Kisah Buruh Cuci yang Sukses Sarjanakan Anaknya

Ibu Nurhayati, buruh cuci yang sukses sarjanakan anaknya.
Sumber :

VIVA.co.id – Tidak mudah menyerah dan qanaah, itulah dua hal yang pertama kali terbesit ketika mendengarkan wanita ini bercerita tentang seluk beluk kehidupannya. Dimulai dari kehidupan setelah menikah dan bagaimana ia membesarkan anak-anaknya dalam hidup kekurangan, hingga menjadi sarjana.

Viral Alquran Dilempar Petugas saat Eksekusi Rumah Yatim Piatu

Ibu Nurhayati, begitulah namanya. Wanita berusia 50 tahun ini telah menjadi mustahik Rumah Yatim NTB sejak awal berdiri. Meski hidup dalam keterbatasan ekonomi, tapi ia tak pernah menyerah dan gigih terutama dalam urusan pendidikan anak-anaknya.

Ibu Nurhayati mengaku kedua anaknya disekolahkan dengan biaya sendiri dan tidak mengandalkan beasiswa apapun. “Dahulu waktu si bungsu SD dan SMP, dia bantu saya cari uang. Dia kumpulkan plastik-plastik di jalanan lalu dijual. Uangnya itu yang kami kumpulkan untuk biaya kuliah. Sedikit demi sedikit uang itu terkumpul,” ujarnya ketika dihubungi via telepon.

Pergilah Dinda Cintaku

Ibu Nurhayati bercerita, sebelum memiliki anak, suaminya bekerja serabutan. Setelah menikah dan memiliki anak, suaminya mendapatkan pekerjaan sebagai marbot di sebuah musala. Untuk membantu perekonomian keluarga, ia juga menjadi buruh cuci.

Terhitung sejak tahun 1990 hingga kini ia melakoni pekerjaan buruh cuci ini. Di samping menjadi buruh cuci, ia juga berjualan nasi keliling. Satu bungkusnya dijual Rp3 ribu, dan dalam sehari bisa terjual sekitar 50 bungkus.

Tanggung Jawab dan Rekonsiliasi Masyarakat Lumban Dolok

Kegigihannya dalam mencari nafkah ini membuahkan hasil. Sebut saja Akhyar dan Nujul. Mereka adalah kedua anak laki-laki Ibu Nurhayati. Akhyar si sulung berhasil lulus menjadi sarjana pendidikan olahraga IKIP Mataram dan kini bekerja sebagai guru olahraga.

Sedangkan Nujul, si bungsu menyelesaikan pendidikan di tingkat SMK dan menolak melanjutkan kuliah karena ingin langsung bekerja. Keinginannya terkabul. Tak lama setelah lulus tahun lalu, ia mendapatkan pekerjaan di salah satu hotel di Mataram.

Sifat gigihnya ini pun diturunkan pada anak-anaknya terutama si sulung. Dahulunya, ketika masih sekolah dasar dan menengah ia ikut membantu mencari uang dengan memulung. Saat kuliah pun ia tak berhenti membantu mencari nafkah dengan menjadi pelatih sekaligus penjaga asrama di salah satu gelanggang olahraga.

Ibu Nurhayati mengaku ia dari dahulu selalu mengajarkan anaknya untuk hidup tidak muluk-muluk dan selalu membiasakan diri sederhana. “Saya bilang ke mereka, kalau punya uang ditabung biar bisa sekolah tinggi. Saya terangkan kalau saya tak bisa kasih mereka makan enak tapi selama masih ada nasi, saya harap mereka tak mengeluh. Selama punya baju biar enggak bagus dipakai saja dan disyukuri,” ungkapnya.

Baginya, hidup adalah tentang menerima kondisi. “Apapun kondisinya senang saja. Mau susah sekalipun, ya dibawa senang saja. Sebab yang penting itu mau usaha dan enggak muluk-muluk, sederhana sajalah,” tegasnya di ujung telepon.

Ialah Nurhayati, ibu dari dua anak yang berhasil menguliahkan sang anak dengan keringat sendiri meski hanya seorang tukang cuci. Kondisi yang diterimanya tidak membuatnya putus ada dan malah terus berusaha memaksimalkannya. Nurhayati mengajarkan kita semua bahwa usaha tak pernah mengkhianati hasil. (Tulisan ini dikirim oleh Sinta Guslia)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya