Banjir Demak dan Selat Muria Dikaitkan dengan Ramalan Jayabaya, Ini Penjelasannya

Banjir yang melanda Demak merendam ribuan rumah warga
Sumber :
  • Teguh Joko Sutrisno

Jakarta – Wilayah Demak, Jawa Tengah, dilanda banjir parah yang mengubahnya menjadi lautan karena intensitasnya yang sangat tinggi

Ngeri, Ada Ramalan Jayabaya Diduga Sebut Tanda Perang Dunia Ketiga

Muncul berbagai spekulasi terkait kemunculan kembali Selat Muria serta bencana yang terjadi, yang diyakini terkait dengan Ramalan Jayabaya.

Dalam ramalannya, Jayabaya memprediksi adanya bencana alam dahsyat di Pulau Jawa, termasuk letusan gunung, gempa bumi, dan luapan sungai. Oleh karena itu, peristiwa banjir di Demak dihubungkan dengan ramalan tersebut.

Tim Pengawal Anies Pamitan usai Pilpres 2024 Berakhir

Banjir di Demak, Jawa Tengah.

Photo :
  • istimewa

Dalam sebuah jurnal yang berjudul "Ramalan Jayabaya: Apakah Dapat Menghambat Pembangunan Pusat Listrik Tenaga Nuklir" karya Ahmad Abu Hamid, Jayabaya pernah meramalkan bahwa "Pulo Jawa pecah dadi loro" (Pulau Jawa terbelah menjadi dua karena bencana yang tak terduga).

Pentingnya Kesehatan di Masa Golden Age Anak, Bakal Tentukan Kondisi Masa Depan

Dari ramalan tersebut, diinterpretasikan bahwa akan terjadi bencana dahsyat yang membuat Pulau Jawa terbelah, sehingga hanya separuh penduduknya yang selamat.

Beberapa orang bahkan mengaitkan peningkatan aktivitas Gunung Slamet dengan ramalan tersebut, dengan dugaan bahwa letusannya bisa menyebabkan terbelahnya Pulau Jawa.

Banjir di Demak pun dihubungkan dengan ramalan Jayabaya, terutama dengan spekulasi tentang kemungkinan kembali munculnya Selat Muria.

Banjir Demak disebabkan tanggul Sungai Irigasi Jratun Seluna, di Dukuh Tugu, Desa Ngemplik Wetan, Kecamatan Karanganyar, kembali jebol, pada Minggu 17 Maret 2024, sore.

Banjir semakin parah ketika titik tanggul yang jebol bertambah. Sedikitnya ada 88 desa tercatat terendam banjir yang memaksa puluhan ribu warga mengungsi.

Hingga muncul spekulasi tentang kembalinya munculnya Selat Muria yang sempat hilang karena mengalami kekeringan. Selat Muria merupakan selat yang pernah ada dan menghubungkan Pulau Jawa dan Pulau Muria.

Masjid peninggalan Sunan Muria, terletak di Gunung Muria.

Photo :
  • Galih Manunggal/ tvOne.

Selat tersebut dulunya merupakan daerah perdagangan yang ramai, dengan kota-kota perdagangan seperti Demak, Jepara, Pati, dan Juwana.

Sekitar 1657, endapan sungai yang bermuara di selat ini terbawa ke laut sehingga selat ini semakin dangkal dan menghilang, sehingga Pulau Muria menyatu dengan Pulau Jawa.

Pada masa glasial, sekira 600.000 tahun yang lalu, Gunung Muria beserta pegunungan kecil di Patiayam dulunya bergabung dengan dataran utama Pulau Jawa. Hal itu terjadi karena saat itu suhu bumi turun dalam waktu yang lama.

Sehingga permukaan laut turun rata-rata 100 meter. Namun pada interglasial, kondisi itu berbalik. Suhu bumi meningkat menyebabkan es mencair.

Alhasil, volume air laut meningkat membuat dataran Gunung Muria dan Pulau Jawa terpisah oleh laut dangkal yang tidak terlalu lebar hingga menjadi selat.

Selat Muria adalah jalur perdagangan dan transportasi yang ramai dilalui. Selat itu menjadi jalan antara masyarakat yang tinggal di Pulau Jawa dengan masyarakat yang tinggal di pulau-pulau lainnya.

Denan adanya selat tersebut, masyarakat yang ingin bepergian antara Kudus dan Demak harus menggunakan kapal. Keberadaan selat ini pulalah yang dahulu membuat Kerajaan Demak menjadi kerajaan maritim.

Keberadaan selat tersebut juga menjadikan kawasan Selat Muria sebagai lokasi galangan kapal yang memproduksi kapal-kapal jukung Jawa yang terbuat dari kayu jati yang banyak ditemukan di Pegunungan Kendeng yang terletak di sebelah selatan selat.

Keberadaan industri galangan kapal menjadikan daerah ini lebih kaya dibandingkan dengan pusat Kerajaan Majapahit, sehingga daerah ini yang didominasi para pedagang muslim yang dijuluki oleh Tomé Pires (penulis Portugis) sebagai "penguasa kapal jung.

Kendati demikian, kebenaran ramalan Jayabaya dan bencana yang terjadi kembali kepada keyakinan masing-masing. Sebab, sudah seharusnya tetap berpegang teguh pada kehendak Tuhan yang Maha Esa.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya