Pentingkah Kuliah Jurusan Jurnalistik di Era Digital?

Ilham Pangumbara. Gambar : Istimewa
Sumber :
  • vstory

VIVA Jurnalistik sebagai salah salah satu disiplin ilmu dalam Ilmu Komunikasi, yang mempelajari tentang kompetensi, kaidah, etika hingga kode etik jurnalistik (KEJ) bagi seorang mahasiswa di Perguruan Tinggi. Jurnalistik berasal dari kata Journal yang berarti catatan harian suatu peristiwa yang meliputi kejadian sehari-hari. Kata Jurnal diadopsi dari bahasa Latin yang semula bernama diurnalis, berarti setiap hari atau harian.

Acara Met Gala Berlangsung, Pengunjuk Rasa Pro-Palestina Penuhi Jalanan New York

Lulusan mahasiswa jurnalistik tak melulu ketika selesai mengenyam dunia akademisnya menjadi seorang jurnalis atau wartawan untuk sebuah perusahaan media massa.

Malahan, yang kini aktif menjadi seorang Jurnalis, reporter atau wartawan banyak memiliki latar pendidikan yang bukan dari Ilmu Komunikasi, khususnya Ilmu Jurnalistik.

IOH Kembali Hadirkan INSPIRE, Program Magang untuk Mahasiswa Tingkat Akhir dan Lulusan Baru

Sebut saja Karni Ilyas dan Najwa Shihab, dua tokoh yang sangat berpengaruh dalam dunia Jurnalistik Tanah Air. Kita ketahui bersama keduanya adalah Jurnalis senior yang sudah melalang buana dalam profesi Jurnalis, bahkan penghargaan bagi keduanya sudah sangat banyak atas dedikasinya dalam meliput sebuah peristiwa besar.

Namun, siapa sangka bahwa "Bang Karni? dan "Mbak Nana? sapaan akrab bagi keduanya adalah lulusan Ilmu Hukum.

4 Tersangka Pembubaran dan Pengeroyokan Ibadah di Tangsel Termasuk Ketua RT, Ini Perannya

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Remotivi bersama Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia menunjukkan 65% mahasiswa tidak memprioritaskan karier jurnalistik sebagai pilihan pekerjaan selepas lulus dari bangku perkuliahan.

Faktor yang mempengaruhi di antaranya, profesi jurnalis memiliki dampak sosial yang juga acap kali mengundang risiko untuk sebuah liputan investigasi mendalam (in depth news), kurangnya perlindungan bagi seorang jurnalis yang kini sering mengalami tindakan persekusi hingga peretasan, profesi ini dianggap memiliki pristise dan idealisme.

Era disrupsi dalam dunia teknologi dan informasi sangat mempengaruhi kinerja bagi seorang jurnalis, perubahan secara fundamental dan terjadinya inovasi yang sangat besar juga mengubah paradigma baru bagi mahasiswa di era industri 4.0 seperti saat ini. Internet menjadi jalan pintas bagi setiap orang untuk mempelajari sesuatu, hal yang sulit didapat bagi mahasiswa era 90-an ketika ingin belajar sesuatu harus mencari dan membeli buku sebagai sumber pengetahuan.

Tayangan sosial media mulai dari Facebook, Twitter, Instagram, YouTube hingga Tiktok dan platform digital lainnya adalah industri di era "kekinian? yang dapat menghasilkan pundi-pundi rupiah bahkan dapat dijadikan sebagai alternative pekerjaan, terlebih di masa pandemic Covid-19 yang mengharuskan untuk mengurangi mobilitas di luar rumah dan mengurangi tatap muka dengan orang lain.

Semua orang bisa menjadi penyiar, semua orang bisa menjadi penulis, semua orang bisa menjadi artis dan semua orang bisa menjadi jurnalis atau wartawan tanpa harus memiliki background jurnalistik.

Berbekal layanan internet untuk mengakses berbagai platform digital di atas, seseorang dapat dengan mudah mempelajari jurnalistik atau jurnalisme sebagai bidang kajian keilmuan.

Pengetahuan yang didapat dari kuliah "kilat? tersebut menjadi solusi seseorang untuk dapat menulis di blog maupun media sosial atau bahkan mendirikan website mandiri untuk mewadahi ide atau gagasan yang diperoleh dari "Kiat-kiat Menjadi Jurnalis?, "Tata Cara Menulis? dan "Cara Cepat Menembus Redaksi Media Online?.

Jika menulis masih dirasa sulit dan memerlukan kompetensi, maka membuat Podcast atau Siniar adalah solusinya, yang dapat menyiarkan dan mengulas topik tertentu, seperti berita, musik dan sebagainya yang dibuat dengan format digital, baik audio maupun video yang dipublikasikan di kanal YouTube, Spotify, iTunes atau media serupa.

Kekinian, Channel Podcast menjamur di kanal YouTube semenjak suksesnya Deddy Corbuzier membangun Podcast ‘Close The Door’ yang kini jumlah Subscriber-nya mencapai 17,7 Juta.

Dalam Podcast ini teknik wawancara (interview) adalah salah satu mata kuliah atau bahan ajaran bagi mahasiswa jurnalistik, dan menjadi modal awal bagi jurnalis dalam melakukan liputan atau siaran langsung (live reporting).

Banyak kalangan biasa, publik figur, musisi hingga politisi menjadi penanya untuk narasumber yang dihadirkan. Namun tak sedikit dari mereka yang ketika bertanya (interview) terlihat seperti tidak memahami dan menguasai topik utama yang diulas atau yang sedang dibahas. Kaidah dan etika bertanya kepada narasumber jelas memerlukan kompetensi yang wajib dipelajari bagi si empu- nya Podcast.

Proses kerja jurnalistik diatur dalam Undang-undang Pers No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers, di dalamnya jelas mengatur seluruh rangkaian bagaimana bekerja menjadi seorang jurnalis atau wartawan profesional.

Pengetahuan yang didapat instan dari sumber digital memang mampu menghantarkan seseorang bekerja sebagai jurnalis dalam media massa baik koran, majalah atau berbasis online (Siber).

Namun, etika dan kewajiban sebagai insan pers untuk memihak kepentingan publik belum tentu dimiliki bagi jurnalis tersebut. Maka dari itu diperlukan pendidikan bagi seorang jurnalis, di tengah maraknya media online yang tidak terverifikasi oleh Dewan Pers dan menjamurnya Podcast yang tidak proporsional dan tidak mendidik, tak jarang menimbulkan berbagai spekulasi di tengah majemuknya bangsa Indonesia yang kaya akan budaya, tradisi dan keanekaragaman lainnya. Akibat adanya pemberitaan yang tidak sesuai (hoax), ujaran kebencian (hate speech) maupun tayangan yang menampilkan isu-isu SARA.

Pendidikan tidak menjamin seseorang menjadi seperti apa yang diinginkan, namun pendidikan menjamin seseorang mengetahui kewajiban dan larangan dalam menjalankan tugas sesuai kompetensi atau bidang keahlian yang dimiliki, salah satunya jurnalistik.

Mahasiswa yang memiliki idealisme tinggi, ingin mengembangkan karier sebagai jurnalis atau wartawan berdiri dalam persimpangan yang membingungkan. Satu sisi ia berharap ketika lulus kuliah bisa bekerja sebagai wartawan profesional, namun pada sisi lainnya seperti momok yang menakutkan. Akibat banyaknya jurnalis media massa yang mengalami tindakan tidak menyenangkan, mulai dari adanya persekusi, perundungan hinga peretasan akun sosial media.

Namun, hingga kini pemerintah Indonesia belum juga memberikan regulasi yang jelas mengenai perlindungan bagi jurnalis atau wartawan.

Oleh karena itu, pemangku kebijakan atau pemerintah untuk segera memberikan regulasi yang mengatur tentang perlindungan bagi jurnalis atau wartawan. Hal ini penting agar jurnalis memiliki perlindungan hukum yang jelas dalam menjalankan tugas jurnalistiknya.

(Ilham Pangumbara, Mahasiswa lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Bung Karno, Jakarta, Penulis aktif dalam organisasi Lembaga Pers Mahasaswa Islam (LAPMI HMI), dan Pendiri sekaligus Ketua Umum organisasi Perhimpunan Marhaen Nusantara)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.