Quo Vadis TNI AU?

Formasi jet tempur TNI AU.
Sumber :
  • ANTARA/Widodo S. Jusuf

VIVA - Langit Jakarta pada Senin, 9 April 2018, tampak sepi dan tenang. Tak ada suara menderu dari mesin pesawat tempur yang biasanya mengaum-ngaum seolah menggambarkan suasana perang atau pertempuran yang mencekam.

Prajurit TNI AD Tewas Dikeroyok di Penjaringan Jakut

Padahal pada hari itu, Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI AU) tengah memperingati usianya yang ke-72 tahun. Biasanya, mereka melakukan demo udara yang diisi oleh aksi-aksi jet tempur di langit Jakarta.

Ternyata, mereka memang sengaja memilih konsep yang sederhana pada peringatan ulang tahun kali ini yaitu dengan mengadakan pesta rakyat. Kenapa demikian?

Kodam: Rachel Vennya Dibantu Paskhas TNI AU saat Kabur Karantina

Dalam keterangan pers di Halim Perdanakusuma, Sabtu, 7 April 2018, Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU), Marsekal TNI Yuyu Sutisna, menjelaskan bahwa institusinya ingin mendekatkan diri dengan masyarakat. Karena itu, mereka lebih memilih kegiatan-kegiatan yang bisa bersentuhan dengan rakyat seperti foto bersama, donor darah, hingga kuliner.

Kegiatan ini sudah berjalan dari beberapa bulan lalu. Pada Sabtu itu, mereka menggelar pentas musik yang mengusung panggung prajurit dan terbuka untuk umum hingga Minggu.

Gawat, Jenderal Bintang 2 TNI Dipukuli Warga

Selain hiburan musik, ada pula pameran yang memajang pesawat tempur. Di mana penerbang dan teknisi bisa berinteraksi langsung dengan masyarakat yang datang. Kemudian pameran motor dan mobil tua.

Yuyu menuturkan TNI AU ingin mendekatkan diri kepada masyarakat karena pada hakikatnya kehadiran mereka adalah untuk rakyat. Oleh karena itu, demo pesawat tempur tidak diadakan.

"Demo udara tidak ada. Kami buka seluas-luasnya untuk masyarakat," kata Yuyu pada kesempatan itu.

Saat menyampaikan pidato resmi di Halim Perdanakusuma, Senin, 9 April 2018, Yuyu mengulangi penjelasannya lagi. Peringatan HUT TNI AU ke-72 tahun dilaksanakan secara sederhana berupa upacara dan defile tanpa menampilkan demo udara.

"Konsep peringatan kali ini dengan mengadakan kegiatan "pesta rakyat" sebagai refleksi hubungan kedekatan TNI AU dengan rakyat, karena selama ini TNI AU tumbuh dan berkembang bersama rakyat serta keberhasilan TNI AU dalam melaksanakan tugas pada dasarnya atas kerjasama dan dukungan seluruh rakyat Indonesia," tutur Yuyu.

Baca juga: HUT TNI AU, Langit Jakarta Tak Bakal Berisik

Kepala Staf TNI AU, Marsekal Yuyu Sutisna.

(Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU), Marsekal TNI Yuyu Sutisna).

Tantangan kian berat

Yuyu mengatakan perkembangan lingkungan strategis serta pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kedirgantaraan memicu munculnya bentuk ancaman baru dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara serta hubungan antar negara seakan tanpa batas, menyebabkan tantangan yang dihadapi Angkatan Udara ke depan semakin berat.

Mengantisipasi berbagai tantangan terhadap dinamika tersebut, kata dia, TNI Angkatan Udara harus memiliki kemauan, tekad dan komitmen untuk dapat mewujudkan hasil yang optimal dengan kekuatan dan kemampuan TNI AU yang dimiliki saat ini.

"Namun harus disadari bahwa menjaga kondisi alat utama sistem senjata udara agar tetap siap operasional, tentu bukan masalah yang mudah, karena berkaitan dengan kesiapan seluruh komponen Angkatan Udara, yang berupa kesiapan personel, alutsista, pangkalan udara, fasilitas dan sarana lainnya serta ketersediaan anggaran," kata dia.

Oleh karena itu, dia menegaskan kepada seluruh personel Angkatan Udara, dalam melaksanakan tugas agar membuat perencanaan yang baik, saling bersinergi dan  bekerjasama dengan segenap komponen bangsa dan rakyat untuk menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan.

"Tunjukkan bahwa personel TNI Angkatan Udara adalah insan dirgantara
yang mengerti dan memahami akan tugas serta tanggungjawabnya dalam menjaga
pertahanan negara di udara," ujarnya.

