Khongco Pribumi di Kelenteng Gie Yong Bio

Khongco Raden Mas Pandji Margono di Klenteng Gie Yong Bio, Lasem (HCA)
Sumber :
  • U-Report

VIVA.co.id – Almarhum Raden Mas Pandji (RMP) Margono, bersama Mayor Oei Ing Kiat dan Tan Kie Wie pendekar kungfu adalah tiga serangkai. Mereka dianggap pahlawan oleh warga pribumi dan non pribumi di kota kecil Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Mereka orang-orang yang dimuliakan (khongco). Dibuatkan monumen berupa kuil/kelenteng yang dinamakan Gie Yong Bio, di Desa Babagan, Lasem, pada tahun 1780 silam. Kiem-sin atau patung ketiganya ditempatkan dalam altar dan dipuja di kelenteng itu.

Rekomendasi Wisata Anti-Mainstream di 5 Tempat Kelahiran Pahlawan Nasional

Lebaran kemarin saya singgah di kelenteng tua itu yang bangunannya mulai keropos kendati beberapa waktu lalu sudah diperbaiki. Saya datang ke gam/altar khongco RMP Margono, yang terletak di sayap belakang kiri dari bangunan utama kelenteng. Tampak altar itu agak kurang terawat dan kotor, meskipun Titin (32 tahun) yang menjadi biokhiong/juru kunci tiap hari rutin memberi persembahan minuman teh untuk khongco RPM Margono.

Di Indonesia, satu-satunya khongco pribumi adalah RMP Margono yang juga seorang Muslim. Tidak ada kelenteng lain di negeri ini yang memuja khongco pribumi. Karena RMP Margono adalah trah ningrat, putera dari Adipati/Bupati Lasem, RMP Sasongko atau RMP Tejokusumo V maka wujud kiem-siennya dengan busana khas yaitu memakai ikat kepala blangkon, jas beskap, berjarit, dan kakinya mengenakan selop.

7 Tujuan Wisata untuk Mengenang Sejarah Indonesia, Wajib Dikunjungi

Mayor Oei Ing Kiat sebenarnya adalah Adipati/Bupati Lasem, bergelar Raden Ngabehi Widyaningrat, menggantikan RMP Tejokusumo V. Dia bersepakat dengan Tan Kie Wie dan RMP Margono untuk melawan penjajah Belanda yang saat itu dengan usaha dagangnya dinamai VOC, melakukan monopoli dan bertindak kejam serta menindas masyarakat Lasem.

Perlawanan atau pemberontakan rakyat Lasem yang terdiri dari Laskar Pesantren dipimpin RMP Margono dan bahu-membahu dengan warga Cina setempat berlangsung pada tahun 1743-1750. Pertempuran terjadi di daratan dan Laut Jawa Utara, dari Lasem sampai Pati dan Jepara. Kekuatan warga Cina bertambah dengan datangnya para pengungsi Cina dari Batavia/Jakarta. Menyusul terjadinya pembantaian massal oleh Belanda terhadap warga Cina di Batavia saat itu.

Candi Darling, Aksi Nyata Pelestarian Bumi Para Generasi Muda

Pertempuran antara rakyat Lasem melawan serdadu Belanda itu dikenal dengan Perang Godo atau Perang Kuning. Pertempuran ini makin membara, menyusul paragreg di Kesultanan Mataram. Dimana Pangeran Garendi dibantu Pangeran Sambernyowo, keduanya trah kesultanan bersama ribuan warga Cina memberontak pada Sultan Mataram yang merupakan boneka Belanda.

Setelah Belanda mendatangkan bantuan pasukan infanteri dan kavaleri dari Batavia. Ditambah armada angkatan laut/marine dari Jakarta dan Semarang, pemberontakan di Lasem dapat dipadamkan. Awal runtuhnya moral tempur pejuang Lasem ditandai gugurnya Tan Kie Wie diperairan Mandalika-Jepara tahun 1743. Kemudian Oei Ing Kiat juga gugur di dalam kota Lasem. Terakhir RMP Margono gugur diberondong peluru pasukan Belanda di Lasem Timur, setelah mengungsikan isteri dan RMP Witono di Dukuh Narukan-Dorokandang, Lasem.

Guna mengenang jasa kepahlawanan Tiga Bersaudara Serangkai ini, RMP Margono, Oei Ing Kiat dan Tan Kie Wie, warga Cina di Lasem membuat monumen perjuangan, berbentuk kuil atau kelenteng yang dinamai Gie Yong Bio pada tahun 1780. Dibuat pula patung diri (kiem-sien) tiga pahlawan itu, masing-masing ditempatkan pada altar dalam kelenteng.

Saat diadakan Sembahyang Besar tiap tahun, patung khongco RMP Margono mendapat penghormatan setara dengan dua Khongco Oei Ing Kiat dan Tan Kie Wie. Khongco RMP Margono juga dibuatkan tandu/kio khusus, agar bisa dipikul dan diarak ramai-ramai memutari kota Lasem.

Sayang, saat ini jarang warga Lasem tahu kalau di dalam Kelenteng Gie Yong Bio bersemayam khongco pribumi dan muslim, RMP Margono. Sehingga masyarakat tak pernah bersilaturahmi dengan khongco tersebut. Lebih-lebih di saat hari baik seperti Lebaran, tak ada buruknya masyarakat menengok dan mengenang kepahlawanannya. Sekaligus dalam upaya mempererat hubungan antar umat beragama. (Tulisan ini dikirim oleh Heru Christiyono Amari, Pati, Jawa Tengah)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya