Terpaan Bencana Pengujung Tahun

Tim SAR gabungan evakuasi korban longsor di Cisolok, Sukabumi, Jawa Barat.
Sumber :
  • BNPB

VIVA – Bencana kembali melanda Tanah Air. Kali ini,  longsor menerjang Desa Sinar Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Runtuhan tanah menggerus sekitar 30 rumah di kampung itu, Senin,  31 Desember 2018, sekira jam 17.30 WIB.

Bangunan Sekolah di Kolaka Roboh Ditimpa Tanah Longsor, 2 Ruang Kelas Porak-Poranda

Longsor menghantam 32 kepala keluarga (KK) yang terdiri dari 107 jiwa. Hingga, Selasa, 1 Januari 2019, tim SAR gabungan dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), TNI, Polri, Badan SAR Nasional (Basarnas), Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), relawan dan masyarakat masih terus melakukan pencarian terhadap para korban yang diduga masih tertimbun longsor.

Pencarian dilakukan secara manual karena alat berat sulit didatangkan ke lokasi bencana. “Tiga alat berat sudah disiapkan namun sulit didatangkan ke lokasi karena akses jalan yang sempit, berbukit dan medannya berat," kata Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho dalam keterangan tertulis, Selasa, 1 Januari 2019.

3 Orang Tewas Imbas Longsor dan Banjir Lahar Dingin di Wilayah Gunung Semeru

BPBD Kabupaten Sukabumi, BPBD Provinsi Jawa Barat, Dinas Sosial, Dinas Kesehatan dan relawan memberikan bantuan logistik dan pelayanan kesehatan. Namun, akses jalan yang sempit mengakibatkan bantuan personel SAR hingga logistik terhambat.

Longsor Kampung Adat Sukabumi

BMKG Sebut Erupsi Gunung Ruang di Sulut Berpotensi Tsunami: Ada Catatan Sejarahnya

Ditambah lagi,  banyaknya masyarakat yang melihat bencana membuat kemacetan.  Masyarakat berdatangan ingin melihat lokasi bencana. Namun, ada juga ingin menengok dan membantu kerabat yang terkena bencana.
Sutopo mengungkapkan, longsor susulan masih terjadi meski intensitasnya kecil. Saat ini, kondisi tanah rapuh, terurai dan berlumpur akibat hujan menyebabkan tim SAR kesulitan mencari korban.

Basarnas Provinsi Jawa Barat mengungkapkan hal senada. “Kondisi di lokasi gelap minim penerangan, kondisi tanah juga masih belum stabil dan masih terdapat gerakan tanah,” kata Koordinator Humas dan Protokoler Basarnas Jawa Barat, Joshua Banjarnahor, Selasa 1 Januari 2019.

Mereka pun masih kesulitan mendistribusikan alat berat untuk mengevakuasi puluhan korban yang tertimbun. Sebab, kawasan tersebut merupakan daerah yang dipenuhi areal persawahan dan minim akses untuk kendaraan besar. 

Tak hanya mencari korban tertimbun, penanganan lainnya yang menjadi prioritas yaitu, evakuasi korban luka berat maupun ringan ke rumah sakit terdekat. Untuk memudahkan akses ambulans ke lokasi, beberapa kilometer dari lokasi jalan sudah diblok oleh petugas keamanan desa setempat.

Hingga Selasa, 1 Januari 2019 sekitar pukul 19.00 WIB, korban meninggal mencapai 11 orang. Sedangkan korban yang masuk dalam daftar pencarian yaitu 24 orang. “Data sementara hasil koordinasi dengan Bupati, Kapolres, Dandim, Koordinator Pos Sukabumi dan Kepala Desa Sinar Resmi yang meninggal 11 orang,” ujar Joshua.

Pasca Tsunami Banten

Jatuhnya korban longsor itu menambah panjang daftar korban akibat beragam bencana di Tanah Air sepanjang 2018. Berdasarkan data BNPB, sejak awal tahun hingga 30 Desember 2018, pukul 08.00 WIB, telah terjadi 2.564 bencana. Akibatnya, 3.349 orang meninggal, 1.432 orang hilang, 21.064 orang luka-luka, 10,2 juta orang mengungsi dan terdampak, dan 319.527 unit rumah rusak.

Dari jumlah 2.564 bencana, terdapat 2.481 (96,8 persen) bencana hidrometeorologi seperti banjir, longsor dan angin puting beliung. Kemudian, terdapat 83 (3,2 persen) bencana geologi seperti gempa bumi, tsunami, erupsi gunung api. 

Tahun 2018, bencana geologi, khususnya gempa bumi dan tsunami, menyebabkan dampak yang lebih besar. Gempa bumi diikuti tsunami dan likuifaksi di Palu, Sulawesi Tengah, pada 28 September 2018, misalnya. Peristiwa itu mengakibatkan 3.475 orang meninggal dan hilang, 4.438 orang luka-luka, 221.450 orang mengungsi dan terdampak, dan 68.451 unit rumah rusak berat.

Kemudian bencana tsunami di Selat Sunda, pada 22 Desember 2018, telah menyebabkan 453 meninggal dan hilang, 14.059 luka-luka, 41.132 mengungsi dan terdampak, serta 2.259 rumah rusak.

Petugas BMKG melakukan pemantauan kondisi gelombang air laut pascat sunami di wilayah pesisir Banten dan Lampung di Pelabuhan Merak, Banten

Menyusul terjadinya tsunami di Selat Sunda,  Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah memasang enam seismograf di sekitar Gunung Anak Krakatau. Enam seismograf itu mulai dioperasikan Selasa, 25 Desember 2018, yaitu tiga di wilayah Banten dan Lampung.

"Karena itu dengan seismograf yang dimiliki BMKG ini, dengan mengepung Gunung Anak Krakatau diharap dapat mencatat. Kalau satu sensor mencatat itu setelah diatur dia akan mengeluarkan alarm," kata Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Rahmat Triyono  saat konferensi pers di kantor BMKG, Jakarta, Selasa malam, 25 Desember 2018.

Bouy Merah Putih

Adapun Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) bakal memasang buoy atau alat deteksi tsunami, di sekitar perairan Gunung Anak Krakatau, dalam waktu dekat ini. BPPT menjamin terpasangnya buoy tersebut bisa mendeteksi potensi tsunami secara real time dan akurat. 

"Buoy yang akan dipasang itu dinamakan buoy Merah Putih. Alat ini penting sebagai peringatan dini, agar penduduk di wilayah yang berpotensi tsunami memiliki waktu untuk dapat dievakuasi ke shelter terdekat," kata Deputi Teknologi Pengembangan Sumber Daya Alam (TPSA) BPPPT Hammam Riza seperti yang dikutip melalui situs resmi BPPT, Selasa, 1 Januari 2019.

Ilustrasi/Alat pendeteksi tsunami atau Buoy

Buoy akan dipasang pada jarak 100-200 kilometer dari bibir pantai. Alat tersebut  dapat mengirim data terbaru, ketika terdapat gelombang tinggi di tengah laut yang diduga berpotensi tsunami. Hitungannya, jika kecepatan gelombang tsunami antara 500-700 kilometer per jam, minimal ada waktu sekitar 10-15 menit untuk evakuasi masyarakat ke shelter terdekat.

Jika ada gelombang yang melewatinya, Reza menjelaskan, sinyal dari buoy di tengah laut itu akan semakin intens mengirimkan sinyal ke pusat data early warning system secara real time. “Semakin tinggi dan kencang gelombang maka sinyal yang dikirim frekuensinya akan semakin rapat dan bisa berkali-kali dalam hitungan detik,” ujarnya.

BPPT akan menempatkan tiga buoy di wilayah prioritas berdasarkan kajian tsunami. Untuk sementara, bouy akan ditempatkan di kompleks Gunung Anak Krakatau dan Zona Subduksi Selat Sunda.

Tak hanya itu. BPPT pun bakal memasang kabel bawah laut atau cable based tsunameter (CBT). Sifatnya akan saling melengkapi dengan buoy sehingga deteksi tsunami akan semakin akurat. CBT telah dikembangkan di beberapa negara, seperti Kanada, Jepang, Oman, dan Amerika Serikat. BPPT menyatakan telah menyiapkan kabel sepanjang tiga kilometer. 

Aktivitas Gunung Anak Krakatau

Namun, pemasangan bouy itu bukan  tanpa kendala. Sebab, proyek ini butuh biaya banyak. Untuk satu unitnya, termasuk pemasangan dan pemeliharaan bisa menghabiskan dana hingga Rp5 miliar. “Revitalisasi ini kita oprek lagi dari buoy yang rusak akibat vandalisme. Kita gunakan panel tenaga surya untuk sumber tenaganya, serta kita upayakan semua sensornya lengkap kembali,” kata Riza.

Sutopo pernah mengungkapkan, alat pendeteksi tsunami sudah rusak sejak 2012. Menurut dia, alat pendeteksi tsunami yang merupakan hibah dari Jerman, Amerika Serikat, dan Malaysia itu dirusak oleh pelaku vandalisme hingga alat itu tak lagi berfungsi.

Nantinya jika bouy telah terpasang, Riza meminta masyarakat ikut menjaganya karena alat ini dibangun negara untuk menyelamatkan masyarakat. (hd)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya