Not Invisible, Kampanye untuk Selamatkan Perempuan Indian

Kampanye Not Invisible di sosial media.
Sumber :

VIVA – Dari hasil data pengamatan terbaru yang didapatkan, diperoleh sebanyak 84 persen dari jumlah perempuan Indian di Amerika Serikat, mengalami kekerasan sepanjang hidupnya. Kekerasan yang dimaksud berupa kekerasan secara seksual dan pembunuhan.

Pengakuan Bersejarah: Presiden Biden Keluarkan Permohonan Maaf untuk Penduduk Asli Amerika

Tidak hanya negeri serta kebudayaan mereka yang dijajah sejak zaman dahulu kala, tetapi di masa, atau era yang modern seperti abad ke-21 ini, tubuh mereka dijadikan sasaran utama kekerasan. Dilansir dari Indian Country media network.com, wanita Indian dibunuh lebih dari 10 kali rata-rata nasional.

Menurut Jaksa Agung AS, Jenderal Thomas Perrelli, yang mempresentasikan statistik mengerikan tersebut saat menangani Komite Urusan Indian tentang kekerasan terhadap perempuan di 2011. Sejauh ini, belum ada data pasti yang menunjukkan berapa banyak perempuan Indian yang menghilang.

Termasuk Dayak, Ini 5 Suku Paling Ditakuti di Dunia

Para perempuan tersebut yang dikabarkan menghilang, cenderung tidak akan kembali lagi kepada keluarga mereka yang menanti di rumah hingga bertahun-tahun kemudian.

Contohnya dapat kita lihat pada seorang perempuan yang mengalami kejadian serupa, bernama Trudi Lee, yang memiliki satu orang kakak perempuan. Pada 1971, ketika berusia tujuh tahun, kakak perempuannya, Janice Lee dikabarkan menghilang. Janice berusia 15 tahun saat menghilang di dekat tempat pengungsian Yakama di Washington.

7 Suku Paling Ditakuti di Dunia, Pesawat Susi Diusir dari Hanggar

Meskipun dalam penegakan hukum kesukuan orangtuanya melaporkan bahwa anaknya hilang, tetap tidak pernah ada kabar tentangnya. Ibunya sangat sedih ketika mengetahui bahwa anak perempuan sulungnya tersebut tidak akan pernah kembali lagi ke pangkuannya.

Trudi merasa cukup trauma dengan kejadian tersebut. Ia mengatakan bahwa ibunya sering sekali menangis sendirian, karena putri sulungnya sudah menghilang selamanya. Pada 2001, ibu dari Trudi meninggal dunia. “Ibu meninggal di tahun 2001 tanpa mengetahui apa yang terjadi,” ujarnya. “Kami masih memikirkan Janice dan paling tidak, ingin menempatkannya di tempat pemakaman keluarga,” tambahnya lagi.

Pada 2016 silam, Carmen O'Leary, koordinator Native Women's Society of the Great Plains di South Dakota, sebuah koalisi program native yang memberikan layanan kepada wanita yang mengalami kekerasan, menyatakan kalau hal tersebut terjadi sepanjang waktu di negara-negaraya yang didiami oleh suku Indian. Ketika para perempuan tersebut menghilang, mereka sangat mungkin untuk mati.

Meskipun organisasi seperti VAWA atau Violence Against Women Act dan TLOA atau Tribal Law and Order Act yang merupakan bentuk aksi perlindungan, serta keadilan perempuan Indian di Amerika disahkan secara langsung oleh mantan Presiden Amerika Serikat, Barack Obama pada 29 Juli 2010 telah membantu memperhatikan tingkat kekerasan yang tinggi ini, dan mulai mengatasi kesenjangan dalam penegakan hukum untuk suku dan otoritas federal, tetapi tetap tidak ada pengumpulan data yang komprehensif, dan sistem mengenai jumlah wanita hilang dan terbunuh di negara-negara yang didiami suku Indian.

Menurut sebuah studi yang berada di bawah VAWA pada 2005, ditemukan bahwa antara tahun 1979 dan 1992, pembunuhan merupakan penyebab utama ketiga dari kematian perempuan Indian berusia 15 sampai 34 tahun. Dan, bahwa 75 persen dibunuh oleh anggota keluarga atau kenalan mereka.

Di negara-negara yang didiami suku Indian, kasus mengenai hilangnya atau terbunuhnya perempuan Indian Amerika, tidak diliput dan diberitakan oleh media setempat. Kasus-kasus tersebut cenderung dilupakan.

Sarah Deer, seorang profesor hukum di William Mitchell College of Law yang memiliki pengalaman kerja yang luas dalam mengakhiri kekerasan terhadap wanita Indian, menggambarkan kurangnya data dan perhatian terhadap wanita Indian yang hilang dan terbunuh sebagai persekongkolan ketidakpedulian AS, pemerintah, dan penegakan hukum.

"Jika, kami memiliki dana untuk mencari dan menilai data kami, saya pikir kami akan menemukan bahwa kami di AS memiliki nomor yang sama persis dengan Kanada, dalam hal perempuan yang hilang dan terbunuh," ujarnya.

Karena itu, seluruh masyarakat internasional diingatkan kembali tentang para perempuan Indian yang memiliki keadaan yang cukup memprihatinkan. Kasus seperti ini harus dihentikan secepatnya. Baik oleh Kepolisian dan pemerintahan Amerika Serikat, maupun oleh organisasi-organisasi terkait. Jika tidak dihentikan, angka kematian perempuan Indian Amerika semakin tinggi, sehingga banyak perempuan tak bersalah yang terbunuh dan meninggalkan duka yang sangat mendalam bagi keluarga yang ditinggalkan.

Dalam rangka meningkatkan rasa awareness masyarakat internasional mengenai banyak hilang dan terbunuhnya para perempuan Indian di Amerika, maka dimulailah kampanye ini di sosial media, terutama instagram. Yang ditandai dengan sejumlah orang yang memposting foto mereka dengan hashtag notinvisible untuk mempopulerkan kampanye ini, sejak akhir November 2017 lalu.

Kampanye ini memiliki tujuan utama, agar kita semakin waspada dan dapat meningkatkan upaya untuk melindungi, serta menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi keluarga Indian. Terutama, bagi kaum perempuan yang ada di sekitarnya. Sehingga, kasus-kasus mengenai hal tersebut dapat pula segera ditangani oleh pihak-pihak yang berwajib secepatnya. Sebab, para perempuan Indian jugalah manusia tidak bersalah yang harus dilindungi martabat serta harga dirinya.

Beberapa sosok public figure, seperti Rosario Dawson (38) dan Eric Balfour (40) dari Amerika Serikat ikut serta dalam kampanye ini. Salah satu selebriti Hollywood, pemeran Hulk dalam film Avengers produksi Marvel, Mark Ruffalo ikut turut ambil bagian dalam kampanye ini dalam salah satu postingannya di akun instagram pribadi masing-masing. (Tulisan ini dikirim oleh Anastasia, Mahasiswi LSPR Jakarta)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya