- Repro Instagram
VIVA – Penunjukan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sebagai Komisaris Utama PT Pertamina pada November 2019 seolah menjadi uji pengenalan produk baru. Kalau respons pasar bagus segera diluncurkan; kalau tidak, batalkan. Mujurnya waktu itu pasar merespons positif. Reaksi-reaksi penolakan tetap ada, tetapi segelintir saja.
Sekarang sang mantan gubernur DKI Jakarta itu diperkenalkan sebagai kandidat kepala Badan Otorita Ibu Kota Negara yang baru yang dicanangkan akan dibangun di Kutai Kertanegara dan Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Jabatan itu semacam chief executive officer (CEO) di perusahaan, tetapi pejabatnya ditunjuk dan bertanggung jawab langsung kepada presiden.
Ahok bukan kandidat tunggal, melainkan ada tiga calon lain: Bambang Brodjonegoro (Menteri Riset dan Teknologi), Abdullah Azwar Anas (Bupati Banyuwangi), dan Tumiyana (Direktur Utama PT Wijaya Karya). Waktu Presiden Joko Widodo mengumumkan nama keempat kandidat itu, 3 Maret, Kepala Negara menyebut nama Ahok setelah Bambang Brodjonegoro, lalu Tumiyana dan Abdullah Azwar Anas. Entah maksudnya urutan prioritas atau penyebutan acak belaka.
Kira-kira sama situasinya ketika Jokowi, dibantu Menteri BUMN Erick Thohir, mula-mula mewacanakan untuk menunjuk Ahok menangani sejumlah perusahaan negara yang kemudian mengerucut ke Pertamina. Ada yang menentang, memang, tetapi yang setuju lebih banyak. Sekarang pun begitu. Yang mengkritik tentu ada. Tetapi yang berkeberatan paling cuma satu-dua.
Setingkat menteri