Kemen PPPA: Stop Kekerasan dalam Rumah Tangga

Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan KemenPPPA, Ratna Susianawati
Sumber :
  • KPPPA

VIVA – Dalam sebuah komunitas masyarakat dimana sistim patriarkhi masih berpengaruh besar, kaum perempuan dan anak merupakan kelompok yang rentan menjadi korban kekerasan di ranah domestik atau yang lebih awam disebut kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).  Perlawanan terhadap budaya kekerasan yang masih banyak terjadi di masyarakat terus dilakukan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), mulai dari hulu dalam bentuk pencegahan hingga hilir dalam bentuk pendampingan para korban kekerasan.

Teuku Ryan Tegaskan Bukan Hal Ini Penyebab Cerai dengan Ria Ricis

“Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah tindak kekerasan yang serius. Selama ini kita terus berjuang untuk tidak melanjutkan budaya kekerasan di semua lingkup masyarakat hingga lingkup terkecil yaitu keluarga. Dalam kelompok masyarakat, perempuan dan anak adalah kelompok rentan sehingga kita semua wajib melindungi dan menghindarkan mereka menjadi korban kekerasan. Banyak kasus KDRT yang terjadi di lingkungan kita, namun para korban KDRT biasanya tidak mau  melaporkan kasus KDRT yang dialaminya dengan banyak alasan, misalnya takut dengan pelaku KDRT yang notabene adalah keluarga korban atau mengganggap KDRT merupakan masalah rumah tangga sehingga merupakan aib apabila permasalahan rumah tangganya diketahui oleh lingkungan sekitar,” ujar Ratna Susianawati, Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan KemenPPPA di Jakarta.

Ratna menuturkan bahwa KDRT menimbulkan dampak sangat besar, baik bagi si korban maupun keluarganya. Kondisi ini bisa diperparah dengan lingkungan sekitar yang kurang tanggap terhadap kejadian KDRT di sekitarnya, dengan alasan KDRT merupakan masalah domestik sehingga apabila ada kejadian KDRT, orang lain tidak perlu campur tangan.

Cekcok dengan Istri, Seorang Pria di Surabaya Banting Bayinya yang Berusia 6 Hari

“Selain menimbulkan luka fisik dan psikis berkepanjangan bagi perempuan dan anak yang menjadi korban KDRT, peristiwa kekerasan akan terekam dalam memori otak anak-anak yang menyaksikannya. Jangan heran jika anak-anak yang menyaksikan dan bahkan menjadi korban KDRT akan melakukan hal serupa dengan teman sebaya mereka dan ke anak-anak mereka kelak. Anak yang tumbuh dan berkembang dalam keluarga yang mengalami KDRT cenderung akan meniru ketika mereka dewasa. Anak perempuan yang melihat ibunya dipukul ayahnya dan ibunya diam saja, tidak melapor atau melawan, maka anaknya cenderung memiliki reaksi yang sama ketika mengalami KDRT saat berumah tangga,” ungkap Ratna.

Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) sebagai pembaharuan hukum yang berpihak pada kelompok rentan atau subordinasi, khususnya perempuan. UU PKDRT dianggap sebagai salah satu peraturan yang melakukan terobosan hukum karena terdapat beberapa pembaharuan hukum pidana yang belum pernah diatur oleh Undang-Undang sebelumnya.

Gegara Pulang Awal saat Lebaran Tanpa Izin Suami, Istri Tewas Alami KDRT

Terobosan hukum yang terdapat dalam UU PKDRT mencakup bentuk–bentuk tindak pidana dan dalam proses beracara, antara lain dengan adanya terobosan hukum untuk pembuktian bahwa korban menjadi saksi utama dengan didukung satu alat bukti petunjuk. Diharapkan dengan adanya terobosan hukum ini, kendala-kendala dalam pembuktian karena tempat terjadinya KDRT umumnya di ranah domestik dapat dihilangkan. UU PKDRT ini juga mengatur kewajiban masyarakat dalam upaya mencegah KDRT agar tidak terjadi kembali (Pasal 15 UU PKDRT).

“Kasus KDRT yang dulu dianggap mitos dan persoalan pribadi, kini menjadi urusan publik yang nyata bahkan menjadi ranah negara karena telah diatur dalam Undang-Undang No.23 Tahun 2004 tentang PKDRT. KDRT juga bukanlah sebuah hal yang dapat dinormalisasi, akhir cerita KDRT juga seringkali tidak seindah dongeng, dengan ditutupinya KDRT tidak jarang justru membuat pelaku semakin menjadi-jadi. Untuk itu kami mendorong masyarakat , khususnya perempuan dan anak yang menjadi korban untuk tidak takut melapor, begitu juga masyarakat yang melihat tindak KDRT di sekeliling mereka. Kemen PPPA memiliki Layanan SAPA 129 (021-129) dan hotline 081-111-129-129 sebagai layanan pengaduan kekerasan terhadap perempuan yang dapat diakses oleh semua kalangan di seluruh Indonesia, yang mana tindak lanjut penanganan yang dilakukan melalui koordinasi dengan Dinas PPPA/UPTD PPPA di daerah seluruh Indonesia, dengan 6 layanan dasar yang dapat diberikan, yaitu : pengaduan masyarakat, penjangkauan korban, pengelolaan kasus, penampungan sementara, mediasi, dan pendampingan korban. Manfaatkan layanan ini dengan baik,” tegas Ratna.

Bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga terdiri atas beberapa kategori yaitu : (1) Kekerasan Fisik seperti menampar, memukul, menyiksa dengan alat bantu; (2) Kekerasan Psikis seperti menghina, melecehkan dengan kata-kata yang merendahkan martabat sebagai manusia, selingkuh: (3) Kekerasan Seksual seperti pemerkosaan, pelecehan seksual secara verbal, gurauan porno, ejekan dengan gerakan tubuh jika kehendak pelaku tidak dituruti korban; (4) Penelantaran Rumah Tangga dimana akses ekonomi korban dihalang-halangi dengan cara korban tidak boleh bekerja tetapi ditelantarkan atau memanipulasi harta benda korban.

Perlindungan pada perempuan dan anak adalah satu dari 5 isu prioritas arahan Presiden Joko Widodo. Untuk itu KemenPPPA dalam menjalankan tugas fungsinya tentu saja membutuhkan dukungan dari semua pihak.

“Dalam melakukan pencegahan KDRT, KemenPPPA membutuhkan dukungan dan kerjasama dari semua pihak, mulai dari tokoh agama, tokoh masyarakat, influencer, publik figur, ataupun tokoh-tokoh lain yang berpengaruh dalam memberikan edukasi ke masyarakat serta lembaga layanan dan tentu saja masyarakat luas. Mari bergerak bersama mencegah KDRT di sekeliling kita,” tutup Ratna.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya