- Antara/ Rosa Panggabean
VIVAnews - Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak sependapat dengan imbauan Nahdlatul Ulama (NU) agar ulama tidak mensalatkan jenazah koruptor. Bagi MUI, mensalatkan jenazah seseorang yang beragama Islam, meskipuna dia koruptor, hukumnya adalah fardhu kifayah--wajib dikerjakan meski oleh sebagian muslim.
"Jangan melarang orang untuk mensalatkan jenazah. Orang Islam itu tetap harus disalatkan. Kalau tidak ada yang salatkan, dosa kita," kata Ketua Bidang Fatwa MUI Ma'ruf Amin dalam perbincangan dengan VIVAnews, Kamis, 19 Agustus 2010. "Imbauan itu tidak relevan. Untuk menjerakan koruptor bukan dengan cara itu."
Menurut Ma'ruf, MUI menyayangkan imbauan NU itu, karena yang harus disoal adalah hukumannya di penjara, bukan soal disalatkan atau tidak. "Urus bagaimana cara menghukumnya di penjara," kata Ma'aruf.
Untuk korupsi, menurut Ma'ruf, MUI sudah mengeluarkan fatwa yang lebih memberi solusi, misalnya: fatwa kewajiban pembuktian terbalik atas harta para pejabat.
Metode pembuktian terbalik dilakukan bila dalam penyidikan suatu kasus korupsi, penuntut belum memiliki data-data yang akurat tapi pejabat terlihat memiliki kekayaan tidak wajar dari yang semestinya. Karena itu si pejabat itu yang harus membuktikan hartanya sah.
"MUI sudah maju pakai pembuktian terbalik untuk menjebak si koruptor supaya bisa dijerat. Si pejabat itu harus membuktikan dia dapat harta dari mana," ujar Ma'ruf.
Imbauan yang ditentang MUI itu disampaikan Sekretaris Jenderal Katib Am Syuriah Nahdlatul Ulama (NU) Malik Madany. Menurut Malik, para ulama diimbau tidak menyalatkan jenazah koruptor yang meninggal dunia. Alasannya, korupsi merupakan kejahatan kemanusiaan yang luar biasa.
"Para koruptor itu tidak perlu disalatkan para ulama, karena ulama itu para pewaris Nabi. Jadi cukuplah semacam Banser dan Garda Bangsa saja yang mensalatkannya," kata Malik Madani dalam peluncuran buku 'Koruptor itu Kafir' semalam. (umi)