Bebaskan Napi, Cara Negara Lepas Tangan kala Corona

Para tahanan/narapidana penghuni Lapas Kelas 1 Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat, salat berjemaah Idul Fitri pada Rabu pagi, 5 Juni 2019.
Sumber :
  • VIVA/Adi Suparman

VIVA – Kebijakan pemerintah membebaskan puluhan ribu narapidana ternyata malah menjadi blunder. Niat semula untuk mencegah potensi penularan wabah virus corona di dalam kompleks lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan se-Indonesia yang rata-rata telah kelebihan kapasitas malahan menimbulkan masalah baru.

Kasus Mutilasi dan Pembunuhan Kejam Marak, Ada Apa di Balik Meningkatnya Kriminalitas?

Belakangan baru disadari bahwa para napi yang dibebaskan itu kesulitan mencari pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya di tengah pandemi Covid-19. Masyarakat yang bukan mantan orang hukuman saja sudah kesusahan, bahkan banyak yang menjadi korban pemutusan hubungan kerja, akibat kegiatan ekonomi lumpuh. Apalagi mereka yang baru saja keluar dari penjara.

Polisi telah mengamati gejala dampak buruk kebijakan yang diputuskan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna Laoly, itu. Sudah ada tiga belas mantan narapidana yang baru dibebaskan dan kemudian bertindak kriminal lagi.

Kuota Haji Kabupaten Tangerang Bertambah, 20 Persen Lansia

Jumlah yang tak sebanding dengan puluhan ribu yang dibebaskan, memang, tapi fenomena itu mengisyaratkan bahwa pembebasan napi bukan kebijakan yang tanpa efek samping.

Hemat anggaran

Geger Vaksin COVID-19 AstraZeneca, Ketua KIPI Sebut Tidak ada Kejadian TTS di Indonesia

Argumentasi Yasonna Laoly akan keputusannya membebaskan lebih dari 37 ribu narapidana sejak 1 April itu dapat dimengerti jika untuk menghindari penyebaran wabah Corona di dalam penjara. Sebab, rata-rata jumlah napi di hampir semua lembaga pemasyarakatan sudah kelebihan daya tampung, sehingga mereka berdesak-desakan.

Penjara di Indonesia kelebihan kapasitas 104 persen, menurut World Prison Brief. Situasi itu tak memungkinkan untuk menerapkan physical distancing (menjaga jarak) antarnapi.

Mereka yang dibebaskan pun bukan sembarang napi, melainkan narapidana orang dewasa yang dua pertiga masa pidananya jatuh pada 31 Desember 2020 dan narapidana anak yang setengah masa pidananya jatuh pada 31 Desember 2020. Setelah dihitung-hitung, mereka yang seharusnya bebas sejak April sampai Desember berjumlah 40.329 orang.

Ringkasnya, menurut Direktur Pembinaan Narapidana dan Latihan Kerja Produksi Yunaedi, mereka memang sudah saatnya bebas secara berangsur-angsur sampai 31 Desember. Namun, sekarang, karena ada wabah corona, mereka dibebaskan lebih cepat dari seharusnya.

Yasonna juga berdalih dengan mengklaim bahwa keputusannya atas rekomendasi Perserikatan Bangsa-Bangsa. Lagi pula, beberapa negara lain, seperti Amerika Serikat, Inggris, Iran, Israel, Yunani, Brasil, Afghanistan, Kanada, dan Prancis, juga melakukan hal yang sama.

Indonesia menjadi negara yang membebaskan narapidana terbanyak setelah Iran: Iran 85.000 napi plus 10.000 tahanan politik, Indonesia 37.563 napi dan 2.766 orang lainnya segera menyusul.

Namun, ada yang dianggap luput diperhatikan oleh Kementerian Hukum dan HAM dengan membebaskan para narapidana kasus-kasus pidana umum—bukan terkategori extraordinary crime seperti korupsi dan terorisme—itu, yaitu nasib mereka setelah bebas.

Kesulitan mencari pekerjaan yang halal akibat kelesuan ekonomi akan mendorong mereka untuk mencari penghasilan yang haram, sehingga berpotensi mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat.

Belakangan, kebijakan itu juga dianggap sikap lepas tangan pemerintah atas nasib para napi. Apalagi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan mengklaim, jika 30 ribu napi dibebaskan, pemerintah bisa menghemat dana ratusan miliar rupiah.

Perhitungannya: biaya makan, kesehatan, pembinaan, dan lain-lain untuk tiap napi dianggarkan Rp32 ribu per hari. Jika dikalikan 270 hari (April-Desember) untuk sedikitnya 30.000 orang, maka bisa mengirit Rp260 miliar.

Sekarang, setelah puluhan ribu napi dibebaskan, pemerintah malah ketar-ketir atas permasalahan baru yang akan timbul. “Kami juga sedang pusing," Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pemasyarakatan Nugroho mengakui dalam sebuah forum diskusi secara daring pada 14 April 2020.

Kejahatan residivis

Seorang kriminolog yang juga terlibat dalam forum diskusi secara daring itu, Leopold Sudaryono, mengklaim bahwa tingkat kejahatan residivis atau mantan napi yang berulah lagi selama 2020 hanya 0,05 persen. Angka itu sekaligus menunjukkan penurunan dibanding 2019.

Bahkan, kata Leopold, jika dibandingkan kondisi normal sebelum wabah Covid-19 merebak, persentase itu tergolong masih kecil. Jenis kejahatan yang diulangi pun berkisar pada penyalahgunaan narkotika dan pencurian, bukan ancaman gelombang pembunuhan dan perkosaan, sebagaimana rumor di media sosial.

Kalau pun ada mantan narapidana yang baru bebas dan bertindak kriminal lagi, menurut pakar hukum Bivitri Susanti, dalam forum yang sama, malahan membuktikan pemidanaan atau pemenjaraan tidak efektif untuk jenis-jenis tindak pidana tertentu. “Melainkan perlu diterapkan restorative justice,” ujarnya.

Apa pun argumentasi para pihak yang kompeten, polisi telah meningkatkan kewaspadaan mereka pada mantan orang hukuman yang baru dibebaskan. Kepala Kepolisian Republik Indonesia bahkan sampai menerbitkan Surat Telegram untuk seluruh aparaturnya hingga tingkat terbawah untuk mewaspadai meningkatnya angka kejahatan, terutama kejahatan jalanan.

Aparat polisi di tingkat kota/kabupaten diminta bekerja sama dengan Lembaga Pemasyarakatan di masing-masing daerah untuk memetakan dan mengawasi para napi yang dibebaskan. Yang lebih penting lagi ialah polisi di tingkat kota/kabupaten diminta bekerja sama dengan pemerintah dan para pihak lainnya untuk membina para mantan napi itu.

“… agar lebih produktif dan mendapatkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup, yaitu memberikan pelatihan membuat masker dengan menggunakan sarana Balai Latihan Kerja, mengikuti program padat karya, dan proyek Dana Desa”.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya