Pakai Baju Koko, Dikira Ustaz Pemburu Hantu

Baju koko
Sumber :
VIVA.co.id
Detik-detik Jelang Terbitnya Buku Terbaru Pidi Baiq
-
Sensasi Keripik Rasa Paru dari Daun Singkong
Dulu saya punya kebiasaan pakai baju koko. Pakaian ala ustadz gitu. Kepala dibungkus peci hitam, kadang peci motif batik. Tubuh triplek saya dibebat baju koko dan celana warna hitam. Lumayan mirip nggak ya sama ustadz?

“Tad. Tad,” begitu panggilan seorang teman saya. Ya elah, padahal  ilmu saya belum seujung kuku untuk mendapat panggilan terhormat bak seorang ahli ilmu itu. “Amin aja deh,” begitulah hati saya bersuara. Hingga kejadian memilukan menimpa saya pada satu Jumat pagi. Saya, satu orang teman perempuan, satu teman pria, ditambah satu jenis pria abal-abal (gemulai) tengah berdiskusi ria di beranda masjid salah satu perguruan tinggi Islam di Banten.

KKN 136 UMM Adakan Penyuluhan Pemanfaatan Serbuk Kayu

Tak biasa, pagi sekitar pukul 10.00 WIB, kondisinya tidak begitu ramai. Di sudut barat, ada Pak Ateng yang tengah mengepel lantai. Di sudut timur ada Pak Syamsul berjalan menuju masjid. Sementara di sudut selatan, ada lima orang akhwat asyik membaca buku. Dan, ternyata di sudut utara, Kapten Tsubasa akan melakukan tendangan penjuru (Maaf, Bercanda). Tak banyak variasi suara keramaian terdengar. Kali ini hanya terdengar satu dua cekikikan perempuan-perempuan “trio” yang berlalu lalang ngegosip. Biasa, ujian akhir semester baru usai, tinggal liburan. 

Ketenangan pagi itu seketika berubah saat seorang perempuan berlari keluar dari sebuah ruang kelas jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Saat saya lihat, indikasi saya, dia lagi akting. Pasalnya, dia mengenakan pakaian ala artis gitu; sepatu hak tinggi, pipi medok – yang kiri merah, kanan ijo, tengah-tengah muka ada keitem-iteman persis habis kejedot tiang listrik. Hihihi..!!  

“Toloong!!! Tolooong!!!” teriakan perempuan itu menandakan bahaya. Saya dan teman perempuan, satu teman pria, dan satu pria abal-abal melongo tanpa mokcai (Bahasa Sunda: Molohok sabari ngacai: melihat dengan pandangan kosong sementara air liur menetes).

“Ada apa’an tuh,” akhwat di sudut utara bangun dan mencoba mencari sumber air eh sumber suara maksudnya.

“Toloong!!! Tooollooooong!!! Teman saya kesurupan,” si perempuan berlari-lari kecil antara satu kelas ke kelas-kelas lain mencoba mencari bala bantuan. Dihampirinya seorang pria berambut kriwil yang mengenakan kaos oblong berwarna hitam.

“Maaf, mbak. Saya nggak ngerti ngobatin begituan mah,” kata si pria sambil berlalu.

“Maaf, Mbak. Saya gak pernah menangani masalah ini. Gak paham masalah kesurupan,” kata seorang perempuan.

Saya tak beringsut. Saya masih duduk dan hanya menilik-nilik alias melihat sambil ngintip-ngintip peristiwa langka tersebut. Alih-alih, si perempuan malah menuju masjid. Makin mendekat, dekat dan sekarang dia berada tepat di depan saya. Saya duduk di ubin, dia berdiri hanya terhalang pagar alumunium. Dia mulai menarik-narik tangan saya.

“Ada apa, mbak? Jangan tarik-tarik saya. Bukan muhrimnya, Mbak. Belum halal,” saya bertanya sekaligus mengelak dengan sedikit wibawa dan kelugasan.

“Mas. Pak ustadz, tolongin teman saya yang lagi kesurupan,” pinta si perempuan.

“Mbak, saya mohon maaf. Saya belum paham ilmunya,” saya ngeles kayak bajaj.

“Mas ini kan ustadz, masa nggak bisa?” si perempuan menaikkan volume, intonasi dan tekanan suaranya kalau dimasukkan ke speaker aktif udah mirip kayak audio film bioskop. “Dueer. Duerrr!!!”

Saya yang dikira ustadz pun diseret-seret si perempuan, terlihat seperti anak kecil yang ketakutan karena hendak disunat dan bilang “Takuut, emaak!!! Gak mau disunat.."

Hadiah lomba

Edu House Rayakan Harlah ke-8

Acara kali ini bertajuk “Discover the Magic on You”.

img_title
VIVA.co.id
10 Agustus 2016