Corona Jadi Berkah Napi Korupsi dan Narkotika

Ilustrasi tahanan yang diborgol.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

VIVA – Pemerintah memutuskan untuk membebaskan puluhan narapidana di seluruh Indonesia menyusul wabah corona covid-19. Sebanyak 30.000 di antaranya yakni narapidana kasus umum orang dewasa dan anak-anak. Akan menyusul sekira 20.000 narapidana kasus korupsi dan narkotika juga dibebaskan.

Bea Cukai Gagalkan Pengiriman Seribu Butir Pil Koplo Y

Kementerian Hukum dan HAM beralasan membuat kebijakan itu untuk mencegah penularan Covid-19 di dalam lembaga pemasyarakatan atau rumah tahanan. Sebab, hampir di semua tempat pemenjaraan itu sudah kelebihan kapasitas, dan karenanya, kalau tidak dikurangi justru akan meningkatkan risiko kejangkitan di sana.

Para napi kasus pidana umum yang dewasa dan anak-anak sudah dibebaskan secara bertahap sejak 1 April hingga enam hari berikutnya. Para narapidana kasus korupsi dan narkotika belum dibebaskan karena masih terganjal peraturan yang mengatur secara khusus pembebasan narapidana korupsi, narkoba, dan terorisme. Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly masih akan merevisinya dan mengajukannya kepada Presiden Joko Widodo.

Kapten Vincent Kena Flu Singapura Sampai Bernanah: Lebih Sengsara dari COVID!

Dituding agenda lama

30.000 narapidana kasus pidana umum itu dibebaskan cukup berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 10 Tahun 2020. Tidak begitu dengan para narapidana khusus yang terkategori kejahatan luar biasa (extraordinary crime) seperti korupsi, terorisme, narkotika, pembalakan liar (illegal logging), kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan HAM, dan kejahatan transnasional.

Bea Cukai dan BNN Musnahkan Ribuan Gram Narkotika di Kalimantan Barat

Kelompok napi yang disebut terakhir, karena dijuluki extraordinary crime, diatur dengan peraturan khusus, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999. Peraturan itu hanya dapat diubah oleh keputusan Presiden.

Kementerian Hukum dan HAM mencatat sedikitnya 17.252 (jumlahnya bisa bertambah) narapidana yang terkategori khusus dan diusulkan untuk dibebaskan. Pertama, narapidana kasus narkotika yang dihukum pidana penjara 5-10 tahun dan telah menjalani dua pertiga masa pidananya. Jumlahnya 15.442 orang.

Kedua, narapidana kasus korupsi yang berusia lebih dari 60 tahun dan telah menjalani dua pertiga masa pidana. Sebanyak 300 orang.

Ketiga, narapidana tindak pidana khusus dengan sakit kronis yang dinyatakan rumah sakit pemerintah dan telah menjalani dua pertiga masa pidana. Jumlahnya 1.457 orang.

Keempat, narapidana asing, yang berjumlah 53 orang. Narapidana terorisme tidak diusulkan, sejauh ini.

Dua kelompok pertama, napi narkotika dan napi korupsi, itulah yang dipersoalkan sekarang. Sebab, dua jenis kejahatan itu yang dianggap benar-benar extraordinary di Indonesia. Menteri Yasonna berdalih, ketujuh belas ribu sekian napi yang terkategori khusus itu tetap menjadi bagian total narapidana yang mesti dikurangi untuk mencegah penularan corona di dalam penjara.

Syaratnya memang harus ketat. Dia tahu. Karena itulah dia menyusun kriteria-kriteria khusus pula untuk membebaskan mereka.

Indonesian Corruption Watch (ICW) langsung mengkritik secara menohok atas rencana kebijakan itu. Mereka menganggap rencana itu, terutama pada narapidana korupsi, sebenarnya hanyalah akal-akalan Yasonna. Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW, Donal Fariz, malahan menuding rencana itu sesungguhnya agenda lama Yasonna, namun belum terwujud karena menanti momentum yang tepat. Momentum wabah corona inilah yang dianggap tepat untuk mewujudkan rencana itu, dengan alasan kemanusiaan sebagai pembenar.

Berdasarkan catatan ICW, kata Donal, sudah lima kali Yasonna melontarkan wacana merevisi peraturan itu dalam kurun waktu 2015-2019. Alasannya selalu sama, yakni ingin mempermudah pelaku korupsi ketika menjalani masa hukuman. Padahal, peraturan itu dibuat progresif untuk memaksimalkan efek jera, bukan malah membuat nyaman.


Merampok Saat Bencana

Anehnya, Komisi Pemberantasan Korupsi yang mengantar para koruptor itu dipenjara malah setuju dengan usulan Yasonna. Alasannya, menurut Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron, memang tidak memungkinkan menerapkan social distancing atau physical distancing untuk mencegah penularan corona di lapas/rutan sementara penjaranya penuh sesak. Komisi juga tahu bahwa lapas/rutan sudah kelebihan kapasitas hingga 300 persen.

Memang, katanya, untuk membebaskan ke-300 napi itu harus mengubah Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 dengan perspektif pandemi Covid-19. Dia berdalih bukan mendukung pembebasan koruptor, melainkan bagian dari bentuk kewaspadaan dan antisipasi dini terhadap pandemi itu agar para napi juga tidak tertular.

“Ini bukan remisi kondisi normal,” ujarnya berargumentasi, “ini respons kemanusiaan, sehingga kacamata kemanusiaan itu yang dikedepankan.”

ICW tak kaget dengan dukungan KPK atas usulan Yasonna. Pimpinan KPK yang sekarang dengan Firli Bahuri sebagai ketuanya, menurut peneliti Divisi Hukum ICW, Kurnia Ramadhana, memang cenderung lembek pada peraturan-peraturan yang keras dan memberikan efek jera. Berbeda dengan kepimpinan KPK periode sebelumnya yang selalu menolak rencana revisi Peraturan Pemerintah itu.

Kalau usulan Yasonna disetujui oleh Jokowi, meski dengan alasan kemanusiaan karena wabah corona, pembebasan ratusan koruptor bukanlah kebijakan yang bijaksana, malahan sebaliknya. “Ini semacam merampok di saat suasana bencana,” kata Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Muhammad Isnur. “Dia (Yasonna Laoly) masuk, menyelinap di tengah kepentingan yang berbahaya.”

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya