Gelombang Fitnah Kubro dan Akar Mula Perpecahan dalam Peradaban Islam

baju muslim jember, fitnah kubro, fitnah masa shahabat, masjid jalaluddin ar-Rumi, muslim mode, perang jamal, perang shiffin, sejarah islam, sevendream city, shulhan kholidi, tahkim
Sumber :
  • vstory

VIVA.co.id – Empat belas abad silam, Rasulullah pernah bersabda dalam sebuah hadis beliau yang terkenal, yang artinya: “Kaum Yahudi terpecah menjadi 71 golongan, Kaum Nasrani terpecah menjadi 72 golongan, dan kelak Umatku akan terpecah pula menjadi 73 golongan”.

Jokowi Ingin Kampus UIII Jadi Laboratorium Peradaban Islam

Melalui hadis tersebut, Rasulullah hendak mengingatkan kepada kita agar selalu mewaspadai bahaya fitnah berupa perpecahan di antara umat Islam di akhir zaman. Namun di sisi lain, hadis tersebut juga merupakan ramalan kenabian, bahwa nampaknya perpecahan tersebut, suka ataupun tidak, memang merupakan realitas yang bakal terjadi di antara umat beliau sebagaimana realitas perpecahan yang telah terjadi di kalangan dua umat sebelumnya, yakni Yahudi dan Nasrani.

Dalam konteks sejarah Islam, secara umum, ‘fitnah’ menunjuk kepada ujian, gejolak keretakan dan pertikaian yang terjadi di antara umat Islam yang berbuah menjadi perpecahan. Secara khusus, istilah tersebut menunjuk kepada gelombang perselisihan yang terjadi di antara sahabat sepeninggal Rasul.

8 Inovasi Ini Dipelopori Peradaban Islam Masa Lalu, Ada Kopi dan Gitar

Puncaknya dikenal dengan ‘Fitnah Kubro’ yakni berupa insiden berdarah dan perang saudara sesama Muslim di periode akhir Khalifah Utsman bin Affan dan sepanjang periode Khalifah Ali bin Abi Thalib, yang berujung kepada terbunuhnya keduanya di tangan sesama kaum Muslim sendiri.

Tak lama setelah nabi wafat, benih-benih perpecahan di antara para sahabat langsung menyeruak muncul yang dilandasi persoalan terkait siapa yang bakal menggantikan kepemimpinan beliau di Madinah.

Masjid dalam Perjalanan Sejarah Islam

Dalam pandangan Sunni, mereka meyakini bahwa nabi memang tidak pernah menunjuk secara eksplisit siapa yang akan menjadi pengganti kepemimpinan beliau kelak. Hal ini berbeda dengan yang menjadi pandangan Syiah bahwa sejak awal nabi telah memilih Ali bin Abi Thalib dan keturunannya sebagai pewaris kenabian.

Semangat tribalisme Arab dan solidaritas kesukuan yang membabibuta yang ditentang oleh dakwah Islam, sepeninggal nabi, benih-benihnya mulai muncul kembali. Kaum Muhajirin mengklaim bahwa sosok dari merekalah yang lebih layak menggantikan kepemimpinan nabi. Karena mereka adalah orang-orang yang lebih awal memeluk Islam.

Sebaliknya, Kaum Anshar mengklaim lebih berhak atas itu, mengingat merekalah yang mengulurkan tangan dan menyediakan tempat untuk nabi dan Kaum Muhajirin yang tengah teraniaya dan hijrah dari kampung halamannya. Di Madinah pula Islam mulai bisa menata diri dan akhirnya menjelma menjadi kekuatan baru yang diperhitungkan oleh lawan-lawannya, termasuk Kaum Quraish Mekkah.

Demikian pula Bani Hasyim dan Abdul Muthalib sebagai keluarga besar nabi, mereka merasa berhak untuk mewarisi kepemimpinan tersebut. Persoalan semakin meruncing tatkala masih dalam suasana berkabung, bahkan jenazah nabi belum dikebumikan, Kaum Anshar menggelar rapat di Tsaqifah Bani Saidah.