Butuh alutsista modern

Dia menuturkan bahwa kebijakan "Minimum Essential Force" (MEF) atau kekuatan pokok minimum dan rencana strategis TNI AU merupakan jawaban yang tepat dan terus dilaksanakan dalam rangka mewujudkan kekuatan udara yang ideal.

Saat ini, lanjut Yuyu, TNI AU berada pada dua tahun di akhir Renstra III (2015–2019) dan kebijakan MEF Tahap II. Mereka terus berusaha untuk segera mewujudkan terpenuhinya pengadaan alutsista Angkatan Udara, seperti pesawat tempur pengganti F-5 dengan pesawat tempur generasi empat setengah, pesawat angkut berat, pesawat multipurpose amphibious, pesawat helikopter angkut berat, pesawat tanpa awak (UAV), radar GCI, senjata udara dan rudal penangkis serangan udara serta fasilitas, sarana prasarana lainnya.

Pada Renstra IV, TNI AU merencanakan untuk terus membangun kekuatan udara yaitu mengganti pesawat Hawk 100/200 dengan pesawat tempur yang lebih modern, pengadaan pesawat tanker dan pesawat Awacs, serta melanjutkan pengadaan radar GCI dan membangun network centric warfare (jaringan perang sentris).

"Dengan demikian di penghujung Renstra IV, TNI AU akan mampu memantapkan jati diri sebagai tentara profesional dengan peralatan dan alutsista modern, untuk siap dihadirkan di mana saja dan kapan saja," kata Yuyu.

Selain itu, Yuyu mengatakan bahwa institusinya itu terus mendukung salah satu program pemerintah yang menjadi prioritas nasional yaitu menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman kepada seluruh warga negara, serta mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia, di mana TNI AU harus memiliki kemampuan yang optimal untuk mengamankan program tersebut dengan melaksanakan maritime air strike (serangan udara maritim) dan maritime air support (dukungan udara maritim).

Pesawat jet tempur TNI AU yang akan atraksi pada Minggu, 9 April 2017.

(Pesawat tempur TNI AU).

Koopsau III

Kemudian, mereka juga berencana membentuk pembentukan Komando Operasi
TNI AU III (Koopsau III) dan validasi organisasi untuk memperjelas rantai  komando dan tanggung jawab satuan, sehingga terwujud satu kesatuan komando (unity of command) dan interoperability yang lebih baik dengan Angkatan Darat dan Angkatan Laut dalam melaksanakan tugas operasi gabungan.

Usai upacara, Yuyu menyampaikan bahwa Koops AU III itu akan dibentuk di wilayah Indonesia Timur, yaitu Biak. Pembentukan Koops AU baru itu dalam rangka memperkuat pertahanan udara Negara Kesatuan Republik Indonesia.

"Karena wilayah timur kan cukup luas, maka kita tambah satu Koops AU mudah-mudahan prosesnya tidak terlalu lama lagi untuk segera dibentuk," kata Yuyu.

Persiapan pembentukan Koops AU baru di Biak itu sudah berjalan. Biak dipilih sebagai Koops AU baru karena fasilitas infrastrukturnya sudah tersedia sehingga mereka tidak harus mengeluarkan anggaran terlalu banyak lagi.

Lebih jauh ia katakan, penambahan Koops AU di wilayah timur Indonesia itu, nantinya TNI AU akan membentuk satu Skuadron Tempur dan satu skuadron Angkut. Ia menegaskan, satu Skuadron Tempur dan Satu Skuadron Angkut yang akan ditaruh di Biak nanti bukanlah pindahan dari Koops di Wilayah Barat dan Wilayah Tengah.

"Jadi kita akan bentuk baru satu Skuadron Tempur dan Skuadron Angkut, tidak memindahkan dari Wilayah Barat dan Tengah. Kami sudah usulkan itu kepada Panglima TNI, dan Panglima TNI sedang proses, jadi kita tinggal tunggu perintah atau keputusan dari atas saja," tambahnya.

Yuyu juga menyinggung situasi di tanah air yang sekarang ini memasuki tahun politik. Dia menekankan kepada seluruh anggota TNI AU agar tidak terlibat dalam politik praktis serta menjaga netralitas TNI dalam proses pilkada dan pemilu.

Kata dia, implementasi sikap netralitas ini, diwujudkan dengan tidak memihak salah satu calon atau partai politik peserta pemilu, baik langsung atau tidak langsung maupun penggunaan sarana kedinasan untuk kegiatan pilkada atau pemilu.

Baca juga: KSAU Minta Prajurit Tak Ikut Campur Pilkada dan Pilpres

Sementara itu, Kepala Dinas Penerangan TNI AU Marsekal Pertama (Marsma) TNI, Jemi Trisonjaya, mengakui insitusinya saat ini membutuhkan tambahan alutsista. Karena itu, dia bersyukur tahun depan mereka akan memiliki pesawat pengganti F5.

Jemi menuturkan TNI Angkatan Udara sekarang juga sudah menambah beberapa alutsista seperti 24 pesawat yang baru datang, kemudian mengupgrade pesawat F16 di Pekan Baru, lalu rencana pengadaan persenjataan T50 pengganti pesawat Hawk, juga pengadaan Radar GCI, radar pesawat.

Meski demikian, tak hanya alutsista, Jemi menyatakan TNI AU masih membutuhkan tambahan prajurit untuk mengisi penguatan organisasi. Apalagi, mereka berencana membentuk Koops AU III. Sedangkan untuk capaian lembaganya, dia menyampaikan sudah cukup banyak.

Mengenai posisi Panglima TNI yang dijabat mantan KSAU atau dari Angkatan Udara, Jemi tidak terlalu mempersoalkannya. TNI AU dalam posisi mendukung semua kebijakan panglima TNI, siapapun itu, apakah dari AU, Angkatan Darat, atau Angkatan Laut.

"Kami dukung semua. Karena itu kan bagian dari loyalitas kami, profesionalitas kami di situ. Itulah jiwa ksatria yang tadi disampaikan KSAU, yang namanya TNI itu tegak lurus," ujarnya.

Ilustrasi prajurit TNI AU

(Prajurit TNI AU).

Wakil Ketua Komisi I DPR, Meutya Hafid, mengatakan kebutuhan utama TNI AU adalah memiliki pesawat-pesawat yang mempunyai daya kekuatan atau kecanggihan tingkat tinggi. Menurutnya, itulah yang membuat mereka dipandang oleh AU dari negara-negara lain.

"Itu peer-nya," kata dia kepada VIVA.

Namun demikian, politisi Partai Golkar itu menuturkan kebutuhan pesawat sering kali tertunda karena jenis alutsista ini salah satu yang paling mahal. Sedangkan secara institusi dan personelnya, dia menilai TNI AU sudah cukup profesional.

"Jadi memang tinggal didukung alutsista yang memadai. Pesawat terbaru dengan daya tempur yang baik," kata dia.

Berbeda dengan Jemi, Meutya menilai posisi Panglima TNI yang dijabat Marsekal Hadi Tjahjanto memiliki nilai lebih bagi mereka. Dia melihat Hadi sangat paham tentang AU dan seluruh permasalahan yang harus dibenahi.

"Jadi ini momentum yang tepat untuk mengangkat AU yang biasanya jadi anak nomor dua atau tiga menjadi sejajar dengan angkatan-angkatan lainnya," ujar Meutya.

Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto.

(Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto).

Sedangkan, Pengamat Intelijen dan Militer, Susaningtyas Nefo Handayani Kertapati, berharap di usinya yang ke-72 tahun, TNI AU sudah bisa mengembangkan konsep sistem pertahanan udara yang modern serta canggih. Konsep yang diperlukan adalah sistem deteksi dini dan interceptor.

Nuning mengatakan, konsep ini diperlukan, karena mengingat dinamika konflik Laut Cina Timur dan Laut Cina Selatan. Dua negara itu sudah menjadi pelaku utama dalam konflik ini, dengan mengembangkan rudal nuklir jarak jauh.

Untuk menunjang konsep tersebut, TNI AU harus bisa memodifikasi Minimum Essential Force (MEF) atau kekuatan pokok minimum dalam proses modernisasi alat utama sistem persenjataan (alusista).

Menurut dia, terobosan yang bisa dilakukan dengan menambah radar Ground Control Interceptor (GCI) dan radar Early Warning (EW).

"Jadi, operational requirement dan technical specification kedua jenis radar tersebut tidak hanya untuk dog fight di udara antara pesawat TNI AU melawan pesawat musuh. Tetapi, juga harus mampu dog fight pesawat TNI AU menangkis rudal nuklir," kata dosen Universitas Pertahanan itu.

Nuning juga menyarankan pentingnya pesawat tempur TNI AU dilengkapi senjata rudal. Senjata ini sebagai anti rudal jarak jangkau minimal 48 kilometer.

Kemudian, dia juga mendorong peningkatan kapasitas prajurit perwira TNI AU. Salah satu caranya dengan mengirim mereka ke pelatihan atau sekolah ke luar negeri untuk menjadi master dan doktor ilmu ruang angkasa.

Akhirnya, bagaimana pun, jika ingin memiliki angkatan perang yang sederajat dengan angkatan perang negara-negara lain maka negeri ini harus membangun Angkatan Udara yang sebaik-baiknya. Begitulah pesan Bung Karno pada peringatan ulang tahun AURI ke-5 pada 9 April 1951 yang juga dikutip oleh KSAU, Marsekal TNI Yuyu Sutisna, pada sambutannya di Halim Perdanakusuma.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya