Daripada Benci Produk Asing Mending Bangga Memakai SNI

Ilustrasi Presiden Jokowi saat menaiki motor kustom anaknya Gibran.
Sumber :
  • VIVA/Dian Tami

VIVA – "Pemenuhan SNI is a must! dengan tujuan untuk meningkatkan daya saing produk bangsa!" Alm. BJ Habibie.

Pemkab OKU Timur Sabet Opini WTP ke-12, Bupati Lanosin: Alhamdulillah

Pekan lalu, Presiden Joko Widodo menyerukan benci terhadap produk luar negeri atau asing dalam pidatonya di Istana Kepresidenan. Pernyataan tersebut sangatlah kontroversial dan dapat merusak hubungan internasional serta memicu pembalasan dari beberapa negara.

Sebenarnya maksud dari ucapan Presiden tersebut baik untuk meningkatkan penggunaan produk dalam negeri, tetapi penggunaan diksinya kurang tepat. Banyak kalangan menilai hal tersebut justru akan membuat posisi Indonesia akan semakin dijauhi dan dipersulit dalam kegiatan perekonomian.

Amicus Curiae Cuma Terakhir untuk Bentuk Opini dan Pengaruhi Hakim MK, Menurut Pengamat

Kegaduhan tersebut membuat pihak istana angkat bicara. Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Dany Amrul Ichdan menyebutkan, Presiden tak bermaksud mengajak masyarakat membenci negara produsen atau produk asing secara harfiah, yang dikutip dari kompas.com.

Menurut Dany, ia meminta masyarakat tak menyalahartikan ajakan Jokowi soal menggaungkan benci produk luar negeri. Presiden justru tengah memberikan semangat motivasi dan heroik kepada jajarannya dan seluruh masyarakat Indonesia agar mencintai produk-produk dalam negeri.

Idrus Marham: Fakta atau Omon-Omon?

Di tengah situasi krisis yang ditimbulkan pandemi covid-19, Jokowi mengajak seluruh elemen khususnya para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) untuk bangkit dan mampu bersaing dengan produk-produk luar negeri.

Sebagai negara dengan jumlah penduduknya terbesar keempat di dunia, Indonesia menjadi pasar yang menggiurkan bagi produsen, termasuk produsen barang impor. Hingga saat ini, kita masih dihantui produk impor baik melalui jalur resmi maupun ilegal.

Selain itu, produk impor juga meramaikan e-commerce di Indonesia. Bahkan mereka menjual kepada end users dengan harga yang miring dan akhirnya konsumen menjadi tertarik untuk membelinya. Hal ini dapat merusak ekosistem bisnis yang menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat.

Pertumbuhan e-commerce saat ini berkembang pesat di Indonesia. Bahkan di masa pandemi covid-19, ada percepatan pertumbuhan menjadi 91 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya 54 persen. Hal ini disampaikan CEO Circlo, Brian Marshal, yang dikutip dari techno.okezone.com.

Mengutip Badan Pusat Statistik (BPS), usaha yang menggunakan internet untuk menerima pesanan, atau melakukan penjualan barang/jasa pada tahun 2020 hingga periode pencacahan berakhir (31 Agustus) sebesar 90,18 persen.

Hampir separuh dari seluruh usaha e-commerce (48,42 persen) adalah usaha di sektor perdagangan besar dan eceran, reparasi dan perawatan mobil dan sepeda motor.

Bijak Memilih dan Membeli

Kalau kita disuruh memilih produk asing atau produk dalam negeri, mana yang akan kamu pilih? Jawabannya kembali lagi kepada kebutuhan dari masing-masing konsumen. Kita tidak dapat memaksakan konsumen untuk membeli sebuah produk. Tetapi kita dapat mengubah persepsi dan mindset untuk membeli produk dalam pengambilan keputusannya.

Perilaku membeli seseorang dipengaruhi beberapa macam faktor, yaitu faktor internal dan eksternal yang berasal dari dalam individu tersebut dan faktor eksternal yang berasal dari luar diri individu (Hendrajuana, 2000).

Salah satu faktor internal yang mampu mempengaruhi perilaku konsumen adalah psikologis gaya hidup. Secara singkat, gaya hidup sebagai salah satu kategori dalam psikografis terdiri dari kombinasi faktor, seperti aktivitas, minat dan pendapat (Ahmad et al., 2010).

Selain itu, peran persepsi konsumen terhadap produk merupakan hal penting dalam diri konsumen. Menurut Kotler dan Keller (2008:228) dalam pemasaran persepsi lebih penting daripada realitas, karena persepsi itu yang akan mempengaruhi perilaku aktual konsumen. Persepsi mampu mempengaruhi bagaimana seseorang memutuskan untuk menggunakan suatu produk atau jasa yang ditawarkan oleh perusahaan.

Niat beli juga perlu dipertimbangkan dalam memilih produk. Niat beli merupakan evaluasi dan sikap konsumen terhadap produk dengan melihat faktor eksternal sehingga berdampak pada kesediaan konsumen untuk membeli produk (Wen dan Li, 2013). Cara lain untuk memeriksa perilaku niat beli konsumen adalah untuk menilai kesediaan mereka untuk membayar (Barber et al., 2012).

Dengan kata lain, ketika kita dihadapkan dalam sebuah keputusan untuk membeli produk ialah kemampuan kita dalam membeli dan seberapa butuhkan kita dalam membeli produk tersebut. Bijak dalam memilih dan membeli produk sebagai konsumen cerdas merupakan cara yang terbaik untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Lantas apa yang membuat kita untuk membeli produk dalam negeri dibandingkan produk luar negeri? Jawabannya sederhana seperti kamu diberi uang oleh orangtuamu untuk membeli sayur di pasar. Uang tersebut akan sangat berguna dan bermanfaat bila diberikan kepada tukang sayur.

Begitulah prinsip berdagang yang terdapat perputaran uang di dalamnya. Apabila kita membeli barang buatan Indonesia, maka akan terdapat efek domino yang besar jika perputaran uangnya di dalam negeri.

Dampaknya ekonomi tumbuh dan secara tidak langsung kita mampu meningkatkan kesejahteraan baik petani dan penjual. Seperti petani dapat membeli pupuk, membeli bensin untuk transportasi, penjual membeli kebutuhan rumah tangganya dan memutar uangnya untuk modal berjualan.

Sebaliknya, jika uang tersebut kita beli untuk produk luar negeri. Pedagang hanya mengambil untuk 10-30 persen dari harga jual, sisanya kembali ke negaranya dan uang tersebut akan diputar. Akibatnya kita kehilangan uang yang beredar di dalam negeri dan mensejahterakan negara lain.

Mindset ini yang harus kita tanamkan sejak dini dan dimulai dari kita sendiri. Walaupun produk dalam negeri harganya sedikit mahal tetapi kita harus melihat dibalik itu semua ada mata rantai yang akan berputar bagi kesejahteraan negara kita.

Bangga Memakai SNI

Hasil analisa yang dilakukan oleh bigcommerce yang dikutip dari hubspot menunjukkan faktor utama yang mendorong keputusan pembelian (56 persen) adalah kualitas produk. Sedangkan fitur toko yang paling mendorong pembelian adalah harga yang bersaing (80 persen).

Dari gambaran di atas, secara singkat harga memainkan peranan yang penting untuk mempengaruhi perilaku konsumen dibandingkan kualitas. Tetapi yang perlu diingat adalah ‘ada harga ada kualitas’. Pernyataan tersebut sering kita alami dalam pengambilan keputusan untuk membeli suatu produk.

Ada produk yang harganya murah tetapi secara kualitas cepat rusak. Begitu sebaliknya biarlah harga mahal sedikit tetapi kualitasnya dapat digunakan untuk jangka panjang. Bahkan kita juga bisa membeli produk yang berkualitas tinggi dengan harga terjangkau atau diskon.

Sebagai konsumen cerdas, kualitaslah yang seharusnya kita ke depankan. Kualitas dan mutu produk dapat menjadi tolak ukur kepribadian suatu bangsa. Mengapa demikian, contohlah negara maju, mereka hanya membeli produk-produk yang kualitasnya bagus, soal harga mereka bisa mempertimbangkannya kembali. Karena mereka butuh suatu produk yang baik untuk mereka gunakan.

Berbicara soal kualitas dan mutu, yang terbesit dalam pikiran adalah Standar Nasional Indonesia (SNI). Sesuai UU No. 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian, SNI adalah standar yang ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN) dan berlaku di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Untuk meningkatkan jaminan mutu, daya saing produk, dan meningkatkan perlindungan konsumen, SNI dipandang penting untuk memastikan produk yang berkualitas.

Bayangkan bila tidak ada standar, kita akan dibuat bingung dengan produk yang berbeda-beda dan tidak sesuai. Bahkan dapat mengancam keselamatan, keamanan, kesehatan dan fungsi lingkungan hidup (K3L).

Mengutip data BSN melalui bangbeni.bsn.go.id (9/3/2020), yang telah mendapatkan Sertifikat Produk Penggunaan Tanda (SPPT) SNI sebanyak 6.320 produk. Penerap SNI juga tidak hanya dari industri besar melainkan UMKM telah mampu menerapkan SNI.

Pada prinsipnya, SNI itu diberlakukan oleh BSN secara sukarela. Jika menyangkut masalah K3L dan keamanan negara maka kementerian/lembaga sebagai regulator dapat mewajibkan SNI tersebut. Ketika SNI tersebut diwajibkan, Indonesia harus menotifikasi kepada World Trade Organization (WTO) agar semua negara mengetahui dan apabila tidak setuju dapat diberikan tanggapan melalui WTO.

Demi mengedepankan kualitas, produk impor dan produk dalam negeri dapat menerapkan SNI baik secara wajib maupun sukarela. Dalam proses pengurusan SNI, yang terpenting adalah produknya memenuhi semua parameter mutu SNI yang telah diuji di laboratorium penguji terakreditasi Komite Akreditasi Nasional (KAN).

Produk yang telah memenuhi SNI benar-benar berkualitas dan aman untuk dikonsumsi. Dengan menerapkan SNI kita mampu mendukung pemerintah dan bersama-sama memerangi produk yang tidak sesuai alias abal-abal. Serta menggaungkan kampanye ‘Bangga Memakai SNI’. Tagline ini tidak hanya menjadi semacam jargon saja, tetapi bila kita komitmen dan menanamkan jiwa nasionalis akan mampu mendorong bangsa Indonesia yang berkualitas.

Sebenarnya sebagian orang tidak masalah menggunakan produk impor tetapi harus diimbangi dengan kualitas dan mutu yang terbaik, seperti SNI. Semua keputusan dalam membeli dikembalikan lagi kepada konsumen.

Selain itu, Konsumen juga dituntut untuk cerdas dalam memilih dan membeli barang agar sesuai kebutuhannya. Perlu sedini mungkin ditanamkan jiwa nasionalisme yang kuat untuk menggunakan produk dalam negeri.

Jadi kamu tim mana? Produk impor atau produk dalam negeri?

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.