Dalam forum tersebut, mereka menentukan secara sepihak pengganti kepemimpinan nabi di Madinah dengan menunjuk Saad bin Ubadah. Hal tersebut sontak membuat Abu Bakar, Umar, Abu Ubaidah, dan beberapa Kaum Muhajirin panik.

Mereka sedianya hendak menghadiri perawatan jenazah nabi, namun karena kondisi yang dianggap darurat, akhirnya terpaksa mengurungkan langkah dan memutuskan untuk bertolak ke Tsaqifah Bani Saidah untuk mencegah keputusan sepihak Kaum Anshar.

Peristiwa tersebut dan permasalahan pelik seputar siapa pengganti kepemimpinan nabi menjadi salah satu faktor yang membuat pemakaman jenazah beliau akhirnya tertunda selama 3 hari. Setelah sempat terjadi perdebatan sengit dalam situasi yang panas dan tegang di Tsaqifah Bani Saidah, akhirnya benih-benih perpecahan tersebut mampu diredam.

Forum tersebut bahkan berakhir dengan deklarasi antara perwakilan Muhajirin dan Anshar untuk menunjuk Abu Bakar sebagai Khalifah pengganti kepemimpinan nabi di Madinah. Abu Bakar dibaiat oleh kaum Muslimin esok harinya di depan Masjid Nabawi, setelah jenazah nabi dimakamkan.

Selama kurang lebih 2 tahun kepemimpinan Khalifah Abu Bakar yang dilanjutkan 10 tahun kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab, persatuan di antara umat Muslim generasi sahabat benar-benar terjaga. Namun benih-benih keretakan di antara mereka kembali muncul di separuh akhir kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan.

Beliau terkenal sebagai sahabat nabi yang dermawan dan penuh kelembutan. Kelembutan sikap inilah yang nampaknya dimanfaatkan oleh para sanak familinya yang menjadi orang-orang dekatnya untuk mengintervensi kebijakan dalam rangka mendapatkan posisi penting dan keuntungan dalam pemerintahannya.

Kajian sejarah Islam dalam pendekatan kontemporer cenderung melihat akar masalah yang melatarbelakangi terjadinya fitnah di masa ini adalah buah dari kebijakan Khalifah. Karena terpengaruh bujukan sanak kerabatnya, Khalifah Utsman memberhentikan beberapa gubernur yang diangkat di masa Khalifah Umar bin Khattab.

Sebagai penggantinya, Khalifah kemudian mengangkat orang-orang dari sanak kerabatnya. Ketidakpuasan rakyat di beberapa daerah terhadap langkah tersebut, ditambah perilaku korup kerabat-kerabat khalifah, memicu gelombang fitnah dan demonstrasi besar dari Kufah dan Bashrah (Irak), serta Mesir.

Pada titik inilah ramalan yang pernah disabdakan oleh nabi tentang fitnah yang akan menimpa sahabat Utsman akhirnya terjadi. Berawal dari ketidakpuasan dan kemarahan, demonstrasi tersebut mengerucut kepada tuntutan agar Khalifah Utsman menanggalkan kedudukannya sebagai khalifah.

Demonstrasi tersebut berubah menjadi insiden berdarah yang berakhir dengan terbunuhnya Khalifah Utsman di tangan salah seorang demonstran. Peristiwa inilah yang dalam catatan sejarah Islam dikenal sebagai Fitnah Kubro Pertama.

Kajian sejarah Islam dalam perspektif klasik sebagaimana yang ditunjukkan oleh golongan Salafi, memiliki pandangan yang berbeda dalam melihat akar permasalahan yang memicu terjadinya fitnah. Menurut mereka ada beberapa faktor yang melatarbelakanginya.

Pertama, muncul dan berkembangnya kaum Saba’iyyah. Mereka merupakan kelompok kaum zindik dan munafik yang secara lahiriah menampakkan diri sebagai kaum Muslim namun secara batiniah memiliki maksud jahat yang hendak menghancurkan Islam dari dalam.

Tokoh utama dari kelompok ini adalah Abdullah bin Saba’ yang dahulunya merupakan seorang Yahudi. Misi jahat Abdullah bin Saba’ didasari oleh dendamnya kepada kaum Muslimin yang telah mengalahkan dan menghancurkan Bani-Bani Yahudi di Madinah dan Khaibar.

Faktor kedua yang memicu terjadinya fitnah adalah kondisi kemerosotan moral dan suburnya ashabiyah di tengah masyarakat saat itu. Seiring dengan ekspansi militer dan semakin meluasnya daerah kekuasaan kaum Muslimin di masa Khalifah Utsman, pundi-pundi keuangan dan potensi kekayaan negara pun bertambah. Hal ini berdampak kepada kondisi masyarakat kala itu yang semakin sejahtera.

Pada satu sisi, hal ini merupakan hal yang positif, namun pada sisi yang lain hal tersebut ternyata justru memicu kemerosotan moral pada sebagian kaum Muslimin. Mereka umumnya adalah kalangan yang memeluk Islam belakangan. Mereka tidak menjumpai masa kenabian serta kurang mendapatkan pembinaan ruhiah.

Kebanyakan mereka berasal dari negeri-negeri yang baru tertaklukkan. Mereka tentu merasa keberatan dan terganggu dengan kebijakan khalifah yang melarang terhadap perbuatan-perbuatan kemaksiatan yang menjadi kesenangan-kesenangan mereka. Kondisi tersebut diperburuk lagi dengan ikatan ashabiyah dan fanatisme kesukuan yang semakin menguat.

Ketidaksukaan beberapa Suku Arab terhadap kepemimpinan Quraish serta desas-desus provokasi yang berhembus memicu mereka bergerak ke Madinah mengadakan protes dan pengepungan yang berujung kepada terbunuhnya Khalifah Utsman.
Fitnah dan keretakan terus berlanjut di era Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib.

Sebagaimana pada masa sebelumnya, kondisi masyarakat pada masa Khalifah Ali ditandai oleh permasalahan kemerosotan moral, ashabiyah, dan berkembangnya desas-desus dari golongan Saba’iyah. Selain karena hal-hal itu, secara lebih khusus, terjadinya fitnah dilatarbelakangi oleh tuntutan agar Khalifah Ali segera memproses pihak-pihak yang terlibat dalam peristiwa terbunuhnya Khalifah Utsman.

Persoalan dimulai dengan munculnya tuntutan agar Khalifah Ali segera menegakkan keadilan terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam aksi yang berujung pada insiden berdarah yang menewaskan Khalifah Utsman.

Sebenarnya Khalifah Ali sadar benar akan kewajiban itu, namun di sisi lain beliau juga mempertimbangkan semangat tribalisme Arab yang berwujud pembelaan yang membabibuta suku, klan, dan kabilah terhadap anggotanya yang terancam atau teraniaya baik benar maupun salah.

Khalifah Ali menyadari huru-hara yang kemungkinan bakal terjadi jika penindakan terhadap para pelaku buru-buru dilakukan. Permasalahan semakin rumit, jika melihat bahwa beberapa pihak yang terlibat dalam insiden itu merupakan orang-orang yang berkontribusi terhadap Khalifah Ali atau setidaknya memiliki hubungan dekat dengannya.

Beberapa tokoh sahabat yang tidak sabar dengan pertimbangan Khalifah Ali, dengan dipimpin oleh Ummul Mukminin ‘Aisyah, Zubair bin Awwam, dan Thalhah bin Ubaidillah datang dengan membawa pasukan.

Pada awalnya kedatangan tersebut hanya berniat untuk mengingatkan Khalifah Ali sekaligus mendesaknya agar segera bertindak tegas terkait kasus Utsman. Namun terpaan desas-desus yang menghantam kedua belah pihak yang telah menggelar pasukan akhirnya menyebabkan perang tidak dapat dielakkan lagi.

Inilah yang dalam catatan sejarah Islam dikenal sebagai Fitnah Kubro (Fitnah Besar) kedua. Gelombang Fitnah Kubro Kedua diawali dengan meletusnya Perang Jamal antara kubu Pemerintahan Khalifah Ali berhadapan dengan kubu pasukan yang dipimpin oleh Ummul Mukminin ‘Aisyah, Zubair bin Awwam dan Thalhah bin Ubaidillah. Peristiwa tersebut berakhir memilukan dengan tewasnya sahabat senior, Zubair bin Awwam dan Thalhah bin Ubaidillah.

Seolah tak mau berhenti, Fitnah Kubro Kedua berlanjut dengan terjadinya Perang Shiffin. Kali ini, Khalifah Ali harus menghadapi Gubernur Syiria, Muawiyah bin Abi Sofyan. Motifnya, Muawiyah menolak pemecatannya bahkan menuntut qishas atas darah Utsman yang tertumpah.

Hal ini karena Khalifah Utsman masih terhitung kerabat dengan Bani Umayyah, keluarga besar Muawiyah. Intrik dari kubu Muawiyah, membuat Perang Shiffin yang hampir dimenangi oleh Kubu Khalifah Ali, berakhir dengan kesepakatan untuk bertahkim kepada Kitabullah.

Kedua belah pihak memilih juru damai untuk berunding terkait solusi yang terbaik dalam mengatasi perseteruan. Khalifah Ali menunjuk sosok ulama, Abu Musa al-Asyari sedangkan kubu Muawiyah mengutus sosok politisi Amr bin ‘Ash. Namun adanya motif intrik dari awal, membuat niat mulia untuk bertahkim kepada Kitabullah justru berbuah keuntungan sepihak bagi kubu Muawiyah.

Hasil rekomendasi dari tahkim tentu mengecewakan bagi pendukung kubu Khalifah Ali dan menyebabkan sebagian pendukungnya memutuskan ‘keluar’ dari barisan.
Kelompok yang berikutnya disebut sebagai Khawarij ini merupakan firqah atau sempalan pertama yang diidentifikasi dalam sejarah Islam. Mereka berpandangan bahwa baik kubu Khalifah Ali maupun kubu Muawiyah serta para pendukungnya telah jatuh dalam kekufuran karena tidak berhukum kepada Kitabullah.

Agak sulit memang memahami alasan yang dikemukakan oleh kelompok ini. Terlebih, sebelumnya mereka pun merupakan bagian dari kubu yang mendukung Khalifah Ali. Bahkan beberapa tokoh dari merekalah yang mendesak Khalifah Ali menerima tawaran kubu Muawiyah untuk berunding.? Khalifah Ali sebenarnya tidak menginginkan perundingan itu, karena ia menyadari ada aroma intrik di dalamnya.

Munculnya firqah Khawarij sebagai kekuatan baru, membuat peta perselisihan tidak hanya terjadi antara kubu Khalifah Ali melawan kubu Muawiyah, namun juga menghadapi kubu Khawarij.

Fitnah Kubro Kedua berakhir dengan terbunuhnya Khalifah Ali oleh seorang Khawarij bernama Abdurrahman bin Muljam ketika beliau hendak salat subuh ke masjid. Kelompok Khawarij juga berupaya membunuh Muawiyah dan Amr bin Ash namun mengalami kegagalan.

Selama beberapa bulan setelah terbunuhnya Khalifah Ali, beberapa tokoh sahabat menunjuk Hasan bin Ali, putra beliau sebagai khalifah. Untuk mengakhiri fitnah di antara umat dan pertikaian yang terus berlangsung dengan kubu Muawiyah, Khalifah Hasan akhirnya merelakan menyerahkan jabatan kekhalifahan kepada Muawiyah.

Ia pun memerintahkan kepada kaum Muslimin untuk mengikuti ijtihad politiknya dengan membaiat Muawiyah sebagai khalifah. Peristiwa ini sejenak mengakhiri fitnah dan perpecahan yang berlangsung diantara kaum Muslimin. catatan sejarah menyebut peristiwa ini sebagai “Ammul Jama’ah” atau “Tahun Kesepakatan”.

Namun peristiwa Ammul Jama’ah ternyata tidaklah benar-benar mengakhiri fitnah dan keretakan di antara kaum Muslim untuk seterusnya. Tidak lama setelah peristiwa tersebut, muncul kembali beraneka fitnah dan benih-benih perpecahan baru yang terus berlangsung, sambung-menyambung hingga hari ini.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.