Kilas Balik: Polemik E-TOLL dalam Perspektif Etika

Ilustrasi Gerbang Tol Otomatis (Foto: kobayogas.com)
Sumber :
  • vstory

VIVA – Semakin ke sini peran teknologi semakin mendominasi di berbagai bidang kehidupan manusia. Hal-hal yang pada awalnya dilakukan oleh manusia, kini mulai tergantikan oleh kehadiran berbagai mesin dan alat elektronik canggih.

Amicus Curiae Cuma Terakhir untuk Bentuk Opini dan Pengaruhi Hakim MK, Menurut Pengamat

Sejak awal penemuannya, teknologi erat kaitannya dengan pekerjaan manusia. Sebut saja penemuan mesin uap pada tahun 1764 oleh James Watt yang mampu menciptakan pengangguran masal dan demonstrasi besar-besaran di Britania Raya.

Penemuan mesin ini juga yang menjadi pembuka gerbang era revolusi industri. Hingga tibalah pada saat ini, di mana era revolusi industri yang ke-4 mulai menyebar hampir ke seluruh negara di dunia tak terkecuali negara berkembang seperti Indonesia. 

Cek Tarif Tol Lewat Google Maps, Pastikan Saldo Cukup

Salah satu pengaruh revolusi industri yang terjadi di Indonesia adalah elektronifikasi tol yang mulai diberlakukan pada tahun 2017 lalu. Hal ini berawal dari Gerakan Nasional Non-Tunai (GNNT) yang dicanangkan oleh Bank Indonesia pada 14 Agustus 2014 silam (Mediaindonesia.com, 2018).

Berbagai manfaat positif dari transaksi non tunai terhadap perekonomian memicu Bank Indonesia untuk mulai bersinergi dengan pemerintah dalam tujuannya untuk menciptakan ekosistem cashless society (bi.go.id).

Pemudik Jangan Lupa Isi E-Toll, Ada 16 Ribu Kendaraan Saldo Kurang saat Pergi Mudik

BI bersama pemerintah memulai perubahan ini dari program elektronifikasi di sektor transportasi. Hingga pada tanggal 31 Mei 2017, program elektronifikasi transportasi mulai meluas pada elektronifikasi tol yang berlandaskan pada kesepakatan antara Bank Indonesia dan Kementerian PU-Pera. 

E-toll sepenuhnya mulai dilakukan di seluruh jalan tol per 31 Oktober 2017 dengan berlandaskan hukum pada Permen PUPR 16/2017 yang menegaskan penggunaan uang elektronik sebagai salah satu bentuk teknologi dalam transaksi tol non tunai di jalan tol (Hukumonline.com, 2018). Akan tetapi, jika transaksi di jalan tol seluruhnya menjadi non tunai, bagaimana dengan para pekerja di gardu tol?

Dengan diterapkannya transaksi non tunai di seluruh pintu tol, maka para pekerja di seluruh pintu tol sudah tidak dibutuhkan lagi. Hal ini menimbulkan permasalahan karena banyaknya tenaga kerja manusia yang tersingkirkan.

Oleh karena itu, permasalahan ini harus diatasi dengan cara menyediakan lapangan pekerjaan untuk para pekerja yang terkena dampak dari diterapkannya transaksi non tunai tersebut. 

PT Jasa Marga (Persero) selaku penyelenggara jasa jalan tol bertanggung jawab dalam melakukan penyediaan lapangan pekerjaan baru. Salah satunya dengan cara mengadakan program pemberdayaan untuk para pekerja.

Program pemberdayaan tersebut dinamakan dengan  program alih profesi (a-life). Dalam program tersebut, para pekerja akan diberikan beberapa pilihan. Di antaranya menjadi staf di kantor pusat atau kantor cabang, pilihan menjadi pegawai di anak perusahaan, menjadi wiraswasta, atau pensiun dini.

Jika dilihat dari perspektif corporate responsibility, program pemberdayaan pekerja bisa dikatakan sebagai bentuk realisasi dari tanggung jawab perusahaan terhadap para pekerjanya. Namun jika dilihat dari perspektif etika, apakah penerapan e-toll ini etis atau tidak? 

Permasalahan dalam e-toll ini berkaitan dengan ketenagakerjaan yang akan dikaji dari sisi tenaga kerja sebagai terdampak dari e-toll dan sisi pemerintah sebagai pembuat peraturan terkait e-toll. Disini kami akan menganalisis berdasarkan dua kajian teori etika normatif yaitu teori utilitarian dan deontologi.


E-toll dalam Perspektif Utilitarianisme

Dalam teori utilitarian berpendapat bahwa setiap orang ketika memutuskan atau bertindak atau berbuat mempunyai kewajiban melakukan pertimbangan-pertimbangan apakah perbuatannya meningkatkan utility (kegunaan) yang cukup luas dan besar, atau sebaliknya.

