Misteri Tagihan Listrik Ugal-ugalan

Petugas PLN memeriksa meteran listrik.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

VIVA – Jagat media sosial riuh gara-gara tagihan listrik banyak pelanggan bulan Juni melonjak. Ada yang mengaku kenaikan tagihan hingga dua kali lipat meski tingkat konsumsi minim. Bahkan ada juga yang mengklaim kenaikan mencapai berlipat-lipat, sehingga total tagihan menjadi tak wajar.

Singapore PM Lee Hsien Loong to Resign After Two Decades on Duty

Masyarakat mengeluhkan kenaikan tagihan yang ugal-ugalan itu dengan langsung mendatangi kantor Perusahaan Listrik Negara (PLN) setempat. Sebagian yang lain menumpahkan kekesalan mereka di media sosial yang disatukan dalam tanda pagar #rezimlaknat untuk memprotes PLN yang seolah-olah diam-diam menaikkan tarif listrik selagi masyarakat bertahan dari kesulitan ekonomi akibat wabah virus corona.

PLN menepis kecurigaan sebagian kalangan bahwa perusahaan negara itu telah menaikkan tarif dasar listrik, atau menerapkan pola subsidi silang antara pelanggan golongan tertentu dengan golongan yang lain. Tarif tetap normal, PLN berdalih, tetapi konsumsi masyarakatlah yang meningkat sehingga wajar saja kalau terjadi lonjakan tagihan.

PM Singapura Lee Hsien Loong Mundur dari Jabatan, Ini Sosok Penggantinya

Tak ada pencatatan

Lonjakan jumlah tagihan listrik itu bagaikan serangan tiba-tiba terhadap masyarakat setelah hampir tiga bulan lamanya menaati anjuran pemerintah untuk lebih banyak beraktivitas di rumah demi mencegah penularan Covid-19. Kepatuhan untuk berdiam di rumah selama masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), masyarakat menalar, ternyata berbayar, alih-alih gratis atau berhemat.

Kawal Arus Mudik Hingga Balik Lebaran 2024, PLN Siaga di Zona Utama Transportasi Publik

Tetapi argumentasi PLN tidak begitu. Justru karena PSBB-lah konsumsi listrik melonjak akibat masyarakat lebih banyak berkegiatan di rumah yang menggunakan listrik, kata Direktur Niaga dan Pelayanan PLN Bob Sahril.

Ringkasnya, lebih banyak beraktivitas di rumah—bekerja di rumah, belajar di rumah, beribadah di rumah, dan lain-lain—selama masa PSBB, disadari atau tidak, telah menaikkan konsumsi listrik dibandingkan hari-hari normal.

Masalahnya tidak semua yang mengalami lonjakan tagihan itu mengonfirmasi dalih PLN. Sebab, banyak di antara mereka yang telah mengurangi konsumsi listrik, bahkan ada yang rumahnya lebih sering kosong, tetapi tagihan naik gila-gilaan juga. Bahkan ada yang rumahnya sudah lama kosong karena tidak ditinggali namun tagihan ratusan ribu rupiah.

Untuk permasalahan itu, PLN beralasan, selama masa pembatasan aktivitas, petugas pencatat kWh meter alias meteran listrik memang tidak mengecek langsung ke rumah-rumah pelanggan. Karena itu, tidak ada catatan riil tentang konsumsi listrik para pelanggan. PLN menetapkan nilai tagihan hanya berdasarkan pada perhitungan rata-rata penggunaan listrik selama tiga bulan terakhir.

Dengan penghitungan rata-rata selama tiga bulan terakhir, tagihan pada bulan April ialah rata-rata konsumsi listrik pada Januari, Februari, dan Maret. Tagihan listrik pada April seolah-olah konsumsi listrik sebelum pandemi Covid-19, padahal, menurut PLN, sesungguhnya sudah mulai ada peningkatan.

Pada awal Mei, petugas PLN mulai memeriksa langsung KWh meter di rumah-rumah pelanggan. Berdasarkan pemeriksaan langsung itulah, PLN mengklaim, terlihat kenaikan cukup besar di beberapa pelanggan pada Maret, April, dan Mei. Maka tagihan listrik pada bulan Mei pada dasarnya cukup riil menggambarkan tingkat konsumsi pelanggan.

Faktor lain, menurut PLN, terutama selama April hingga Mei, sebagian masyarakat Indonesia berpuasa Ramadan. PLN mengklaim, saat Ramadan konsumsi listrik masyarakat memang cenderung meningkat akibat perubahan pola penggunaan listrik dibandingkan bulan-bulan lainnya selain Ramadan. Bulan Ramadan plus semua orang berkegiatan di rumah karena pandemi Covid-19 terang saja melipatgandakan konsumsi listrik.

Solusi PLN

PLN mengisyaratkan mengakui bahwa metode penghitungan berdasarkan rata-rata konsumsi selama tiga bulan terakhir memang tidak adil dan cenderung merugikan pelanggan. Maka perusahaan pelat merah itu menyiapkan skema perlindungan lonjakan tagihan, semacam kompensasi atas tagihan tak wajar pada Juni.

Skema yang disiapkan PLN ialah: lonjakan yang melebihi 20 persen akan ditagihkan pada Juni sebesar 40 persen dari selisih lonjakan, dan sisanya dibagi rata tiga bulan pada tagihan berikutnya. Dengan skema itu, si pelanggan hanya harus membayarkan tagihan 40 persen dan sisanya dibagi rata dalam tagihan tiga bulan mendatang.

Direktur Niaga dan Manajemen Pelanggan PLN Bob Sahril menjelaskan, skema itu diberikan sebagai bentuk upaya PLN untuk menghadirkan solusi bagi pelanggan yang tagihannya melonjak pada bulan Juni 2020, sehingga konsumen tidak terkejut dengan lonjakan tagihan listrik selama masa PSBB.

PLN mengklaim skema perlindungan itu diputuskan setelah mengevaluasi pelaksanaan penagihan listrik pada Mei yang juga memicu banyak protes dan pengaduan. PLN menambah posko pengaduan untuk merespons masalah kenaikan tagihan listrik yang dialami oleh sebagian warga menyusul masa PSBB.

PLN membuka Posko Informasi Tagihan Listrik di kantor pusat PLN, Jakarta, sejak Mei. PLN juga merilis layanan pemeriksaan catatan konsumsi listrik seperti aplikasi PLN Mobile, laman pln.co.id, dan contact center PLN 123.

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia memaklumi argumentasi PLN. Soalnya perusahaan itu memang telah memperkirakan bahwa ada sekitar 1,9 juta pelanggannya yang tagihan listriknya akan melonjak mulai 50-200 persen, bahkan lebih. Petugas PLN memang tidak dapat memeriksa dan mencatat jumlah konsumsi pelanggan karena PSBB, atau kompleks rumah pelanggan yang dikarantina.

Tidak semua konsumen juga mengirimkan foto posisi akhir stand kWh meternya via aplikasi WhatsApp, sebagaimana yang PLN sarankan. Akhirnya PLN menggunakan jurus pamungkasnya, yakni menggunakan pemakaian rata-rata tiga bulan terakhir, yang hasilnya tagihan listrik sejumlah pelanggan berlipat-lipat.

Masalahnya, menurut Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi, saluran-saluran pengaduan konsumen yang disediakan oleh PLN tidak optimal. Masyarakat malahan banyak mengadukan itu kepada YLKI, alih-alih PLN, yang berarti kanal pengaduan PLN belum optimal.

Sosialisasi PLN terhadap masyarakat juga tidak optimal, sehingga masyarakat tidak mengerti betul duduk persoalan dan musababnya serta tak tahu apa yang harus mereka lakukan.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya