Tindak Anarkisme Orang Tua kepada Anak

Yulina Eva Riany
Sumber :
  • Yulina Eva Riany
VIVAnews
4 Tersangka Kasus Penganiayaan Taruna STIP hingga Tewas Terancam 15 Tahun Penjara
- Sejumlah kasus tindak kekerasan terhadap anak di bawah umur yang dilakukan oleh orangtua kandung korban sendiri merupakan fenomena memilukan yang kian marak terjadi di masyarakat.

Sekda Jabar Herman Suryatman Bertemu Pj. Bupati Bogor

Sebut saja kasus Widiastuti, bocah berusia lima tahun yang mengalami rangkaian penganiayaan oleh ibunya sendiri hingga akhirnya meninggal dunia,  17 Mei 2013). Bayi malang Khodijah juga mengalami nasib yang sama akibat dianiaya oleh ayah kandungnya sendiri, 3 Desember 2013.
Polwan Satlantas Polres Depok Datangi Anak yang Viral Nangis Kelaparan di Bojonggede


Bahkan, peristiwa yang menghebohkan masyarakat Bangkinang pada pertengahan bulan ini adalah tindakan yang dilakukan oleh orangtua kandung Adit (6 tahun) yang selain tega menganiaya korban hingga terluka parah, juga dengan sampai hati membuang Adit ke kebun kelapa sawit, 19  Desember 2013.

Meskipun faktor penyebab terjadinya penganiayaan orangtua terhadap anak kandung ini beragam, fenomena tindak kekerasan ini dapat dijelaskan dari sudut pandang teori psikoanalisis dan psikososial. Berbagai faktor internal dan eksternal keluarga dipercaya sebagai pemicu terjadinya tindak kekerasan orangtua kandung terhadap anaknya sendiri.

Sigmund Freud (1886) dengan teori psikoanalisisnya menjelaskan bahwa pada dasarnya dorongan untuk melakukan tindak kekerasan memang sudah menjadi sifat dasar manusia. Setiap manusia berpotensi untuk melakukan tindak kekerasan, baik terhadap dirinya sendiri maupun orang lain. Hal ini dipengaruhi oleh struktur jiwa manusia itu sendiri yang terdiri atas tiga bagian, yaitu id, ego, dan superego.


Freud mendefinisikan Id sebagai insting bagi individu. Id bekerja berdasarkan prinsip intuisi untuk hidup termasuk di dalamnya nafsu dan kesenangan.


Oleh karena itu, sejak lahir, seorang manusia sudah memiliki id di dalam pribadinya dalam upaya mempertahankan hidupnya. Sementara itu, superego didefinisikan sebagai prinsip ideal mengenai aturan yang dianggap baik dan tidak baik dalam kehidupan.


Superego mulai berkembang ketika individu berusia sekitar lima tahun melalui proses internalisasi norma yang diadopsi dari perilaku orangtua dan orang-orang di sekitar anak.


Superego yang merupakan kontrol individu dalam bertindak, berkembang sebagai hasil pembelajaran dan pencontohan dari lingkungan tempat seseorang hidup. Sedangkan ego bekerja berdasarkan prinsip realita di dalam kehidupan yang berfungsi sebagai penyeimbang antara id dan superego.


Freud menilai bahwa pribadi individu yang sehat adalah yang memiliki keseimbangan antara ketiga hal tersebut. Individu yang memiliki intensitas superego yang terlalu kuat di dalam dirinya akan menjadi pribadi yang sangat kaku dan cemas terhadap aturan, baik dan tidak baik, baik pada dirinya dan lingkungan di sekitarnya.


Hal ini memicu seseorang untuk mengalami mental distress yang berlebihan sehingga tidak jarang membahayakan orang lain di sekitarnya, termasuk anaknya sendiri sebagai individu terdekat.


Ambil contoh, kasus yang dilakukan oleh DSD (18) yang tega menganiaya anaknya sendiri DLR (5) hingga tewas (17 Maret 2013). DSD tega memukuli DLR dan mendorongnya ke lantai kamar mandi hingga sang anak mengalami pendarahan otak lantaran sang Ibu menganggap bahwa tindakan sang anak balita tersebut yang tidur pada pagi hari adalah melanggar aturan.


Oleh karena adanya tekanan superego yang kuat pada pribadi sang Ibu, reaksi berlebihan terhadap kesalahan kecil sang anak pun muncul dalam tindakan anarki.


Berbeda halnya dengan pribadi individu yang didominasi oleh Id, Freud menjelaskan bahwa ketidakseimbangan struktur jiwa yang didominasi oleh Id akan membahayakan lingkungan sekitarnya karena tidak adanya kontrol norma yang melekat pada pribadi diri seseorang.


Dominansi Id dan kegagalan internalisasi superego pada karakter individu akan menghasilkan karakter yang beringas, tidak punya kontrol dan menghalalkan berbagai cara demi mencapai tujuan yang ada, termasuk memenuhi hasrat, nafsu, dan kesenangan yang merupakan panggilan naluriah dari dalam diri seseorang.


Sebut saja kasus yang dilakukan oleh Ervina (36) dan Surya (35) terhadap Adit (7) anak mereka yang telah dengan sengaja dianiaya hingga menderita luka berat dan dibuang ke kebun sawit.


Ervina menuturkan alasannya tega menganiaya dan membuang anaknya adalah karena ketidakmampuannya dalam menahan nafsu amarah yang disebabkan oleh ulah nakal anaknya tersebut.


Dengan adanya dominansi id di dalam diri sang ibu dan rendahnya kontrol superego, Ervina dengan mudah terlarut dalam luapan emosi jiwanya yang meledak-ledak dan tidak mengindahkan aturan sosial yang menjelaskan azas kepatutan perilaku dalam masyarakat. Sehingga Ervina dengan tega melakukan tindakan anarki kepada anaknya sendiri selama kebutuhan untuk memuaskan nafsu amarahnya terpenuhi.


Selain itu, kondisi sosial-ekonomi keluarga, interaksi sosial, dan kontrol sosial masyarakat dinilai sebagai faktor eksternal yang juga menjadi pemicu terjadinya tindak anarki orangtua kepada anaknya.


Penelitian menunjukkan bahwa mayoritas tindak kekerasan terhadap anak terjadi pada keluarga dengan kondisi sosial-ekonomi yang rendah. Hal ini terjadi karena tekanan sosial-ekonomi (terlilit hutang, rendahnya kemampuan ekonomi, dll) menjadi penyebab tingginya tingkat stres pada orangtua.


Stres orangtua inilah yang menjadi cikal bakal munculnya amarah, rendahnya tingkat kesabaran dan tingginya tensi orangtua terhadap berbagai masalah yang muncul. Bahkan, tidak jarang orangtua yang tidak kuasa untuk mengatasi tekanan emosionalnya ketika muncul masalah kecil di dalam keluarganya.


Namun, parahnya, anaklah yang sering menjadi korban ledakan emosi sang orangtua karena selain anak adalah pihak terdekat, risiko untuk mendapatkan perlawanan balik dari sang anak pun sangat kecil. Sehingga ekspresi amarah yang berlebihan sebagai solusi pelarian masalah sering ditumpahkan orangtua terhadap anaknya.    


Ditambah lagi, kebiasaan memberlakukan hukuman fisik dalam interaksi sosial sehari-hari antara anak dengan orangtua juga dinilai sebagai faktor eksternal yang bertanggungjawab atas munculnya tindak kekerasan yang lebih serius terhadap anak.


Tidak jarang masyarakat kita masih menerima, meyakini serta menerapkan hukuman fisik sebagai metode ampuh dalam menciptakan karakter baik pada anak. Padahal, hal tersebut tidak hanya dapat membahayakan fisik anak, namun lebih dari itu dapat menyisakan trauma berkepanjangan hingga anak dewasa.


Oleh karena itu, peringatan Hari Ibu, 22 Desember ini diharapkan dapat mengingatkan kembali para orangtua, khususnya Ibu untuk dapat menjadi figur contoh bagi pembentukan pribadi anak melalui penciptaan lingkungan keluarga yang sehat, harmonis dan bebas dari tindak kekerasan baik fisik maupun mental bagi anak-anak yang merupakan generasi penerus keluarga dan bangsa.


Harapannya, dengan tidak adanya kekerasan yang dilakukan oleh orangtua, kualitas perkembangan fisik dan jiwa meliputi karakter dan pribadi yang sehat pada anak dapat dicapai secara optimal.


Yulina Eva Riany adalah peneliti dan kandidat Doktor Bidang Ilmu Perkembangan Manusia dan Ilmu Rehabilitasi Kesehatan di The University of Queensland, Australia.




Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya