Pollycarpus Bebas, Kado Pahit Kasus Munir

Peringatan 13 Tahun Pembunuhan Munir
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

VIVA - Sekitar empat belas tahun yang lalu, tepatnya pada 7 September 2004, kabar duka atau lebih tepatnya tragedi melanda dunia pergerakan aktivis di Indonesia, khususnya pada bidang pembelaan hak-hak asasi manusia.

Perintah Jaksa Agung, Ambil Langkah Cepat Kasus Pelanggaran HAM Berat

Ketika itu, pejuang HAM, Munir Said Thalib, tewas di dalam pesawat Garuda dengan nomor GA-974 yang tengah terbang dari Jakarta menuju ke Amsterdam, Belanda.

Munir sebenarnya bermaksud untuk melanjutkan studi pasca sarjana di negeri kincir angin. Karena itu, pada 6 September 2004, Munir diantar oleh rombongan keluarganya ke Bandara Soekarno-Hatta. Namun, kegembiraan akan bayangan mendapatkan ilmu di negeri orang itu dengan cepatnya berubah menjadi kesedihan yang mendalam.

Di DPR, Komnas HAM Lapor Update Kematian 6 Laskar FPI

Setelah take off, seorang pramugari menawarkan sajian kepada Munir. Dia memesan mie goreng dan jus jeruk. Tak lama kemudian, pesawat transit di Bandara Changi, Singapura, sekitar tengah malam.

Seorang saksi melihat, wajah pendiri Kontras dan Imparsial itu sangat pucat. Lalu, beberapa waktu kemudian, pesawat kembali mengudara. Munir mulai muntah dan berkali-kali keluar masuk toilet.

Kenang Munir, 7 September Diusulkan Jadi Hari Pembela HAM

Seorang pramugari melaporkan pada kapten pesawat bahwa ada penumpang yang sedang kesakitan. Lalu, kapten menanyakan apakah ada penumpang yang bisa bantu. Kemudian, ada seseorang yang mengaku dokter, memeriksa kondisi Munir dan menyuntikkan injeksi untuk menyembuhkannya.

Tiga jam sebelum sampai di Amsterdam, pria kelahiran  Malang, Jawa Timur, 8 Desember 1965 tersebut menghembuskan nafas terakhirnya di dalam pesawat pada usia yang belum genap 39 tahun. Suatu operasi pembunuhan yang begitu rapi dan juga keji.

Berdasarkan hasil penyelidikan Institut Forensik Belanda (NFI), Munir diketahui meninggal akibat racun arsenik dengan jumlah dosis yang fatal. Proses hukum pun segera bergulir di Tanah Air. Markas Besar Polri, lalu menetapkan Pollycarpus Budihari Priyanto, seorang pilot senior Garuda Indonesia, sebagai tersangka pada 18 Maret 2005.

Dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 1 Desember 2005, jaksa menuntut Pollycarpus dengan hukuman penjara seumur hidup, karena dinilai terbukti melakukan pembunuhan berencana terhadap Munir, dengan cara memasukkan racun arsenik ke dalam mie goreng yang disantap Munir saat penerbangan menuju Singapura. Namun, majelis hakim memvonis hukuman penjara selama 14 tahun.

Selanjutnya, di tingkat kasasi, Mahkamah Agung menyatakan Pollycarpus tidak terbukti melakukan pembunuhan berencana. Mereka hanya menghukum Pollycarpus dua tahun penjara, karena terbukti bersalah menggunakan surat dokumen palsu untuk perjalanan.

Tapi pada prosesnya, MA menerima Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan kejaksaan. Dalam putusan itu, MA memvonis Pollycarpus 20 tahun penjara. Lantas, pada 2 Oktober 2013, Pollycarpus mengajukan PK dan MA mengabulkannya dengan mengurangi hukuman menjadi 14 tahun penjara.

Selain Pollycarpus, figur yang juga pernah menjadi tersangka dalam kasus pembunuhan Munir ini adalah Muchdi PR selaku Deputi V BIN/Penggalangan (2001-2005). Kasus itu sempat bergulir ke pengadilan. Namun, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menvonis Muchdi PR bebas murni dari segala dakwaan yang kemudian dikuatkan oleh MA.

Pollycarpus sendiri tidak secara bulat menjalani hukuman selama 14 tahun. Dia mendapatkan sejumlah remisi hingga pada Sabtu 29 November 2014, dia mendapat pembebasan bersyarat. Sekitar empat tahun kemudian, yakni pada Rabu 29 Agustus 2018, Pollycarpus resmi bebas dari Lapas Kelas 1 Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat.

"Benar, Pollycarpus sudah mengakhiri masa bimbingan di kantor balai pemasyarakatan Jawa Barat. Pembebasan bersyarat 29 November 2014, akhir masa bimbingan pembebasan 29 Agustus 2018," ujar Kepala Sub Bagian Humas Ditjen Pas Kemenkimham, Ade Kusmanto.

Ade menjelaskan sesuai masa perhitungan penahanan, Pollycarpus harusnya bebas 25 Januari 2022. Namun, setelah beberapa kali mendapat remisi, maka dia sudah bisa menghirup udara segar di luar penjara per hari ini.

"Dia (sudah) menjalankan pembebasan bersyarat," kata Ade.

Berikutnya, bagaimana nasib kasus>>>

Aksi kemanusian untuk muslim Uighur. (Foto ilustrasi).

Dokumen Soal Uighur Bocor, HMI Singgung Pelanggaran HAM

Dokumen tersebut dinilai semakin menunjukkan bukti-bukti adanya pelanggaran HAM berat terhadap muslim Uighur di Xinjiang China.

img_title
VIVA.co.id
6 Desember 2021