Sastra: Media Propaganda Penjajah

Penjajahan Jepang
Sumber :
  • vstory

VIVA – Pada masa pendudukan Jepang, karya sastra menjadi media propaganda yang digunakan oleh Jepang untuk mendoktrinasi bangsa Indonesia serta memobilisasi potensi seniman, sastrawan, dan budayawan dalam menciptakan karya sastra berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah dirancang sebelumnya, serta untuk mencari pendukung dalam menghadapi Perang Asia Timur Raya.

Alasan Filsafat Harus Lahir di Yunani Bukan di Negeri Lain

Keberadaan karya sastra sebagai bagian dari propaganda Jepang diperkuat dengan adanya Pusat Kebudayaan (Keimin Bunka Shidoso) tak lain bertujuan mendukung program Pusat Propaganda (Sendenbu). Selain itu, sebagai bentuk propaganda, Jepang mendirikan media yang bernama Surat Kabar Indonesia Raya yang di dalamnya memuat berita perang, pesan-pesan pemerintah Jepang, dan iklan yang mengangkat tema kebudayaan.

Hal terpenting yang menjadi sorotan majalah ini adalah topik kebudayaan, khususnya sastra. Sanusi Pane, salah satu editor Asia Raya, menulis artikel berjudul "Koebudajaan Asia Raya" dan artikel berjudul "Ilmoe Spirit", yang mulai terbit di surat kabar harian. Kedua naskah tersebut diyakini sejalan dengan semangat sastra Jepang.

Sastrawan Indonesia yang Muncul pada Masa Pendudukan Jepang

Beberapa cerpen bersambung yang dimuat dalam Surat Kabar Indonesia Raya yaitu “Kartinah” dan “Noesa Penida” karya Andjar Asmara, serta cerpen artikel tentang hubungan sastra dengan propaganda Jepang  berjudul “Toedjoean dan Kewajiban Sandiwara dalam Zaman Baroe”. Karya cerpen lainnya banyak dimuat dalam harian Djawa Baroe dan Pandji Pustaka.

Selain cerpen, juga ada novel propaganda berjudul Palawidja karya Karim Halim. Dalam novel Palawija ini, Karim mencoba mengenalkan pembauran masyarakat pribumi dan Tionghoa pada zaman Pendudukan Jepang. Novel ini mengisahkan percintaan antara laki-laki pribumi; Soemardi dan perempuan Tionghoa; Soei Nio, pernikahan keduanya membawa pengaruh baik bagi hubungan masyarakat pribumi dan Tionghoa.

Fakta Mengerikan Atlet Bulutangkis Jepang di German Open

Novel lainnya, yaitu karya Nur Sutan Iskandar berjudul Anak Tanah Air. Selain membahas percintaan, novel Cinta Tanah Air menggambarkan masyarakat Indonesia pada masa awal kedatangan Jepang yang seolah membawa angin segar bagi muda-mudi Indonesia yang sekian lama dijajah Belanda.

Gambaran yang ditampilkan pada kedua novel tersebut tidak menampilkan keadaan yang sebenarnya. Kondisi sosial dan politik Indonesia saat itu ditampilkan sangat bertolak belakang dengan kondisi sebenarnya. Semua aspek sosial dan politik dari kedua novel tersebut sangat ideal bagi pemerintah Jepang. Masyarakat Indonesia dalam kedua novel tersebut digambarkan tidak mengalami penderitaan akibat kedatangan tentara Jepang dan segala sesuatu yang buruk pada waktu itu adalah akibat adanya penjajahan Belanda.

Selanjutnya, dalam rangka memperbanyak karya propaganda, Jepang bekerja sama dengan berbagai harian seperti Jawa Baru untuk mengadakan sayembara penulisan cerita baik cerpen maupun naskah sandiwara. Cerpen “Radio Masyarakat” karya Rosihan Anwar menjadi bagian dari pemenang, serta mendapat hadiah uang Rp 50,00. Cerpen tersebut dimuat H.B Jassin dalam bukunya Gema Tanah Air.

Berbagai karya sastra baik puisi, cerpen, atau naskah sandiwara yang bertujuan untuk propaganda, oleh H.B. Jassin dikenal dengan karya propaganda. Jepang sangat menghendaki kebijakan terhadap karya-karya untuk tujuan propaganda, namun banyak pengarang yang keberatan. Misalnya, Usmar Ismail yang awalnya sangat percaya dengan janji dan slogan-slogan Jepang, kemudian menjadi curiga. Sementara itu, Chairil Anwar, Amal Hamzah dan beberapa temannya memang sejak awal sudah menaruh curiga kepada Jepang, mengolok-olok seniman yang berkumpul di Kantor Pusat Kebudayaan.

Banyak sastrawan yang menulis karya sastra untuk tujuan propaganda dan beberapa juga memiliki sikap kejujuran dan keikhlasan dalam berkarya. Mereka lebih menekankan pentingnya seni untuk seni, bukan sastra untuk propaganda. Hal ini bisa terlihat pada artikel-artikel yang mereka tulis, seperti artikel “Seni Oentoek Seni” karya Soebrata Arya Mataram, “Kesoestraan” karya Amal Hamzah dan “Bahasa dan Sastera” karya B. Rangkoeti.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.