Jika dilihat dari perspektif utilitarian tindakan pemerintah untuk menerapkan e-toll ini dianggap etis. Mengutip pernyataan Direktur Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran Bank Indonesia, Pungky Purnomo Wibowo, pada Merdeka.com (11/10/2017) e-toll diterapkan semata-mata untuk mengurangi kemacetan.

Hal ini sangat berdampak bagi masyarakat pengguna jalan tol di Indonesia yang jumlahnya sangat banyak. Menurut data dari Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) pada tahun 2017 terdapat 5 ruas jalan tol dengan volume lalu  lintas tertinggi salah satunya jalan tol Jakarta - Cikampek yang mencapai 200 juta lebih kendaraan. Ini berarti bahwa pengguna jalan tol di Indonesia sangat banyak dan memiliki cakupan yang sangat luas. 

Selain itu, e-toll akan lebih memudahkan dari sisi mekanisme penggunaan uang terkait keamanan, keakuratan data dan menjadikannya lebih praktis serta meminimalisir kesalahan pengembalian uang.

E-toll juga bersifat wajib untuk dilakukan karena salah satu sasaran akhir dari pengembangan tol adalah penerapan Multi Lane Free Flow (MLFF). MLFF merupakan proses pembayaran nirsentuh, yakni pengguna jalan tol tidak perlu memberhentikan kendaraan di gerbang tol (Mediaindonesia.com, 2018). Hal ini seperti yang sudah dikembangkan di negara-negara maju seperti Singapura.

Meskipun jika dilihat dari sisi tenaga kerja penerapan e-toll ini terbilang tidak etis karena akan terjadi pemotongan jumlah tenaga kerja yang cukup besar, dalam perspektif utilitarian penerapan e-toll ini merupakan keputusan yang etis dan tepat untuk dilakukan. Karena e-toll memiliki kegunaan yang lebih besar dan luas bagi masyarakat serta perekonomian negara ketimbang mempertahankan transaksi tunai.  

E-toll dalam Perspektif Deontologi

Jika dilihat dari perspektif deontologi, keputusan pemerintah terkait penerapan e-toll sebenarnya tidak etis. Deontologi merupakan keputusan etis yang harus dibuat melalui pertimbangan tugas dan kewajiban seseorang bersama dengan hak individu lainnya.

Hak individu ini dibahas lebih lanjut dalam Natural Right Theory yang dicetuskan oleh John Locke. Ia berkata bahwa setiap individu berhak atas hak dasar dan kebebasan yang dimiliki. 

Pada awal paragraf, dikatakan bahwa penerapan e-toll adalah sebuah tindakan yang tidak etis. Mengapa demikian? Ketika pemerintah membuat kebijakan mengenai skema pembayaran non tunai dengan menggunakan e-toll, akan berimbas pada dipulangkannya para pekerja yang bertugas sebagai penjaga gardu tol. Solusi dari pihak perusahaan adalah memindahkannya ke bagian lain.

Namun, apakah kemampuan yang dimiliki pekerja ini sudah cukup untuk beradaptasi dengan tugas baru? Jika tidak, maka ia akan terkena seleksi. Bukan suatu hal yang mudah untuk beradaptasi dengan pekerjaan baru.

Apalagi bagi mereka yang telah melakukan pekerjaan ini dalam rentang waktu yang lama. Akibat dari permasalahan ini dapat memicu terjadinya pengangguran massal. Bekerja dan memiliki pekerjaan adalah sebuah hak dasar yang dimiliki oleh manusia. Maka dari itu jika para pekerja terkena PHK disebabkan oleh penerapan e-toll, menurut perspektif deontologi, pihak pemerintah dan perusahaan telah melanggar hak dasar manusia untuk bekerja.  

Berdamai dengan Teknologi 

Berdasarkan analisis dari kedua perspektif etika normatif diatas, permasalahan ketenagakerjaan dari penerapan e-toll di Indonesia memberikan kesimpulan yang berbeda.

Jika dilihat dari sisi kegunaan, penerapan e-toll dipandang etis. Namun, jika dilihat dari sisi hak kemanusiaan (dalam hal ini bekerja) itu tidak etis. Dalam menyikapi hal ini perlu adanya pemahaman bahwa kita tidak bisa melawan arus perkembangan teknologi.

Revolusi industri telah memasuki era keempat di mana nantinya seluruh aktivitas manusia akan sangat bergantung pada kecanggihan teknologi. Mungkin saat ini kita memandang perkembangan teknologi telah menghilangkan ratusan bahkan jutaan pekerjaan di dunia.

Namun, kita tidak menyadari bahwa perkembangan teknologi juga memberikan berbagai jenis pekerjaan baru di masa yang akan datang. Maka dari itu, dari permasalahan ketenagakerjaan yang kini tengah terjadi di berbagai fungsi, kita perlu mempersiapkan diri.

Dengan terus mengasah bakat dan potensi yang ada dalam diri, serta terus meningkatkan soft competency dan citra diri, maka kita mampu menghadapi tantangan perkembangan teknologi di masa yang akan datang. (Penulis: Herawati, Sera Alifia, dan Sisilia Agustiana, Mahasiswa Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.