai macam karena kita memiliki 3 tipe hujan. Seperti Maluku dan perairan yang puncak hujannya bulan juli, otomatis kekeringan berbeda dengan wilayah di Jawa. Sebagian besar kita memiliki tipe hujan yang puncak normalnya di September – Oktober,” ujar Sutopo.
Dalam pantauan BMKG, Musim Kemarau memang sudah terjadi sejak bulan Maret dan April di sebagian besar wilayah Indonesia khususnya di Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.
Monitoring Hari Tanpa Hujan (HTH) dari BMKG menunjukan wilayah-wilayah di Jawa, Bali, NTB dan NTT telah mengalami HTH lebih dari 60 hari, atau dengan kata lain telah mengalami kekeringan ekstrim.
Dari pemantauan suhu muka laut, BMKG melihat kolam hangat belum sepenuhnya bergeser ke Pasifik Tengah dan Timur. Namun El Nino di tahun ini menunjukan tren penguatan karena kolam hangat cenderung semakin bergeser ke arah timur, dimana terdapat Kepulauan Indonesia.
Dari situ BMKG memprediksi, El Nino akan semakin menguat hingga mendekati batas ambang kuat El Nino, dan diprediksi bertahan sampai awal tahun 2016.
Dampak El Nino ini tidak saja dikemukakan pakar cuaca, namun juga dari lembaga keuangan dunia. Menurut studi dari Dana Moneter Internasional (IMF), yang ditulis profesor ahli ekonomi dari University of Cambridge, London, Kamiar Mohaddes, negara seperti Amerika, China, Meksiko dan Eropa tidak akan terlalu merugi akibat dampak El Nino. Berbeda dengan India, Australia, Peru dan Indonesia, yang diprediksi akan menjadi negara paling merugi.
“Menurut kalkulasi dari studi yang dilakukan IMF, rata-rata, El Nino ‘sehat’ bisa meningkatkan ekonomi Amerika sekitar 0,55 persen dari GDP, menjadi US$90 miliar tahun ini. Namun sebaliknya di Indonesia, perekonomian negara itu bisa terpangkas cukup banyak. Indonesia bisa rugi banyak, khususnya karena kekeringan dari El Nino mempengaruhi industri tambang, pembangkit listrik, pertanian (cokelat, kopi dan lainnya),” ujar Mohaddes.
Untuk itu, apa yang dikatakan BNPB ada benarnya. Sudah saatnya pemerintah mulai melakukan perbaikan di segala lini, baik sistem pengelolaan air, perbaikan lingkungan, dan pembuatan daerah resapan air. Sekaligus memperbaiki sistem pemantauan cuaca yang dimiliki oleh BMKG. Ini agar setiap fenomena El Nino, yang datang setiap lima sampai tujuh tahun sekali, hal itu bukan lagi dianggap sebagai ancaman yang berarti. (ren)
Dampak El Nino di India, Australia, Peru dan Indonesia diprediksi akan menjadi negara paling merugi. Foto: Reuters