Pertemuan Sia-sia Trump dan Kim

Pertemuan Kim Jong Un dan Donald Trump
Sumber :
  • Twitter

VIVA – Akhir Februari 2019 nyaris menjadi sejarah penting soal perbincangan nuklir dalam hubungan Amerika Serikat dan Korea Utara. Dua pemimpin negara itu sudah melakukan pertemuan empat mata di Vietnam.

Menlu Iran soal Senjata Pemusnah Massal: Penggunaan Nuklir Hanya untuk Tujuan Damai

Sayang, pembicaraan terhenti total. Tak ada kata sepakat antarkeduanya.

Pertemuan yang diadakan di Hanoi, pada Rabu, 27 Februari 2019 itu bubar tanpa kesepakatan penting. Mata dunia yang telanjur tertuju pada mereka kini nanar.

Demi Alasan Keamanan, Polandia Siap Tampung Senjata Nuklir NATO

Sebelum pertemuan dimulai, Donald Trump dan Kim Jong-un sama-sama yakin, pertemuan akan berhasil. Trump mengatakan kepada wartawan bahwa perundingan akan berhasil.

Ketika ditanya apakah dia akan mendeklarasikan secara resmi tentang mengakhiri Perang Korea, Trump berkata, "Kita akan lihat nanti". 

Terkuak Deretan Negara Ini Ternyata Jadi Penyokong Senjata Canggih ke Israel

Sementara itu, Kim Jong-un mengatakan, mereka telah mengatasi hambatan untuk mengadakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) di Vietnam dan membutuhkan kesabaran sejak pertemuan pertama mereka di Singapura tahun lalu.  

"Saya yakin bahwa hasil yang hebat akan dicapai saat ini yang akan disambut oleh semua orang. Aku akan melakukan yang terbaik untuk mewujudkannya," kata Kim kepada Trump, seperti dilansir dari Channel News Asia. 

Pertemuan tanpa hasil itu membuat mimpi AS untuk mengendalikan pengembangan nuklir di Korea Utara terbentur. Permintaan Kim Jong-un agar AS melepaskan total semua sanksi yang dijatuhkan ke Korea Utara dianggap berlebihan. Keduanya keras kepala. Tak ada kata sepakat. 

Trump menolak permintaan Jong-un, begitu pula sebaliknya Jong-un menolak memenuhi permintaan AS. Tak hanya soal nuklir yang berakhir hampa, soal perdamaian untuk Perang Korea yang membuat Korea terpisah selama puluhan tahun juga kembali tak jelas. 


Kronologi Pertemuan

Pertemuan Trump dan Jong-un di Vietnam bukanlah pertemuan pertama. Ini adalah pertemuan lanjutan setelah keduanya bertemu di Singapura, Juni 2018. Pertemuan Trump dan Jong-un di Singapura terjadi setelah sebelumnya kedua pemimpin ini kerap saling melemparkan pernyataan, saling serang dan ejek melalui media sosial juga media massa. 

Hinaan dan cercaan yang dilancarkan Trump kerap dibalas dengan uji coba senjata nuklir oleh Kim Jong-un. Setiap kali Trump merendahkan Korut, maka Jepang dan China --yang berlokasi tak jauh dari Korea Selatan-- termasuk juga Korsel akan merasakan getaran mirip gempa terjadi di wilayah mereka. 

Puncaknya adalah ketika Korea Utara meluncurkan kembali uji coba nuklir mereka, yang dibarengi dengan sesumbar Jong-un bahwa senjata terakhir yang mereka uji coba mampu meremukkan sepertiga wilayah Amerika. 

Dalam pertemuan di Singapura, harapan terjadi perdamaian dunia terbuka lebar. Apalagi, sebelum pertemuan Trump sempat mencuitkan perasaan dan harapannya.

"Ini akan menjadi hari yang menyenangkan, dan saya tahu Kim Jong-un akan bekerja sangat keras untuk melakukan sesuatu yang jarang dilakukan sebelumnya, membuat perdamaian dan kesejahteraan untuk Tanah Airnya," cuit Trump melalui akun Twitternya, Juni tahun lalu.

Kedua pemimpin saling berupaya kuat untuk memperbaiki hubungan. Keberatan Kim Jong-un soal latihan militer bersama antara Amerika Serikat dan Korea Utara didengarkan oleh Trump. Pemimpin AS itu berjanji akan mempertimbangkan kembali latihan militer bersama.

Sebaliknya, Korut juga mendengarkan AS yang meminta agar terjadi perlucutan senjata nuklir. Sebagai salah satu bentuk komitmen, Korut bahkan siap menutup salah satu situs uji coba rudal terbesar mereka.

Langkah itu menjadi kesepakatan keduanya dalam pertemuan di Singapura. Pertemuan berakhir dengan kesepakatan akan ada pertemuan berikutnya. 

Sayangnya, pembicaraan denuklirisasi yang tak terinci perlahan menguap. Trump dan Jong-un kembali menunjukkan gejala ketegangan. Meningkatnya tensi antara AS dan Korut mulai terbaca oleh Korea Selatan.

