Si Buta dari Gua Hantu Siap Difilmkan, Timo Tjahjanto Sutradaranya

Si Buta dari Gua Hantu
Sumber :
  • BumiLangit

VIVA – Rumor soal penggarapan film Si Buta dari Gua Hantu yang berhembus sejak bulan Agustus tahun lalu akhirnya terjawab sudah. Rumah produksi Screenplay Films bersama Bumilangit Studios, akhirnya mengumumkan akan mengangkat cerita dari pendekar legendaris tersebut menjadi sebuah film.

Ditonton Lebih dari 16,4 Juta Jam, The Big 4 Masuk Daftar Top 10 Global Netflix

Dalam proses penggarapannya, Screenplay Films bersama Bumilangit Studios menggandeng Timo Tjahjanto sebagai sutradara sekaligus penulis skenario film ini. Saat ditemui VIVA, Timo mengatakan bahwa Si Buta dari Gua Hantu berada pada abad 19, ketika Indonesia dijajah oleh bangsa asing.

“Jadi Si Buta dari Gua Hantu jadi proyek pertama gue yang period, yang zamannya bukan sekarang. Si Buta kan di riset abad 19. Di situ ada sebuah kancah yang bagus banget di mana Indonesia lagi diinjek-injek banget nih,” ucap Timo kepada VIVA beberapa waktu lalu di JCC Senayan, Jakarta Pusat.

5 Fakta Menarik Film The Big 4

“Jadi latar belakang cerita ini Indonesia lagi diduduki oleh penjajah Hindia Belanda,” ucapnya menambahkan.

Timo mengaku sampai harus menggali peta zaman penjajahan di Banten untuk menemukan sebuah perkampungan di mana Perguruan Elang Putih (milik ayah Barda) itu berada.

Film The Big 4 Tampilkan Keindahan Indonesia Timur yang Jarang Diketahui

Setting waktu tahun 1850-an akan menjadi latar filmnya tersebut. Ada hal menarik pada masa itu, karena menurutnya moderenisasi sudah masuk ke Tanah Hindia Belanda.

“Settingnya itu akan gue bikin sekitar tahun 1850-an dan sekitarnya. Hal yang kerennya adalah modernisasi sudah masuk ke Tanah Hindia Belanda. Kita akan sedikit melihat juga clash antara filosofi juara yang sudah mulai disudutkan oleh modernisasi,” ujar pria yang juga sutradara Sebelum Iblis Menjemput itu.

Timo Tjahjanto

Meski film Si Buta dari Gua Hantu tersebut nantinya banyak menghadirkan sisi sejarah, namun Timo mengatakan hal itu terjadi hanya di pergolakan dan pertarungannya saja, misalnya penggambaran kebiasaan dan keharusan membayar upeti oleh pribumi.

“Jadi gue enggak spesifik sejarah per karakter atau pahlawan. Gue lebih ngomongin pergolakannya, ada sistem clashing di tanah Indonesia, di mana sistemnya orang-orang harus memberikan upeti. Semua elemen-elemen itu ada (di film ini),” katanya menjelaskan. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya