Perguruan Tinggi dan Peradaban Bangsa

Ilustrasi toleransi.
Sumber :
  • vstory

VIVA – Prof. Dr. Johannes Gunawan, S.H, L.L.M,  guru besar Ilmu Hukum Universitas Parahyangan dalam webinar hari pertama Pra-Kongres Pancasila yang digelar oleh Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah Mada (2/5/2021) menyatakan bahwa setiap orang harus memiliki 4-R, yakni raga, rasa, rasio, dan rukun. Raga itu psikomotorik, rasa itu afeksi, sedangkan rasio itu otak, dan rukun adalah learning to live together.

Sambut Lebaran 2024, Menko Luhut: Momentum Mempererat Kerukunan Serta Kekompakan

Pernyataan Prof. Johannes tersebut dalam konteks penjelaannya bagaimana Pancasila seharusnya diamalkan dalam kehidupan sehari-hari untuk membentuk karakter bangsa. Webinar yang akan berlangsung selama tiga hari itu adalah kegiatan pendahuluan sebelum kegiatan inti yakni Kongres Pancasila yang akan dilaksanakan pada 7-8 Mei 2021.

Lebih lanjut dalam webinar yang juga menghadirkan pembicara Ketua Komisi X DPR RI, Syaiful Huda, Dirjen Dikti, Prof. Nizam, Kepala Litbang Perbukuan Kemendikbud, Nino Aditomo, Ph.D, dan Ketua Forum Rektor, Prof. Arif Satria ini, Prof. Johannes mengungkapkan bahwa sekali pun jumlah artikel dosen yang terindeks Scorpus sangat banyak, namun tidak otomatis isinya memajukan peradaban dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Pentingnya Ideologi Pancasila dalam Kehidupan Santri

Mengomentari paparan Dirjen Dikti, Prof. Nizam bahwa produk tulisan kita sudah melampaui negara-negara Asean, Prof. Johannes justru bertanya, “Apakah dengan kondisi semacam itu peradaban kita makin maju, dan kesejahteraan kita juga  meningkat?” Menyejahterakan masyarakat dan memajukan peradaban itu adalah perintah Undang-undang dasar 45. Kenyataannya, kata Prof. Johannes, sekali pun hasil penelitian kita segudang, namun di negeri kita masih ada “manusia gerobak.”

Keresahan Prof. Johannes barangkali mewakili keresahan banyak orang. Selama ini juga banyak yang memertanyakan kualitas penelitian yang dihasilkan oleh perguruan tinggi, lebih jauh lagi kontribusinya bagi pembangunan nasional. Apakah mereka yang menghasilkan banyak penelitian, dan bahkan banyak yang menulis artikel ilmiah yang terindeks Scorpus lantas mereka memiliki pemikiran yang cemerlang dalam bidangnya. Tampaknya belum ada indikator yang menunjukkan ke arah sana.

Perlombaan mengejar Scorpus hanya sebatas mengumpulkan angka kredit sebagai persyaratan kepangkatan, dan sekaligus untuk memenuhi tuntutan perguruan tinggi agar peringkatnya naik, baik di tingkat nasional, maupun internasional. Prof. Johannes, dan juga banyak orang yang risau terhadap keadaan ini bukannya beranggapan bahwa Scorpus itu tidak penting, dan mengejar pemeringkatan itu juga tidak penting. Namun yang harus menjadi prioritas adalah bagaimana perguruan tinggi menjadi mata air, bukan menara gading, sehingga dalam konteks pengamalan Pancasila, perguruan tinggi menjadi contoh yang berada paling depan.

Tuntutan untuk mengejar kepangkatan, dan juga peringkat universitas tidak hanya berakibat kualitas penelitian kita yang sangat rendah, namun demikian banyak dosen dan akademisi yang terjebak dalam praktik plagiarisme. Jangankan perguruan tinggi akan bertindak menyejahterakan rakyat dan memajukan peradaban, sementara sumberdaya yang ada di perguruan tinggi tersebut ternyata tidak cukup bisa dikatakan memiliki peradaban yang tinggi.

Maraknya plagiarisme tidak hanya mencederai citra perguruan tinggi sebagai gudangnya intelektual, namun patut dipertanyakan di mana implementasi Pancasila di perguruan tinggi. Plagiarisme tergolong tindak korupsi, dan ini adalah penyakit laten dari tahun ke tahun. Plagiarisme dan tindakan semacam yang memalukan adalah cerminan dari masyarakat dengan peradaban yang sangat rendah.

Maka sebenarnya yang perlu dibangun lebih dahulu adalah manusia-manusia yang menjadi pengelola perguruan tinggi tersebut. Pancasila selama ini belum menjiwai segala tindakan kita dalam berbangsa dan bernegara. Meningkatnya tindak korupsi, dan makin kuatnya gerakan intoleransi menandakan bahwa gembar-gembor dengan mencatut nama Pancasila yang selama ini terjadi, ternyata adalah sebatas slogan tanpa makna.

Di era Orde Baru barangkali perdebatan ideologi tidak semarak hari ini. Plus-minus kedudukan Pancasila di era Orde Baru menjadi ukuran kita saat ini. Memang selama Orde Baru berkuasa orang dipaksa untuk mengatakan bahwa Pancasila yang paling benar. Lalu, bagaimana kita bisa menyatakan bahwa Pancasila itu adalah idologi paling benar jika tidak ada ideologi lain sebagai pembandingnya. Kala itu orang dilarang untuk membaca ideologi lain, terutama komunisme. Membaca novel yang pengarangnya terindikasi terlibat dalam gerakan komunis saja tidak boleh.

Dengan dicabutnya Pancasila sebagai asas tunggal berdasarkan TAP MPR Nomor XVIII/MPR/1998, banyak orang melakukan pengembaraan ideologi. Partai politik tidak harus mencantumkan pancasila sebagai satu-satunya asas. Karenanya, maka terjadi pergulatan antar ideologi. Kondisi ini persis ketika zaman pra-kemerdekaan. Negara Indonesia yang akan berdiri itu akan diisi dengan landasan ideologi apa.

Cita-cita mulia reformasi dengan harapan Indonesia baru yang makin sejahtera dengan persatuan yang kuat, namun yang terjadi tidak seperti yang diinginkan bersama. Sektarianisme meningkat, persatuan kita terancam, dan pertarungan ideologi makin tajam. Reformasi menghasilkan eforia kebebasan yang menurut banyak orang dinilai kebablasan. Setelah di masa lalu masyarakat merasa muak karena selalu dicekoki dengan Pedoman Penghayatan Pancasila (P4), lalu ketika lepas dari belenggu tersebut banyak orang melakukan pengembaraan.

Saat ini, setelah aneka peristiwa terjadi di panggung sosial politik terjadi polarisasi yang sangat tajam, banyak orang makin menyadari bahwa Pancasila memang ideologi yang bisa merekatkan semua unsur budaya yang ada di negeri ini. Apa yang disampaikan oleh Dirjen Dikti, Prof. Nizam, mungkin perlu dicermati dan diimplementasikan. Prof. Nizam menyatakan bahwa Pancasila perlu dihayati tidak hanya diajarkan. Penghayatan nilai-nilai Pancasila tersebut, menurut Prof. Nizam bisa melalui festival seni, festival olahraga, atau pun festival literasi.

Apa yang disampaikan Prof. Nizam barangkali adalah untuk menjawab kegagalan indoktrinasi Pancasila di masa lalu. Jika pada masa lalu orang berpancasila karena ancaman penguasa yang mengharuskan sebagai asas tunggal, dan mereka yang menentang Pancasila dianggap sebagai musuh negara, maka situasi pada era kebebasan saat ini tentu kondisinya sangat berbeda. Berpancasila pada saat ini adalah kesadaran bersama. Pancasila adalah jembatan bagi pergulatan sekian banyak ideologi dunia.

Pancasila tak harus ditanamkan dengan indoktrinasi seperti dulu. Melalui kesenian orang bisa menghayati karakter bangsanya. Berkaca dari dunia Barat, mereka membentuk karakter bangsanya dengan mengajarkan filsafat dan sastra dalam semua tingkatan pendidikan. Karya sastra adalah rekaman nilai-nilai luhur dan kebijakan yang dihasilkan oleh bangsanya. Gagasan-gagasan brilian di masa lalu adalah proses panjang para pendahulu bangsa mencari jati dirinya.

Sepanjang zaman karya sastra selalu menjiwai kehidupan mereka. Sastrawan adalah inspirasi bagi pengembangan karakter bangsanya. Sastrawan dan pemikir memeroleh tempat terhormat dan diabadikan sebagai ikon negaranya. Jerman misalnya, menempatkan novelis Johann Wolfgang von Goethe sebagai ikonnya. Tidak ada orang Jerman yang tidak mengenal nama Goethe. Pusat Kebudayaan Jerman yang tersebar di seluruh dunia juga menggunakan namanya, Goethe Institute. Begitu pula dengan Belanda. Orang Belanda juga tak pernah melupakan Desiderius Erasmus Roterodamus yang hidup pada 1466-1536. Nama seorang pemikir humanis ini juga diabadikan sebagai nama Pusat Kebudayaan Belanda, Erasmus Huis.

Indonesia tidak kekurangan sastrawan yang hebat. Indonesia juga sangat kaya dengan para pemikir, baik pada era pra kemerdekaan maupun pasca kemerdekaan. Namun sudahkah kita bangga dengan karya-karya pemikiran mereka? Sudahkah kita bangga menyebut nama mereka dan mengenalkannya kepada dunia?

Di masa lalu, para pemikir humanis kita telah melakukan pergumulan ideologi dan melaluinya dengan perdebatan yang sangat panjang. Di tengah pergulatan itulah pada akhirnya Pancasila disepakati sebagai ideologi pemersatu bangsa.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.