Presiden Korea Selatan, Moon Jae-in memutuskan untuk mengambil peran. Apalagi, kedua pemimpin Korea telah mencatat sejarah penting dengan melakukan pertemuan kembali setelah terpenjara perang dingin selama puluhan tahun.

Pada pertemuan dengan Kim Jong-un yang dilakukan pada September 2019, Moon Jae-in meminta agar Korut tetap bersedia berdialog dengan AS. 

Jong-un rupanya mendengarkan rekannya sesama Korea. Ia menyatakan bersedia mendengarkan saran dan permintaan pemimpin Korea Selatan. Sejak itu, jalan dialog kembali terbuka. AS sempat menanggapi dengan dingin. 

Sadar diabaikan AS, pada pidato menyambut tahun baru 2019, Presiden Korea Utara menyampaikan pidato yang isinya 'setengah' mengancam AS.

"Jika AS tidak menepati janjinya di depan seluruh dunia dan menegaskan sanksi serta tekanan pada republik kita, kita mungkin tidak ada pilihan lain selain mempertimbangkan cara baru untuk melindungi kedaulatan dan kepentingan kami sendiri," ujar Kim dalam pidato tahun barunya.

Tak hanya televisi Korea Utara, pidato Kim Jong Un di awal tahun 2019 ini juga disiarkan di Korea Selatan untuk pertama kalinya.

Entah karena pidato Kim yang mengancam, atau karena kemampuan Presiden Korea Selatan memediasi, AS akhirnya merespons rencana pertemuan dengan Kim Jong-un. Presiden China Xi Jinping juga membantu mewujudkan pertemuan itu.

Setelah pertemuan dengan Kim Jong-un, Xi berjanji akan memfasilitasi jika Korea Utara ingin melakukan program denuklirisasi. 

Pertemuan kembali dijadwalkan. Kali ini Hanoi, Vietnam, dipilih sebagai tempat yang dianggap netral untuk melakukan pertemuan. Tanggal 27 dan 28 Februari 2019 disepakati sebagai tanggalnya.


Jalan Buntu Denuklirisasi?

Sejak pemberitaan semakin gencar, sejumlah pakar sudah mulai meragukan pertemuan itu akan memberi hasil yang signifikan. Fox News menyampaikan kegelisahan pakar.

“Banyak ahli yang merasa skeptis Kim bakal mau menghentikan pengembangan senjata nuklir, namun ada kegembiraan layaknya karnaval di ibu kota Hanoi seiring persiapan final pertemuan puncak ini dilakukan,” tulis Fox News pada Selasa, 26 Februari 2019.

Kekhawatiran itu terjawab di hari kedua pertemuan, ketika jadwal yang sudah diumumkan ternyata berakhir jauh lebih cepat. "Tidak ada kesepakatan yang dicapai saat ini, tetapi delegasi kami akan mencoba bertemu lagi di masa mendatang," kata Juru Bicara Gedung Putih, Sarah Huckabee Sanders. 

"Kedua pemimpin merundingkan berbagai cara untuk mencapai kemajuan proses denuklirisasi dan konsep yang berlandaskan ekonomi," dia menambahkan. 

Berakhirnya pertemuan di hari kedua tanpa kata sepakat membuat kecewa Presiden Korea Selatan. "Kami merasa kecewa Presiden Trump dan Ketua Kim Jong-un tidak bisa mencapai kesempatan pada KTT hari ini," demikian pernyataan juru bicara kantor presiden Korsel Cheong Wa Dae, seperti dikutip dari Korea Times, Kamis, 28 Februari 2019.

Tak ada hasil signifikan dari pertemuan kedua pemimpin adidaya itu.  Perjalanan Kim Jong-un yang menempuh jalur sejauh sekitar 4.000 kilometer dengan lama perjalanan selama 2,5 hari atau 60 jam dari Pyongyang dengan menggunakan kereta api seperti sia-sia. 

Kegagalan ini juga seperti membenarkan keraguan Donald Trump, yang sebelum berangkat ke Vietnam menulis di Twitternya. “Saya akan berangkat ke Hanoi, Vietnam, pada pagi hari besok untuk pertemuan puncak dengan Kim Jong-un dari Korea Utara, kami berdua akan melanjutkan kemajuan yang dibuat pertama kali di pertemuan puncak Singapura. Denuklirisasi?,” kata Trump melalui cuitannya di Twitter. 

Denuklirisasi yang ditulis Trump dengan tanda tanya pada akhir menjadi terjawab. Pertemuan KTT AS dan Korea Utara di hari kedua berakhir lebih cepat dari jadwal.

Tak ada makan siang, tak ada penandatanganan kesepakatan seperti yang dijadwalkan. Upaya denuklirisasi yang digadang-gadang seperti membentur tembok. Amerika dan Korea Utara sama-sama keras kepala, keduanya tak ingin saling mengalah. (art)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya