Bansos: Narasi Filantropis dan Koruptif Berbasis Standar Etika

Mensos Juliari Batubara (tengah) ketika bersama Ketua KPK Firli Bahuri. (Foto dokumentasi)
Sumber :
  • VIVA.co.id/ Syaefullah.

VIVA – Hampir setahun negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, harus hidup berdampingan dengan virus bernama Coronavirus disease (COVID-19) yang dideklarasikan World Health Organization (WHO) sebagai public health emergency of international concern.

Kesulitan yang dirasakan oleh masyarakat Indonesia akibat adanya pandemi ini sangatlah luar biasa karena dampak yang ditimbulkan bersifat multidimensional, terutama di sektor kesehatan dan ekonomi.

Pada sektor ekonomi, COVID-19 dapat dikatakan memiliki dampak yang lebih besar dari bencana sebelumnya, seperti career shocks yang mendorong pengangguran (Akkermans et al., 2020; Pelling, 2003). Terjadinya gelombang pengangguran di saat bencana dapat menyebabkan penurunan tingkat kesejahteraan sosial masyarakat (Beladi & Chao, 2006).

Untuk menjaga tingkat kesejahteraan sosial masyarakat di saat pandemi, terdapat tiga pendekatan atau cara menurut James Midgley dalam Tamim (2011), salah satunya adalah dengan filantropi. Pasca tsunami Aceh tahun 2004, Wolfgang Fengler dalam “Membangun Aceh dan Nias yang lebih baik” yang disitir oleh Sitorus (2009), mengungkapkan adanya sumbangan dari Bank Dunia maupun kegiatan filantropi dengan total sebesar $2,3 miliar USD.

Di kala pandemi saat ini, praktik filantropi pun banyak dilakukan oleh beberapa kalangan, tidak terlepas salah satunya adalah pemerintah sebagai pemeran utama dalam menyejahterakan masyarakatnya di situasi sulit seperti ini.

Sepanjang tahun ini, pemerintah melalui Kementerian Sosial (Kemensos) telah menyalurkan tiga program bantuan sosial, diantaranya adalah Program Keluarga Harapan (PKH), Program Bansos Tunai untuk Peserta Program Sembako/BNPT Non-PKH, dan Bansos Beras (BSB).

Tentunya, saluran bantuan sosial melalui program-program tersebut kepada masyarakat yang membutuhkan merupakan sebuah harapan baru dan juga pembangkit semangat hidup di kondisi sekarang. Berjuta-juta keluarga dapat dikatakan menggantungkan hidupnya kepada bantuan sosial yang diberikan oleh Pemerintah.

Namun sayangnya dalam pelaksanaannya, ditemukan beberapa masalah terkait penyaluran bantuan sosial tersebut, salah satunya adalah kasus korupsi dana bantuan sosial yang baru-baru ini muncul yang diduga dilakukan oleh Menteri Sosial, Juliari Batubara.

Komunikasi Politik sebagai Jembatan antara Warga Negara dan Institusi

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Juliari Peter Batubara bersama dengan beberapa pejabat Kemensos lainnya sebagai tersangka kasus suap bantuan sosial COVID-19.

Mensos Juliari Batubara diduga menerima uang sebanyak Rp17 miliar dari dua periode pengadaan bansos sembako yang terkumpul dengan cara memungut fee sebesar Rp10 ribu per paket sembako dari nilai sebesar Rp300 ribu per paket bansos.

Data Statistik Agraria untuk Pelaku Usaha Agrikultur di Era Modernisasi

Kasus korupsi ini tentunya menuai banyak kontra karena banyak yang mempertanyakan di mana etika Mensos dan pejabat lainnya sebagai seorang petugas atau pejabat publik yang seharusnya melayani masyarakatnya.

Standar Etika Pelayanan Publik Dalam Agenda Filantropis

Laporan Keuangan OJK 2022 Raih Opini Wajar Tanpa Pengecualian dari BPK

Dalam buku yang berjudul ‘Public Sector Ethics’ karya Amundsen (2009) mendefinisikan etika menjadi beberapa poin, di antaranya sebagai prinsip untuk mengevaluasi perilaku, standar benar atau salah manusia dalam menentukan apa yang harus dilakukan, dan upaya untuk memastikan lembaga yang dibentuk sesuai standar yang sesuai.

Etika yang didasarkan pada disiplin esoterik seperti agama dan filsafat sama halnya ditujukan sebagai standar perilaku dalam kelembagaan publik atau negara (Koven, 2015).

Dalam kasus kegiatan sumbang-menyumbang di kala pandemi ini, terutama dalam lingkup pemerintah, seharusnya tetap memperhatikan standar etika, baik dalam merumuskan atau mengimplementasikan suatu kebijakan.

Amundsen (2009) juga menyebutkan bahwa standar etika memiliki beberapa sumber, salah satunya democratic standards yang memasukkan prinsip-prinsip demokrasi seperti aturan demokratis, akuntabilitas politik, transparansi, keadilan, dan integritas publik yang relevan dalam penyelenggaraan birokrasi.

Pertama, aturan demokratis ini menjadi instrumen penting dalam penyelenggaraan negara yang demokrat. Namun, utamanya negara demokrasi diharuskan melibatkan dunia usaha dan masyarakat luas dalam proses kebijakan publik yang sesuai dengan prinsip good governance (El, 2013).

Oleh karena itu, aturan yang mendorong partisipasi yang menempatkan masyarakat bukan hanya sebagai objek sangat diperlukan, terutama di saat pandemi seperti ini (Prasojo, 2004).

Terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 29 Tahun 2020 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan Dalam Rangka Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) merupakan salah satu wujud regulasi yang mendorong adanya partisipasi publik.

Regulasi tersebut merupakan wujud keseriusan pemerintah dalam menggalang kolaborasi, baik dari level korporasi hingga individu. Pasalnya, pemerintah memberikan fasilitas insentif pajak kepada masyarakat untuk mengurangi beban pajaknya dengan mengurangi pendapatannya senilai sumbangan yang diberikan.

Dalam laman Gugus Tugas COVID-19, partisipasi masyarakat melalui sumbangan sangat signifikan hingga Rp237.282.481.457,00 yang membantu meringankan pemerintah hingga 7,83 persen dari (Rp3,03 triliun) realisasi anggaran rata-rata dari rentang 2009 – 2019 untuk BNPB berdasarkan Nota Keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2020.

Oleh karena itu, dimensi aturan demokratis, perihal dorongan partisipasi publik, yang terimplementasi dalam regulasi PP No. 29/2020 dalam perjalanannya mampu ditangkap oleh masyarakat dan mewujudkannya melalui donasi.

Kedua, Akuntabilitas dan transparansi saling berkaitan satu sama lainnya karena telah membuka peluang bagi masyarakat untuk memonitor kualitas pelayanan publik. Terkait donasi dari masyarakat, akuntabilitas dan transparansi pemerintah tidak sepenuhnya terpenuhi karena pemerintah hanya memberikan laporan terkait dari mana dan jumlah dana tersebut berasal, tetapi tidak dengan laporan mengenai penyaluran atas dana donasi tersebut.

Padahal, Agus Wibowo, Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Bencana BNPB, mengatakan bahwa data mengenai donasi sudah terkumpul dan akan dipublikasikan melalui situs www.covid19.go.id. Namun, sampai sekarang kehadiran laporan tersebut belum juga terpenuhi.

Mengenai tindak korupsi oleh Menteri Sosial, Juliari Batubara, menunjukkan lemahnya transparansi atas kinerja yang dilakukan oleh Kementerian Sosial dan tentunya menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap aparat pemerintahan.

Transparansi dan akuntabilitas atas tindakan ini  kemudian dipertanyakan oleh masyarakat dan juga Adnan Topan Husodo sebagai Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) karena Kementerian Sosial tidak transparan dan tidak mempublikasi laporan bansos yang dijalankannya hingga saat ini.

Selain itu, ICW juga kerap menghimbau Kemensos untuk bersikap transparan atas laporan tersebut. Tak hanya ICW, KPK dan Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, juga terus-menerus mengingatkan jajaran pemerintah dan lembaga terkait penanganan COVID-19 untuk bersikap akuntabel, transparansi, dan inovasi dari program yang dijalankan.

Terakhir, keadilan yang intinya ketidakberpihakan mengharuskan setiap keputusan didasari oleh objektivitas (Kinchin, 2007). Namun, dalam pemilihan vendor, Kemensos dinilai melanggar isu keadilan ketika ICW tidak menemukan vendor penyedia bantuan sosial tercantum dalam Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Kemensos ataupun Kementerian Keuangan.

Padahal, berdasarkan Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) Nomor 13 Tahun 2018 dan Surat Edaran LKPP Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pengadaan Darurat, pemerintah diharuskan untuk memberikan informasi pengadaan dan perencanaan agar tidak menyebabkan kebingungan publik.

Apalagi, KPK menduga salah satu pejabat PPK, MJS, menjadi pemilik dari salah satu vendor, yaitu PT Rajawali Parama Indonesia.

Selain itu, integritas menjadi hal yang mendorong dimensi keadilan dengan kualitas akan rasa kejujuran yang berkaitan erat dengan motivasi seseorang dihubungkan dengan tindakan bermoral (Amundsen & Andrade, 2009).

Walaupun integritas bersifat personal, tetapi akan berpengaruh terhadap ranah publik sehingga diharapkan organisasi pemerintahan mendorong integritas. Nilai integritas tergugur ketika JPB sebagai menteri mendapatkan dana yang dikelola oleh EK dan SN senilai Rp8,2 miliar.

Oleh karena itu, terdapat nilai egoisme atau tindakan yang mementingkan dirinya sendiri, dibanding sebagai utilitarianism yang memberikan kemanfaatan bagi masyarakat luas dalam etika consequatilsm.

Oleh karena itu, rasanya terdapat inkosistensi yang awalnya pemerintah meminta bantuan kepada masyarakat luas, tetapi justru mengecewakan dengan melanggar standar etika untuk melakukan tindakan egoisme. Apalagi, berdasarkan data Komite Penanganan COVID-19 Nasional (2020), Kemensos memiliki posisi dominan dalam anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) hingga sebesar Rp128,9 triliun.

Kelima dimensi pada democratic standards ini telah menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia belum bisa memenuhi seluruh dimensi tersebut, bahkan hanya satu, yaitu aturan demokratis.

Dengan ini menunjukkan bahwa narasi filantropi untuk meningkatkan kesejahteraan sosial oleh pemerintah dan tindakan korupsi oleh Mensos ini justru menjadi sebab runtuhnya kepercayaan masyarakat.

Lebih lagi, tindakan tersebut juga telah meruntuhkan standar etika di sektor publik yang selama ini ditegakkan oleh pemerintah hanya karena urusan kepentingan masing-masing pihak.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.