Ancaman Hukum Jerat Pengajak Golput

sorot golput sosialisasi pemilih pemilu
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra

VIVA – Menjelang hari pemungutan suara Pemilu 2019, isu golongan putih atau golput, alias untuk tidak memilih muncul ke permukaan. Sejumlah kalangan, lantas menyerukan agar masyarakat menggunakan hak pilihnya. Warga diminta berpartisipasi dalam pesta demokrasi lima tahunan itu.

Revisi UU ITE Disahkan, Privy Siap Amankan Transaksi Keuangan Digital

Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam), Wiranto, misalnya. Dia mengimbau, agar masyarakat Indonesia memakai hak suaranya dalam pemilu 17 April 2019 mendatang. Wiranto menjamin masyarakat aman untuk datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS).

“Kan, masih ada politik uang, terorisme, radikalisme. Ada hoax yang mengajak masyarakat untuk tidak datang ke TPS, karena enggak aman dan sebagainya. Itu yang saya terus-menerus menyampaikan pesan kepada masyarakat, ayolah datang ke TPS, aman-aman. Aparat keamanan akan menjaga," kata Wiranto.

Soal Kasus Pencemaran Nama Baik yang Dilaporkan Pengelola ABC Ancol, Ini Kata Polisi

Wiranto menyebut, orang yang mengajak untuk golput sebagai pengacau, karena mengancam hak dan kewajiban orang lain. Menurut dia, orang tersebut dapat dijerat dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). 

Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan, Wiranto, usai menghadiri Seminar Nasional Forum Nasional Mahasiswa Anti-Penyalahgunaan Narkoba 2019 di Tangerang Selatan, Kamis, 28 Maret 2019.

50 Ribu Warga Aceh Besar Tidak Nyoblos saat Pemilu 2024

Wacana untuk menjerat pengajak golput dengan UU ITE, menurut Wiranto, untuk kepentingan bersama. Hal itu, agar tidak makin banyak warga negara yang golput dalam pemilu. "Kita seharusnya khawatir, kalau yang golput banyak. Pemilu itu milik Indonesia, milik bangsa Indonesia," katanya, di Tangerang Selatan, Kamis 28 Maret 2019.

Di mata polisi, jerat UU ITE bagi pengajak golput bisa dilakukan dengan sejumlah ketentuan. Hal itu, menurut Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigadir Jenderal Polisi Dedi Prasetyo, bisa dilakukan apabila orang yang mengajak golput menggunakan sarana media elektronik.

Hukuman untuk orang yang mengajak golput, menurut Dedi, juga diatur dalam Undang-undang Pemilu Pasal 510. Dalam pasal tersebut menyebutkan, barang siapa yang menghalangi dan menghasut seseorang untuk tidak melakukan atau memenuhi hak pilihnya, bisa dipidana dua tahun atau denda paling banyak Rp24 juta.

Namun, polisi tak serta merta menjerat si pengajak golput. Penyidik akan menelaah terlebih dahulu, terkait unsur pelanggaran yang dilakukan oleh orang tersebut. Setelah itu, penyidik akan membangun konstruksi hukum, apakah kasus itu masuk dalam kategori pelanggaran pemilu atau pelanggaran pidana. "Jadi, tergantung, pertama perbuatannya. Kedua, sarana yang digunakan, itu bisa dijerat di situ,” kata Dedi. 

Karopenmas Divisi Humas Polri, Brigjen Pol Dedi Prasetyo

Adapun Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Ma'ruf Amin, Lodewijk Freidrich Paulus menilai, soal jerat UU ITE perlu ada kajian lebih dulu, terkait alasan seseorang memilih golput. "Ya, itu perlu ada itu (kajian) lagi, alasan dia golput apa. Masing-masing orang punya masalah, kita lihat nanti," kata Lodewijk.

Selanjutnya, tidak ada UU yang Atur Golput

Tak Ada UU yang Atur Golput

Pendapat berbeda dikemukakan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD. Menurut dia, tak ada undang-undang yang mengatur terkait golput. "Tidak ada UU-nya, tidak ada hukumnya, mau pakai pasal apa. Mau pakai teror, teror bukan. Mau pakai hoax, bukan hoax," kata Mahfud di Balai Kartini, Jakarta, Kamis 28 Maret 2019.

Namun, menurut pakar hukum tata negara itu, akan berbeda jika konteksnya ada pihak yang sengaja menghalang-halangi dan mengintimidasi, agar orang lain tak memilih sesuai hak suaranya.

Menurut Mahfud, golput merupakan hak warga negara. Sebab itu, secara hukum tak ada masalah. Tetapi, dia mengharapkan masyarakat tak menjadi golput. "Anda rugi kalau golput, karena itu kesempatan kita menentukan masa depan Indonesia. Kita tidak hanya menentukan legalitasnya, tetapi juga legitimasinya," ujarnya. 

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga menyerukan masyarakat untuk memberikan suaranya pada 17 April 2019 mendatang.

"Jangan ada dari kalangan umat Islam yang tidak mau ikut dalam Pilpres nanti," ujar Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI, Didin Hafidudin di kantornya, Jakarta Pusat, Rabu, 27 Maret 2019.

Berikutnya, Fatwa MUI

Fatwa MUI

Sempat beredar kabar, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa haram mengenai golput dalam Pemilu 2019. Berbagai reaksi pun muncul.

Anggota Dewan Pengarah Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Fadli Zon khawatir, fatwa haram golput akan memunculkan kontroversi baru. "Saya kira, kalau golput itu harus diimbau. Tetapi, kalau dibilang haram itu nanti akan bikin kontroversi baru," kata Fadli di gedung DPR, Jakarta, Selasa 26 Maret 2019.

Dia meminta, agar MUI sebaiknya tak membuat fatwa yang tidak diikuti orang. Hal yang harus dilakukan, cukup mengimbau, mengajak, dan memberikan kesadaran kepada masyarakat untuk menggunakan haknya.

Wakil Ketua DPR Fadli Zon

Golput, menurut Wakil Ketua Komisi II DPR, Ahmad Riza Patria, merupakan hak orang yang bersangkutan. "Golput sendiri tidak salah, itu hak. Ada golput karena sakit, kerja, dan faktor lainnya itu tidak salah," ujarnya.

Menurut dia, fatwa haram itu merupakan kewenangan dari MUI. Namun, ia mengkritik masalah urusan dosa, karena tidak memilih itu bukan kewenangan MUI. Urusan tersebut antara individu dengan Tuhan. "Justru, itu dosa enggak dosa itu bukan kewenangan MUI. Dosa itu, ya dari Tuhan," ujarnya.

Suara dukungan terhadap MUI datang dari Komisi Pemilihan Umum (KPU). Ketua KPU, Arief Budiman mengatakan, pihaknya setuju dengan fatwa tersebut. Menurut dia, pemilih memiliki hak konstitusional. Lantaran itu, dia mengimbau kepada masyarakat agar tidak golput. "Maka, jangan sia-sia kan, gunakan hak konstitusional itu untuk memilih pemimpin," ujarnya.

Namun, kabar fatwa haram golput itu diklarifikasi MUI.  Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI, Didin Hafidudin menyebutkan, tidak ada fatwa haram mengenai golput dalam Pemilu 2019. "Sebenarnya, memang tidak disebutkan haram, tetapi diwajibkan. Ya diwajibkan untuk memilih, karena ini bentuk pertanggungjawaban kita sebagai warga negara," ujarnya.

Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsuddin.

Menurut Ketua Dewan Pertimbangan MUI, Din Syamsudin,  fatwa MUI terkait golput itu sudah ada sejak 2009. Ia menekankan kembali, agar umat Islam menggunakan hak pilihnya. Sebab, memilih bukan hanya memilih pemimpin, melainkan memilih untuk kewajiban kebangsaan dan keagamaan.

"MUI menggarisbawahi dan mengulangi lagi, khususnya kepada umat Islam, agar menggunakan hak pilihnya secara bertanggung jawab," ujarnya.

Hal senada dikemukakan anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Mahfud MD. Dia mengungkapkan, fatwa yang dikeluarkan MUI adalah fatwa yang sudah pernah dikeluarkan. Haram, menurut agama, belum tentu salah menurut hukum bernegara. Sebab, hukum agama bukan hukum negara. 

Selanjutnya, alasan Golput

Alasan Golput

Ada sejumlah penyebab seseorang menjadi golput. Jali, warga yang memilih golput, misalnya. Dia mengaku tak akan memilih kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden, pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. 

Sebab, dia  tidak percaya janji manis pasangan nomor urut 01, Joko Widodo-KH Ma’ruf Amin, maupun pasangan nomor urut 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

Kampanye Saya Golput di Taman Aspirasi, Monas, Kamis, 21 Februari 2019.

Dia menilai, Jokowi telah gagal membuktikan janji-janjinya selama empat tahun terakhir memimpin Indonesia. Sementara itu, Prabowo dinilai bertanggung jawab atas sejumlah kasus penculikan aktivis di masa lalu.

"Jadi, sebenarnya dua-duanya sama saja. Itulah alasan, kenapa saya memilih untuk tidak memilih atau golput pada Pemilu nanti,” ujarnya.

Menurut Komisioner KPU, Pramono Baid Tantowi, golput bukan hanya lantaran kecewa kepada para calon, partai politik, dan demokrasi. Sebagian besar, karena alasan administratif dan teknis.

Dari studi-studi yang dilakukan pihaknya, angka tersebut mencapai sekitar 65-75 persen dari total golput. Sedangkan golput politis, angkanya kecil.

“Kalau pakai data Pemilu 2014, sekitar lima persen saja dari total semua golput,” katanya. (asp)

(Baca juga: Riak Golput di Arena Pemilu)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya