Seperti Udara Jakarta, Dunia Pers Kita juga Terkontaminasi
- VIVAnews/Nurcholis Anhari Lubis
VIVA – Setiap orang memiliki keunikan, dan Ketua Dewan Pers yang baru, Muhammad Nuh, termasuk yang sangat unik. Ia tak pernah terlibat langsung dalam dunia jurnalistik, tapi kini menjabat sebagai Ketua Dewan Pers untuk periode 2019-2022. M Nuh terpilih sebagai wakil dari masyarakat.
Karier tingkat nasional pria kelahiran Surabaya, 17 Juni 1959 dimulai ketika ia menjabat sebagai Rektor Institute Teknologi Sepuluh November Surabaya periode 2003-2006. Melesat dengan menduduki posisi Menteri Komunikasi dan Informatika pada 2007-2009, lalu menjadi Menteri Pendidikan Nasional pada 2009-2014.
Meski tak memilki latar belakang jurnalistik, tapi M Nuh memiliki perspektif tentang dunia jurnalistik, kompetensi wartawan, dan bagaimana arus informasi bergerak dengan sangat deras saat ini. Kepada VIVAnews yang menemuinya pada Kamis, 18 Juli 2019, di gedung Dewan Pers, ia menjabarkan visi misinya, termasuk seluruh rencana kerja yang sudah ia siapkan untuk mulai memperbaiki sistem kerja di Dewan Pers, pembenahan kompetensi wartawan, termasuk meningkatkan kesejahteraan karyawan.
Selengkapnya wawancara dengan M Nuh bisa Anda nikmati di bawah ini:
Anda tidak memiliki latar belakang di dunia media. Apa yang membuat Anda tertarik mencalonkan diri sebagai bagian dari Dewan Pers?
Saya kan pernah di Kominfo. Di Kominfo kan juga memiliki kaitan dengan media. Kalau menurut saya begini, apa sih produk utama dari media atau pers? Pers itu kan mesin, yang menghasilkan informasi. Dengan kata lain pers adalah mesin yang memproduksi sebuah informasi. Di zaman sekarang ini kalau tidak ada informasi, bubar ini.
Kalau kita mengikuti perjalanan dari dunia keilmuan itu kan alurnya sederhana, data menghasilkan informasi, informasi mencari korelasi antar informasi yang lain, kemudian lahirlah knowledge atau ilmu pengetahuan. Itu mainframe-nya, paketnya kan seperti itu. Tapi ternyata ini ada kaitannya dengan society (masyarakat), society ada kaitan dengan revolusi industri.
Pada saat revolusi industri ketiga lalu atau revolusi industri 3.0 yang lalu, di masyarakat itu orang menyebutnya information and knowledge society atau masyarakat yang berbasis informasi dan keilmuan . Itu revolusi industri 3.0 sampai 4.0. Sekarang kan eranya revolusi industri 4.0. Nah, kalau masyarakat itu menyebut bahwa revolusi industri 4.0 ini adalah masyarakat yang berbasis informasi dan ilmu pengetahuan tapi mesin produksi informasinya tidak jalan, kira-kira bagaimana jadinya? Nah, ini yang saya kira kita semua harus konsen di situ. Sehingga wartawan atau media ketika menulis sebuah informasi, itu bukan sekedar menulis informasi tok.
Maksudnya, wartawan harus punya frame sendiri sebelum menulis?
Karena ini urusannya negara. Jadi bingkai besarnya itu urusan negara, dan wartawan itu bagian dari bingkai besarnya itu tadi. Karena masyarakat sekarang butuh informasi. Itu sama halnya dengan manusia hidup yang ketergantungan akan oksigen. Sekarang ini kalau tak ada informasi, klepek-klepek.
Gak usah kita bicara orang dewasa, anak kecil saja sekarang ini kalau enggak pegang smartphone untuk mengakses informasi mereka kesulitan. Karena apa? Karena informasi sudah melekat kaya oksigen, melekat dengan manusia.
Nah, sekarang pertaruhannya tinggal kualitas oksigennya. Kalau oksigennya terkontaminasi dengan polusi, dan lain sebagainya, ketika kita menghirup oksigen bukan tambah sehat, tapi tambah sakit. Sama dengan informasi, kalau kita menangkap atau menerima informasi yang tak karuan, tidak punya basis data yang bagus, orang yang membaca berita atau informasi itu tak akan tambah pintar, karena informasi yang dia dapatkan adalah informasi yang tidak sehat atau tidak berbasiskan data. Oleh karena itu, tugas kita, tugas Dewan Pers yang harus terus dikembangkan ke depan adalah quality of jurnalist.
Terkait kualitas jurnalis, bagaimana Anda melihat kondisi media saat ini?
Sama seperti oksigen Kota Jakarta, contaminated (terkontaminasi). Tapi kan kita tidak bisa membiarkan ini terus menerus terkontaminasi kan? Tugas kita adalah bagaimana polusi oksigen itu kita kurangi, kita kurangi, kita kurangi.
Cara apa yang Anda tawarkan untuk menguranginya?
Caranya pertama, tidak boleh ada knalpot yang terlalu besar, tanaman diperbanyak. Artinya larinya ke kualitas membenahi oksigen yang terkontaminasi itu tadi. Oleh karena itu saya katakan kepada kawan-kawan, tolong di periode ini jadikan peningkatan kualitas para jurnalis sebagai part of priority. Itu harus prioritas. Kenapa? Karena dia yang menulis berita. Kalau dia menulis sebuah informasi tapi secara basic individu dia tidak memiliki critical of thinking sebagai basis kritis atas sebuah informasi atau sebuah keadaan, dia akan menulis informasi itu sembarang atau asal-asalan saja.
Oleh karena itu ini akan kita jadikan prioritas, mulai dari pelatihan, sertifikasi, termasuk perlindungan, dan kesejahteraan untuk pers juga harus menjadi prioritas kita juga. Jadi kompetensi wartawan itu kita tingkatkan, kesejahteraan wartawan juga harus kita perhatikan.
Wartawan itu hampir sama nasibnya dengan dosen atau guru. Dosen itu sekolahnya dulu sekali, lima tahun enam tahun yang lalu, tapi ngajarnya sekarang, dan mengajar untuk masa depan. Wartawan juga demikian, banyak wartawan yang belajar untuk jadi wartawan atau pelatihannya sudah lama sekali, tapi dia harus bekerja, harus menulis di masa kini, untuk masa depan. Jadi istilah Jawanya itu, kulakannya masa lalu, di dodol (jualannya) sekarang, tapi harapannya bisa dipakai nanti. Padahal jaman berubah-ubah. Lah, terus gimana kalau kaya gitu? Kalau orangnya tidak mau mengubah kualitasnya, yaa kacau toh? Iyaa kan, kondisinya seperti itu sekarang ini kan, jamannya berubah, tapi mindsetnya tidak berubah.
Di ilmu revolusi industri kan juga begitu, apa sih yang membedakan antara revolusi industri 3.0 dengan revolusi industri 4.0? Kan ada filosofinya di situ. Filosofinya antara lain adalah kecepatan.
Menurut Anda, apa yang menyebabkan media kita terkontaminasi?
Jadi begini, saya punya falsafah yang sampai saat ini saya pegang. Hidup itu tidak bisa dipisahkan dari alam. Alam ini adalah universitas kehidupan. Di situ banyak sekali yang bisa kita ambil sebagai analogi atau kias. Kalau ditanya apa yang menyebabkan produk media terkontaminasi? Pertama kontaminasi by embedded. Karena yang nulis berita ini dia tidak mengerti, atau tidak memiliki critical of thinking itu tadi, pasti error. Misalnya, Anda menulis tentang bursa saham, tapi Anda tak mengerti tentang bursa saham, sudah pasti error itu yang Anda tulis. Artinya kompetensi di situ diperlukan.
Misalnya anda menulis tentang konflik Mesuji. Tetapi anda tidak mengerti konstruksi sosialnya itu seperti apa, paling banter beritanya itu, '4 Orang mati karena konflik warga di Mesuji' isinya paling mati karena dibacok, kemudian keluarga atau kerabat korban membalas dengan bacokan, dan seterusnya. Dari situ apa yang didapatkan oleh masyarakat? Yang didapat hanya sekedar berita, bukan informasi, belum informasi. Nah, yang kita butuhkan itu informasi. Maka disinilah pentingnya kawan-kawan terus kita dorong, untuk terus belajar. Tidak ada ceritanya orang tidak mau belajar.
Di zaman perubahan ini, kata kunci untuk menjadi orang sukses itu adalah dia pembelajar sejati. Siapa saja? Mau dia presiden, menteri, kalau dia tidak mau belajar, di zaman sekarang, dia akan ketinggalan.
Tapi Anda menyebut soal berpikir kritis, mengapa menurut Anda itu hal penting?
Iya, wartawan itu harus kritis. Dia harus bisa melihat celah, apa sebenarnya yang terjadi. Karena apa? Karena wartawan atau media, atau informasi itu memiliki tiga fungsi. Pertama, berita yang Anda sajikan itu harus part of how to educaded the people. harus ada nilai edukasinya. Karena yang dibutuhkan masyarakat di era informasi dan ilmu pengetahuan adalah informasi yang bisa mencerdaskan pembaca. Karena kalau masyarakatnya tambah cerdas, tambah dewasa, dia akan punya self censoring. Jadi kalau masyarakat tidak punya self censoring, begitu dia mendapatkan berita apa saja, tidak peduli itu berita sumbernya dari mana, datanya seperti apa, langsung dimakan sama dia. Dan itu tidak hanya dimakan sendiri, tapi dia ikut menyebarkan informasi atau berita itu.
Anda mengkhawatirkan badai informasi yang salah sangat berdampak pada kerusakan di masyarakat?
Peran media di masyarakat bukannya revisable proses, tapi unrevisable proses. Revisable proses itu proses yang bisa dikembalikan. Kalau unrevisable tidak bisa dikembalikan. Jadi informasi atau berita yang dihasilkan oleh wartawan tidak bisa dikembalikan lagi seperti semula, meskipun ada hak jawab. Jadi begitu wartawan menulis tentang berita atau informasi yang keliru, dampaknya bisa fatal tak karuan.
Apalagi di zaman sekarang, entah yang online, offline, berita capture atau difoto, disebar melalui grup-grup WA, melalui media sosial itu luar biasa cepat itu tersebar. Meskipun besoknya media itu mengklarifikasi bahwa berita yang ditulis oleh si-A adalah keliru atau ada hak jawabnya, tapi apakah hak jawab atau klarifikasi itu bisa mengembalikan informasi yang salah yang sudah kadung tersebar itu? Tidak.
Apa saran Anda untuk meningkatkan kompetensi wartawan?
Jadi kompetensi yang dimiliki oleh wartawan itu ada tiga. Pertama, attitude itu related dengan integrity, dan seterusnya. Kedua, skills. Ketiga, knowledge. Jadi attitude-nya juga harus bagus, skills-nya juga harus bagus, dan harus ada knowledge-nya. Kalau dia punya skill tapi attitude-nya tidak bagus, yaa apa jadinya? Atau kalau Anda knowledgenya bagus tapi tak punya skill atau tak bisa nulis, ya apa jadinya? Kan gitu. Jadi wartawan harus memiliki tiga hal itu tadi, attitude, skill, dan knowledge. Kenapa knowledge itu penting? Pertama, supaya kualitas tulisan itu memiliki rasa, agar tulisan itu memiliki eksplisit knowledge.
Kemudian, yang kedua, berita yang kita sajikan itu adalah berita yang memiliki nilai pemberdayaan. Kenapa saya sampaikan ini? Karena ini urusan kebangsaan. Kalau saya gambarkan itu media sebagai bingkai besar, bingkainya itu adalah filosofi bernegara. Apa sih tujuan bernegara? Kalau kita buka UUD 45, pertama melindungi segenap tumpah darah. Kedua, meningkatkan kesejahteraan, ketiga, mencerdaskan. Dan keempat adalah ikut serta dalam perdamaian bangsa-bangsa. Sehingga media sebagai bingkai berbangsa dan bernegara, maka dia harus berperan di situ, entah di melindunginya, entah di menyejahterakannya, entah di mencerdaskannya, entah di perdamaian. Nah hal itu bisa dilakukan kalau mindset kita itu selalu memberdayakan, bukan memperlemah pilar yang kita punya.
Ketiga, realitas. Realitas berita itu kan macam-macam. Sehingga orang atau pembaca itu bingung, ini yang benar yang mana ini. Karena sudut pandang berita itu bisa berbagai macam, bisa A, bisa Y, bisa X, bisa Z. Oleh karena itu, menjadi tugas media agar masyarakat tidak bingung.
Apakah kompetensi itu bisa menjamin mindset wartawan sudah aman?
Hal yang juga tidak kalah penting adalah memberikan pencerahan. Media harus mampu memberikan pencerahan kepada masyarakat. Jangan sampai ketika masyarakat sedang bingung, ditambah lagi dengan berita yang menambah kebingungan, tambah rumit masyarakat nanti. Filosofinya kalau kita ingin memberikan pencerahan itu sama dengan lampu. Lampu itu cahaya yang paling tinggi tingkat kecerahannya adalah lampu warna putih. Dan cahaya putih itu bisa terjadi jika seluruh spektrum warna ada di dalamnya. Jadi harus mengandung unsur cahaya dari yang lain juga, MeJiKuHiBiNiYu. Begitu salah satu spektrum cahaya itu ada yang anda ambil, tidak akan putih itu cahaya lampu.
Jadi apa filosofinya, pencerahan itu bisa kita lakukan kalau kita memiliki the wholeness atau pemikiran yang utuh, tidak partisan. Oleh karena itu lah saya katakan, media itu tidak boleh nempel (dengan kekuasaan). Media kok nempel. Media itu harus independen, dan wilayah kerja media itu harus in beetween, di antara. Kalau media itu tidak di antara, maka media itu menjadi bagian, jadi alat propaganda. Namanya juga media, makanya ada istilah mediator, penengah. Dan penengah itu harus independen dia, netral dia, tidak boleh nempel dengan kekuasaan.
Problemnya kan hari ini tidak sedikit media yang memang dari segi kepemilikan memiliki hubungan dengan kekuasaan?
Iya. Nempel sekarang ini, banyak yang nempel. Ini yang perlu saya sampaikan, kita kembalikan lah ke khittoh, ruhnya. Pemilik siapa saja boleh memiliki media, tapi harus dipisahkan antara pemilik dengan substansi media itu.
Oleh karena itu, sekali lagi dia harus memberikan pencerahan. Tapi syaratnya itu tadi, dia harus memiliki pemikiran yang utuh atau the wholeness. Ini semua dipakai untuk apa sih? Dipakai untuk nasional kita kok. Bingkainya itu harus dijaga. Maka dari situlah yang tidak boleh diganggu gugat adalah kebebasan. Tapi perlu diingat, kebebasan semata tidak menjamin kebaikan. Oleh karena itu, tetap ruang kebebasan kita beri, tapi kita juga harus punya kompetensi.
“Mohammad Nuh mengawali kariernya sebagai dosen Teknik Elektro ITS pada tahun 1984. Ia kemudian mendapat beasiswa menempuh magister di Universite Science et Technique du Languedoc (USTL) Montpellier, Prancis. Mohammad Nuh juga melanjutkan studi S3 di universitas tersebut. Tahun 1997, ia diangkat menjadi Direktur Politeknik Elektronika Negeri Surabaya (PENS) ITS. Pada tanggal 15 Februari 2003, Mohammad Nuh dikukuhkan sebagai Rektor ITS. Di tahun yang sama, ia juga dikukuhkan sebagai guru besar (profesor) bidang ilmu Digital Control System dengan spesialisasi Sistem Rekayasa Biomedika. Nuh menjadi rektor termuda dalam sejarah ITS, yakni berusia 42 tahun saat menjabat. Semasa menjabat sebagai rektor, ia menulis buku berjudul Startegi dan Arah Kebijakan Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi (disingkat Indonesia-SAKTI).”
Bagaimana anda menyikapi pertumbuhan media online yang saat ini terus menjamur bahkan sekarang sampai ribuan jumlah media?
Ini perlu dipahami juga oleh kita bersama. Ada produk jurnalistik, artinya dia yang sudah sesuai dengan kaidah, dia ada penanggung jawab, ada izin, dan lain sebagainya. Ada juga produk yang sebenarnya bukan produk jurnalistik. Nah, sepanjang produk jurnalistik itu DP gampang mengaturnya, karena definited, tertentu. Sudah jelas karena terdaftar kan.
Tapi realitasnya sekarang kan tidak seperti itu, ada yang terdaftar, ada juga yang X,Y,Z kan. Tapi karena dia itu juga mengeluarkan oksigen, artinya dia memproduksi berita juga. Saya katakan kepada teman-teman begini, zaman sekarang ini sudah berubah. Mungkin dulu kalau untuk media cetak, jelas kita mengidentifikasi media mana yang benar media mana yang bukan. Karena barangnya kan ada hasil cetakannya, gampang juga kita kontrolnya, tinggal kita cek, nyetak di mana dia ini? Ayo kita datangi, kita cek. Kalau dia kacau, kita 'cekel' kan gitu. Tapi sekarang, mainnya bukan dicetakan, mainnya kan di wilayah Cyber. Maka kaidah-kaidahnya tidak bisa menggunakan kaidah yang nonvirtual. Approach nya pun juga gak bisa.
Bagaimana peran DP untuk mengontrol agar media-media itu sesuai dengan kriteria yang tadi Anda sampaikan?
Saya mengibaratkan Dewan Pers ini sebagai rumah, dulu kita memiliki 5 atau 10 media yang kita anggap sebagai anak kita. Tapi seiring berjalannya waktu kan anaknya bertambah banyak nih, dan tak mungkin juga anak yang tinggal di luar karena tidak punya kamar itu kita biarkan mereka tidur di luar rumah. Oleh karena itu, rumahnya kita gedein, atau paling tidak atap rumah kita kita luasin agar anak yang tidak punya kamar itu tadi tidak kehujanan, tidak kepanasan di luar.
Dengan cara apa meluaskannya? Apakah mengganti UU, misalnya?
Pengertian rumah itu harus dibesarkan tidak harus mengubah undang-undang. Secara policy menurut saya sudah cukup. Artinya kita tidak perlu mengubah pondasinya. Tapi bagaimana kita bisa ciptakan agar semuanya itu menjadi bagian dari pada kita, bisa menjadi part of we are. Kalau semua sudah masuk ke dalam, akan lebih mudah untuk kita mengaturnya. Kan gampang saja, semua produk jurnalistik itu urusannya di bawah UU Pers, tapi kalau mereka tidak mau diurus, itu berarti bukan produk jurnalistik, dan urusannya berarti sama undang-undang yang lain, urusannya sama polisi.
Artinya, kita akan menata itu. Tetapi tidak cukup kalau kita menata dari sisi jumlahnya saja. Karena kalau jumlahnya itu bertambah terus, enggak rampung-rampung urusannya. Belum lagi dengan agenda hutang piutang DP yang lainnya.
Bicara utang piutang, apa saja utang piutang Dewan Pers dari komisioner yang lama?
Satu, aduan. Setiap hari itu ada ratusan yang mengadu ke sini. Kedua, sertifikasi atau uji kompetensi. Ketiga, verifikasi media.
Apa yang akan Anda lakukan untuk menyelesaikannya?
Saya sudah minta kepada teman-teman untuk tolong gambarkan ke saya bagaimana proses sertifikasi, verifikasi media itu kaya apa. Selama ini proses verifikasi itu kan media harus melaporkan dan mencantumkan seluruh syarat-syarat administrasi langsung ke sini. Ada proses pengiriman, kemudian kita cek, kalau ada yang kurang kita kasih tahu mereka untuk memenuhi kekurangannya. Dari situ kelihatan, syaratnya saja sudah rumit. Untuk memenuhi syarat dan mengirimnya juga butuh waktu, kita mengecek satu persatu syarat administrasinya juga butuh waktu lagi. Habis verifikasi administratif, kita harus mengecek langsung ke lapangan. Saya katakan, kalau kita semua harus ngecek turun ke lapangan satu persatu, enggak bakal rampung ini semua, berapa orang tim yang di pusat kan gitu. Belum lagi biaya mengeceknya.
Bagaimana memperbaikinya?
Ke depan ini kita ubah sistemnya. Daftar atau verifikasi administrasi harus bisa dilakukan by online, jadi orang gak perlu bolak balik kirim. Nanti kalau ada yang kurang tinggal dipenuhi kekurangannya tinggal upload saja, jadi prosesnya bisa cepat. Kemudian verifikasi faktual, saya minta nanti kita kerjasama dengan pihak universitas di daerah, atau lembaga pers yang sudah terakreditasi untuk membantu mengecek faktual di lapangan. Masa jaman online kita masih manual. Nah, ini yang lagi kita coba kembangkan, online service atau e-services. Jadi nanti kalau orang mau dirikan media itu tinggal akses web kita saja, syaratnya apa, dia tinggal submit, dia submit, dia submit saja. Begitu lengkap semua kita kasih nomer registrasi, berarti dia sudah verified administratif. Maka kita sudah bisa berikan izin, dia bisa jalan. Tetapi nanti tetap kita verifikasi faktual, jika dalam verifikasi faktualnya meleset, maka izin kita cabut langsung, dan kita blacklist nama yang bersangkutan sekian tahun tidak boleh mengurusi perizinan mendirikan media lagi.
Bagaimana dengan aduan?
Sama juga dengan pengaduan. Kita sudah petakan ada berapa macam aduan. Sudah berapa aduan yang sudah kita selesaikan, kasusnya seperti apa saja, kita sudah petakan semuanya. Dari situ kita buat formula. Sehingga ke depan kita tidak perlu bolak balik rapat pleno ngurusin pengaduan saja, waktunya habis ngurusin itu nanti. Kan kita sudah bisa belajar dari kasus-kasus yang sudah pernah kita tangani. Kalau kasus-kasus yang sensitif, yang punya dampak besar, itu yang perlu kita kelola, kita harus selesaikan melalui pleno, karena harus hati-hati dalam memutuskan. Tapi kalau kasusnya sekedar kasus administratif, kita bisa selesai tanpa harus pleno berulang kali.
Nah, ciri dapat menyelesaikan masalah itu syaratnya itu gampang, dia tidak boleh berpihak, independen, dan itu yang harus kita jaga betul. Kalau tidak, kacau juga kita nanti.
Bagaimana cara Anda memastikan komisioner tetap independen?
Ada tiga approach. Kan sama-sama tahu sebenarnya track of record sesama komisioner ini, dulu sebelum di DP dia tugas di mana? Kan ada pernah di media A, media B, dan lain lain. Nah pada saat membahas satu kasus dan perkaranya itu related atau ada hubungannya dengan tempatnya dia bekerja dulu, itu kita minta komisioner itu agar tidak memegang perkara itu, agar kenapa? Agar tidak menimbulkan conflict of interest.
Bagaimana progres verifikasi media sejauh ini?
Ini yang lagi kita garap. Saya juga sudah undang kawan-kawan UI, untuk membantu e-services. Gara-garanya simple ini, suatu saat saya menandatangai sertifikat. Pas saya mau tandatangan sertifikat itu, ada lampiran surat tulisannya bahwa yang bersangkutan tidak bisa dikeluarkan sertifikatnya, dengan alasan dia beraliansi partai, dsb. Lalu saya mikir, pasti kesal orang ini, dia sudah ikut pelatihan ternyata sertifikat tidak keluar. Oleh karena itu saya coba cari formula untuk menghindari hal itu terjadi lagi, saya cek juga siapa saja lembaga pelatihnya, semuanya saya cek.
Nah dari situ ketahuan, yang harus dibenahi adalah keterangan atau syarat kriteria orang bisa ikut pelatihan sertifikasi. Jadi wartawan juga harus tahu sejak awal, kalau tidak memenuhi kriteria seperti ini sudah pasti tidak bisa ikut pelatihan atau dapat sertifikat dia, jadi diberitahukan atau ditegaskan di syarat pertama itu.
“Selain sebagai rektor, Mohammad Nuh juga menjabat sebagai Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Jawa Timur, Pengurus PCNU Surabaya, Sekretaris Yayasan Dana Sosial Al Falah Surabaya, Anggota Pengurus Yayasan Rumah Sakit Islam Surabaya, serta Ketua Yayasan Pendidikan Al Islah Surabaya. Muhammad Nuh juga dikenal sebagai seorang Kiayi, sering memberi ceramah dan khutbah jumat di berbagai masjid di Surabaya dan dikenal sebagai Ulama.”
Dengan sistem online, proses verifikasi administrasi sudah langsung dilakukan?
Nanti setiap orang yang daftar di sini (secara online) datanya masuk ke server e-services, dan satu lagi harus masuk ke data base DP. Sehingga siapa saja yang daftar itu saya punya record juga. Jadi saya juga bisa mengecek, ini orang yang benar-benar ikut daftar dan ikut pelatihan, atau dia cuma daftar saja terus keluar sertifikatnya. Kan semuanya harus diperhatikan juga itu. Jangan sampai nanti ada lembaga yang bisa mengeluarkan sertifikat pelatihan jurnalis, tapi kita tidak bisa menjamin semua lembaga penyelenggara uji kompetensi itu. Kan bisa saja ada yang nakal.
Oleh karena itu, sekarang sistem sedang kita bangun. Mudah-mudahan dalam waktu dua tiga bulan ke depan ini selesai semuanya, kita bisa pakai e-services supaya bisa lebih efisien, cepat dan praktis.
Termasuk ketika rapat pleno kemarin, kan saya tidak tahu itu ada sistem pelatihan berjenjang, madya dan Pratama itu. Saya minta dijelaskan juga kemarin, apa bedanya kompetensi pada jenjang itu. Kemudian penentuan pelatihnya siapa, materinya apa saja, apakah masih cocok atau tidak dengan zaman sekarang. Ini yang saya kira harus selalu di update, upgrade, update, upgrade, terus menerus.
Kan ternyata baru ketahuan ada lembaga yang tidak pernah buat pelatihan, tapi ada juga lembaga yang rajin buat pelatihan. Itu kita cek semua. Apa masalahnya, kenapa ada lembaga yang tidak pernah mengadakan pelatihan, padahal kan dia qualified.
Artinya ke depan Dewan Pers akan mengecek dan mengontrol uji kompetensi wartawan?
Iya, termasuk itu. Karena ujungnya itu kita menginginkan para jurnalis itu kompetensinya bisa terjaga. Sehingga proses pembentukan di sini, semuanya harus kita pastikan berjalan dengan baik. Karena goalnya itu tadi bagaimana kita dapat melahirkan jurnalis yang memiliki kompetensi dan integritas yang tinggi.
Terkait dengan banyaknya media yang belum terverifikasi. Apa upaya yang akan dilakukan DP untuk mengerjakan PR itu?
Ada dua opsi. Opsi pertama, wes gak usah direken mereka. Kita fokus memperhatikan yang terdaftar dan mau diatur saja. Opsi kedua, tetap tak bisa kita cuekin mereka ini. Tugas kita untuk tetap mengawasi anak-anak kita semua itu tadi. Oleh karena itu, produsen yang sudah menjadi anak kita dengan baik tetap kita berikan perhatian, terus untuk anak-anak yang sudah diatur ini kita cari penyakitnya. Ini harus disehatkan. Karena kalau tidak disehatkan, ini nanti akan menjadi kontaminator mereka ini. Sehingga tidak cukup I don’t care. Karena semuanya kan hidupnya di Dewan Pers kan.
Dan anda mengambil opsi kedua?
Iya, semuanya kita ajak. Karena kita ini perahu besar.
Sebelumnya banyak kasus pers yang ditarik ke ranah pidana. Bagaimana Anda akan menyelesaikan persoalan-persoalan itu?
Iya, selama ini kan memang kita punya MoU dengan kepolisian untuk menyelesaikan persoalan pers ke ranah UU Pers. Nah, understanding ini kan sebenarnya pendekatannya lebih ke human approach, bukan administrative approach. Sehingga yang harus kita lakukan itu membangun komunikasi kembali dengan penegak hukum. Ayo, saling mengerti lah, kita saling membantu, sehingga hubungan personal itu terus terjaga. Kalau tidak jalan, rumit juga nanti. Karena saya punya keyakinan, meskipun ada perkara, selama hubungan personalnya bagus semua bisa terselesaikan.
Nah bagi DP, kalau ada media yang kena kriminalisasi seperti itu, goal kita tetap memberikan perlindungan, sehingga di situlah peran kita untuk tetap membangun komunikasi dengan kepolisian untuk memperhatikan perlindungan kebebasan pers sesuai dengan UU Pers. Tapi kalau ada wartawan yang nakal dan melanggar pidana secara personal, ya enggak bisa kita selesaikan.
Selama ini pemidanaan dilakukan dengan dalih UU ITE. Anda mantan Menkominfo. Sebenarnya bagaimana semangat UU ITE itu dibuat?
Ini saya katakan dengan tegas nih, memang selama ini dikit-dikit UU ITE, UU ITE terus. Jujur saya merasa bertanggungjawab. Lha, saya dulu dalam dua tahun di Kominfo menyelesaikan empat undang-undang. UU ITE, UU Keterbukaan Informasi Publik, UU Pornografi, kemudian UU Pos. Itu sensitif-sensitif semua itu.
Kembali ke pertanyaan UU ITE tadi, jujur saya rasakan, saya itu juga heran. Semangatnya dulu waktu kita buat Transaksi Elektronik atau UU ITE itu bukan semangat buat ngurusin yang kaya gini. Semangatnya itu untuk memberikan payung transaksi ekonomi, bisnis. Yang waktu itu ada kebutuhan, masa zaman sekarang ini tanda tangan harus tandatangan basah semua, lalu piye iki ceritane, dari situlah muncul elektronik signiture. Terus yang tadinya dokumen itu harus ketik atau surat visual, SMS gak bisa, email gak bisa dipakai sebagai evident document. Di UU ITE itu diberikan payung. Jadi goalnya dulu terus terang bukan untuk urusan yang seperti sekarang ini, urusannya adalah urusan untuk ekonomi. Untuk memanfaatkan ITE itu untuk kepentingan bisnis, kepentingan ekonomi, kepentingan kesejahteraan.
Nah, saya enggak tau itu kenapa semangatnya UU ITE itu bisa berubah. Itu jawaban untuk memenuhi pertanggungjawaban moral saya.
Selain masalah verifikasi media dan kompetensi wartawan, apalagi pekerjaan rumah dari komisioner sebelumnya yang akan diselesaikan?
Begitu kita ditetapkan Keppresnya oleh presiden, saya sampaikan kepada teman-teman, apa yang sudah dikerjakan oleh pengurus yang lama, akan kita lanjutkan. Tetapi tidak boleh berhenti sampai di situ saja, kita juga harus menyelesaikan perkara-perkara yang belum terselesaikan di sini. Karena belum terpikir, atau karena keterbatasan waktu, dan seterusnya. Jadi kita tidak ingin ganti masinis terus gerbongnya dibuang, tidak begitu, sudah bukan zamannya ini. Tidak ada masalah itu yang bisa di cut off begitu saja, itu tidak ada. Jadi apa yang baik dari kepengurusan yang lama harus diteruskan, dan mencari yang baru yang lebih baik.
Nah yang baru itu apa?
Kemarin saya juga sudah sampaikan di rapat internal, kita harus mikir yang strategis. Karena jaman ini kan terus berubah, jadi kalau kita yang di dewan pers itu waktunya habis hanya karena menjalankan rutinitas-rutinitas seperti ini saja, maka kepengurusan akan datang pun dia akan menghadapi perkara-perkara yang luar biasa lagi. Oleh karena itu, yang rutinitas-rutinitas ini tetap kita selesaikan, tapi kita mikir pers ke depan itu harus seperti apa. Artinya kita harus punya road map untuk pers ini. Misalnya, dari perspektif perusahaannya seperti apa, dari perspektif kompetensinya seperti apa, dari perspektif infrastrukturnya seperti apa, nah ini yang harus kita persiapkan semuanya. Karena sekarang ini perkembangan teknologi informasi akan semakin cepat, maka perusahaan media dan kita pun juga harus menyesuaikan perubahan zaman itu tadi. Sekarang itu informasi kan obesitas, maka yang diperlukan adalah menganalisis, jadi wartawan itu harus terus memperkuat literasi IT nya.
Apa harapan Anda terhadap Dewan Pers, juga untuk industri media?
Jadi ada tiga wilayah yang saya ingin sampaikan. Wilayah pertama adalah wilayah moralitas dan spiritualitas. Karena saya selalu mengaitkan pekerjaan dengan spiritualitas. Karena di situlah nilainya dalam setiap pekerjaan. Nah, berita juga seperti itu. Kalau kita menulis tidak hati-hati, itu bahaya lho. Gara-gara tulisan itu, rumah tangga orang bisa hancur. Nah, kita tidak ingin tulisan-tulisan di media massa jadi seperti itu. Tetapi sebaliknya, kalau gara-gara tulisan anda itu orang bisa menjadi empower, dan sampai diikuti oleh orang, maka orang lain akan mendapatkan manfaatnya, dan Anda pun yang menulis juga akan mendapatkan kebaikan dari apa yang Anda tuliskan itu.
Kedua, zaman terus berubah. Mau tidak mau kita mesti menghadapi perubahan zaman ini. Kalau wartawan tidak mau terus belajar meningkatkan kualitas pengetahuannya, dia menulis berita itu hanya sekedar berita saja nanti. Yang mahal itu kan bukan berita, tapi informasinya. Jadi dia harus bisa mengkaitkan perspektif dengan utuh. Kalau itu bisa dilakukan, maka berita atau informasi itu bisa menghasilkan knowledge.
Ketiga, biar bagaimana pun juga wartawan itu manusia. Maka, perlindungan tetap harus kita perhatikan. Karena bisa jadi wartawan itu juga keliru, namanya juga manusia, pasti ada salahnya. Sepanjang dia masih bertugas sebagai wartawan, kalau dia memiliki masalah terkait dengan pemberitaannya, maka domain penyelesaian masalahnya harus menggunakan UU Pers. Selain itu, kesejahteraan wartawan juga harus diperhatikan. Namanya juga wartawan ini manusia, masa gak butuh makan (kesejahteraan) iya kan? Oleh karena itu kita juga wajib mendorong tingkat kesejahteraan untuk teman-teman pers.
Jadi begitu, ada dimensi moralnya, ada dimensi manusia nya, ada dimensi profesionality juga.
Apa yang akan dilakukan Dewan Pers untuk mendorong perusahaan pers menyejahteraan karyawannya?
Itu konsepnya beda. Tidak bisa pakai peraturan-peraturan, approach-nya beda. Pendekatannya lebih pada membangun komunikasi dengan cara face to face, dari hati ke hati dengan industri media. Dan itu akan saya akan lakukan.
Jadi tiga itu yang akan saya lakukan, dan itu bukan opsi, tapi harus. Pertama upgrading kompetensi. Kedua, perlindungan untuk wartawan. Dan ketiga, kesejahteraan untuk wartawan.