Cancel Culture, Rekomendasi Hukuman bagi Koruptor

Ilustrasi korupsi (foto/unsplash.com)
Sumber :
  • vstory

VIVA – Tindakan korupsi di Indonesia semakin hari makin sering kita dengar. Korupsi seperti masuk ke dalam setiap lini kehidupan di masyarakat Indonesia. Tindakan ini meskipun merupakan kejahatan, namun masih ada saja yang mengganggap hal tersebut adalah suatu kewajaran.

Eks Presiden Sriwijaya FC Tersandung Korupsi Dana Hibah, Kini Ditahan Kejati Sumsel

Meskipun BPS mencatat Indeks Perilaku Antikorupsi tahun 2021 mengalami peningkatan menjadi 3,88, namun Indeks Persepsi Korupsi Indonesia tahun 2020 masih tergolong korup. Indonesia menempati posisi ke 102 dari 180 negara dengan skor 37.

Kasus Juliari Batubara sebagai contoh. Ia melakukan korupsi saat masyarakat berjibaku menghadapi pandemi Covid-19 yang mengguncang seluruh sisi kehidupan baik sosial dan ekonomi. Saat mayoritas masyarakat menderita akibat PHK, kuliah/belajar daring yang membutuhkan biaya kuota internet, kematian keluarga/kerabat karena covid-19, dan masih banyak lagi. Juliari malah asyik menggeroti dana bantuan sosial.

Ditetapkan Tersangka Korupsi, Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Pasrah

Hukuman bagi para tikus berdasi ini menjadi salah faktor satu yang menyebabkan mengapa tindakan korupsi masih marak dilakukan. Tidak adanya unsur pemberian efek jera disinyalir sebagai faktor utama.

Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zaenur Rohman menjelaskan (suara.com/2 November 2021) bahwa hukuman penjara bagi tindak pidana korupsi di Indonesia rata-rata hanya 2 tahun dan maksimal 4 tahun. Meskipun pelaku diberi pidana tambahan berupa uang pengganti, nyatanya tak memberi efek jera. Bahkan uang tersebut pun sangat jauh dari nominal uang yang berhasil dikorupsi si pelaku.

KPK Cegah Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Usai jadi Tersangka Kasus Korupsi Potongan Insentif

Wacana hukuman mati bagi koruptor menjadi isu hangat yang tengah diperbincangkan. Wacana ini digadang-gadang dapat memberikan efek jera bagi para koruptor. Mekanisme hukuman mati juga sudah diterapkan di beberapa negara, sebagai contoh China. Negara dengan penduduk terbanyak nomor 1 di dunia ini menjadikan hukuman mati sebagai ganjaran yang setimpal bagi koruptor.

Lalu bagaimana di Indonesia?

Sampai tahun ini Indonesia belum menerapkan hukuman mati bagi koruptor meski hukuman tersebut termuat dalam UU. Hukuman mati bagi koruptor sepertinya hanya sekadar wacana. Nyatanya hingga saat ini pun, tak ada pelaku korupsi yang merasakan hukuman tersebut. Alasannya karena tidak ada korelasi hukuman mati dengan berkurangnya kasus korupsi.

Di China misalnya, meskipun pelaku korupsi terancam hukuman mati namun Indeks Persepsi Korupsi negara ini berada pada skor 42. Tidak jauh berbeda dengan Indonesia. Negara lain yang mengancam pelaku korupsi dengan hukuman mati lainnya seperti Korea Utara, Yaman, dan Somalia pun Indeks Persepsi Korupsinya berada pada skor 10-14.

Artinya, hukuman mati bukanlah cara yang efektif untuk menghentikan kejahatan luar biasa ini. Bukan hanya solusi yang kurang tepat, hukuman mati juga tidak sesuai dengan norma hak asasi manusia, yaitu hak untuk hidup.

Selain hukuman mati yang dinilai tidak berprikemanusiaan, ada cara lain yang dapat menjadi rujukan, yaitu cancel culture. Kita mungkin biasa mendengar cancel culture pada industri hiburan. Misalnya selebriti yang bertindak tidak sesuai dengan harapan fans akan dikucilkan dari dunia hiburan bahkan wajahnya tak akan nampak lagi di layar kaca. Bagaimana jika cara itu dipakai juga untuk para tikus berdasi ini?

Cancel culture sama artinya dengan boikot. Perilaku ini menjadikan seseorang diblacklist jika tindakan dan sikapnya tidak sesuai dengan harapan khalayak. Bila terjadi pada public figure, selebriti semisalnya, maka dia tidak lagi  menerima berbagai tawaran pekerjaan seperti  pembatalan kontrak kerja, pembatalan iklan, atau tampil di televisi.

Namun cancel culture bagi pelaku tindak pidana korupsi adalah menghilangkan eksistensinya pada setiap lini kehidupan. Praktik ini telah dilakukan di Singapura. Negara tetangga kita ini menerapkan sistem di mana pelaku tindak pidana korupsi harus membayar kerugian negara dengan jumlah yang sangat besar.

Harta yang pelaku peroleh baik itu dari hasil kerja keras maupun dari hasil korupsi akan diambil oleh negara bahkan tak diperkenankan membuka rekening bank karena namanya telah diboikot. Hasil dari hukuman ini adalah Indeks Persepsi Korupsi di Singapura mencapai skor 85. Ini merupakan skor tertinggi di Kawasan Asia Tenggara.

Berbagai cara digunakan untuk memberikan efek jera bagi pelaku korupsi. Namun, pada dasarnya tindak pidana korupsi berasal dari moral korup yang dimiliki si pelaku dan sistem yang bobrok.

Menurut Ridwan (2012) penerapan hukum terdiri atas tiga sub sistem, yaitu substansi hukum, struktur hukum, dan kultur hukum. Meski substansi hukum berada pada kondisi ideal, bila tak dibarengi dengan sktruktur dan budaya yang tepat, maka semuanya hanyalah kesia-siaan belaka. Tanpa moralitas, hukum yang sempurna sekalipun akan menjadi lesu dan tak berdaya.

Tindak pidana korupsi merupakan tindak kejahatan yang telah menggurita pada setiap sisi kehidupan. Hukuman mati bagi pelakunya nyatanya bukanlah solusi pada akar rumput. Moralitas kita sebagai manusia dan perbaikan sistem adalah kuncinya. Tindak korupsi tidaklah sirna dengan hukuman mati namun karena adanya kesadaran bahwa tindakan korupsi merupakan kejahatan keji dan biadab. Kejahatan yang merusak dan menghancurkan hidup orang lain. (Dita Christina, PNS di Badan Pusat Statistik)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.