VIVA – Pengembangan senjata, atau robot otonom pembunuh (lethal autonomous weapons) tanpa terkendali akan memiliki dampak besar terhadap strategi perang di masa depan.
Hal ini mendorong sebagian negara dengan anggaran militer kecil untuk menyerukan dikeluarkannya peraturan pelarangan pengembangan senjata berbasis kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) oleh Perserikatan Bangsa Bangsa.
Robot pembunuh mampu memilih dan menyerang target tanpa campur tangan manusia. Senjata yang masuk ke dalam kategori ini antara lain pesawat nirawak (drone) dan kendaraan robot bersenjata, senapan mesin kawal otomatis, serta sistem sniper otonom.
Sementara itu, negara-negara yang sudah mengembangkan teknologi ini adalah China, Israel, Korea Selatan, Rusia, Inggris, dan Amerika Serikat.
Namun, pada September 2017, Inggris memutuskan untuk melarang pengembangan senjata otonom sepenuhnya. Sebuah pengumuman dikeluarkan oleh Kementerian Pertahanan negeri Ratu Elizabeth II tersebut.
Keinginan negara-negara di atas mengembangkan senjata otonom ini justru menimbulkan pertanyaan, sekaligus kekhawatiran yang mendalam soal pengembangan robot pembunuh yang kebablasan, sehingga mengancam peradaban manusia.
Bahkan, pakar AI dari Universitas New South Wales, Australia, Toby Walsh menegaskan, robot pembunuh jelas merupakan senjata pemusnah massal.
"Ini senjata pemusnah massal. Karena itu, saya benar-benar yakinkan kepada Anda bahwa kita harus melarang pengembangan senjata ini," kata Walsh, dikutip Futurism, Senin 20 November 2017.
Robot Mutt milik Militer AS.
Masalah utama dari kehadiran senjata otonom ini, menurut Walsh, adalah terkait kewenangan manusia dalam mengambil keputusan melepas serangan dari senjata.
Sebab, sistem persenjataan 'robot pembunuh' tersebut menggunakan AI dan sensor, sehingga dianggap dapat mengubah cara berperang, dan bukanlah hal positif bagi manusia.
Direktur The Center for a New American Security, Paul Scharre, menyebutkan ada perbedaan antara senjata semi-otonom dan sepenuhnya otonom.
"Senjata semi-otonom, manusia yang mengendalikan akan berada dalam putaran (loop), memantau aktivitas senjata, atau sistem senjata tersebut. Apabila gagal, sang pengendali hanya perlu menekan tombol untuk mematikannya," ungkapnya, dikutip situs Gizmodo.
Selanjutnya, PBB bersuara>>>