Politik Identitas Pencapresan Menjelang Pemilu 2024

Furqan Jurdi (dok.pribadi)
Sumber :
  • vstory

VIVA  – Akankah politik identitas akan terus menjadi musuh bersama ketika pemilu tiba? Wacana politik identitas nampak vulgar setelah Partai Nasdem mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai Calon Presiden. Surya Paloh dan partainya langsung diberi gelar Kadrun.

Kuatnya Iman Politik Pemilih dan Dampaknya Terhadap Suara Elektoral Pasca Debat

Surya dan Nasdem sudah menerima takdirnya sebagai partai pengusung Capres. Kepungan isu identitas dan gelar disematkan sebagai partai "Nasdrun" menjadi konsekuensi bagi keputusan dini Surya Paloh mengumumkan Anies sebagai Capres.

Situasi ini mengingatkan saya pada kisah Thomas Jefferson. Lelaki jangkung itu ketika maju sebagai calon presiden, dia dituduh kafir karena sikapnya yang moderat terhadap semua agama.

Kepemimpinan Profetik, Transisi Kepemimpinan Nasional 2024

Bapak pendiri Amerika itu, kata Denise Spellberg telah mempelajari Al-Quran untuk memahami pesan-pesan Agama. Sebagai Mahasiswa ilmu hukum di College of William and Mary, Jefferson tercatat pernah membeli Al-Quran yang diterjemahkan oleh George Sale pada tahun 1765, sebelas tahun sebelum dia menulis deklarasi Kemerdekaan Amerika.

Pilpres AS Tahun 1801 itu menjadi pertarungan sengit antara dua sahabat karib. Meski dekat, polarisasi antara pendukung John Adams dan Thomas Jefferson, sangat tajam. Sebagaimana ditulis oleh Dr. Margarito Kamis (2019), kata-kata Leland, yang dikutip dari Spielberg. 

Kebimbangan Politik Menuju Pilpres 2024

Leland menggambarkan saat Jefferson terpilih menjadi presiden, mimbar-mimbar dipenuhi peringatan-peringatan, dan semua media massa mengeluhkan ramalan-ramalan, bahwa Alkitab semuanya akan dibakar, rumah-rumah pertemuan akan dihancurkan; ikatan pernikahan terurai, dan anarki, kekafiran dan ketidaksenonohan akan merajalela di seluruh negeri.

Peringatan itu semuanya tak terbukti, tapi cukup memecah belah. Bahkan akibat pertarungan itu, Jhon Adams - setelah kalah, meninggalkan kota dan tidak hadir dalam pelantikan Jefferson.

Polarisasi semacam itu dirasakan pula dalam pemilu Indonesia. Pilpres 2019 menjadi catatan pemilu yang paling kelam dalam sejarah: polarisasi, umpatan, tuduhan, fitnah, hoax memandu jalannya kompetisi. Kematian penyelenggara pemilu yang jumlah mencapai 800 orang, cukup menggambarkan pilpres 2019  yang kelam.

Sepertinya nuansa polarisasi dengan menggunakan narasi politik identitas, menghiasi kembali pertarungan politik 2024. Terlihat dari serangan terhadap Surya Paloh, Nasdem dan Anies Baswedan.

Padahal politik identitas bukanlah suatu yang "haram" dalam kompetisi Demokrasi ala Indonesia. Hal itu terlihat secara jelas dalam Pidato Soekarno tanggal 1 Juni 1945.

Kata Soekarno: "...Jikalau memang kita rakyat Islam, marilah kita bekerja sehebat-hebatnya, agar-supaya sebagian yang terbesar dari pada kursi-kursi badan perwakilan Rakyat yang kita adakan, diduduki oleh utusan Islam... Kalau misalnya orang Kristen ingin bahwa tiap-tiap letter di dalam peraturan-peraturan negara Indonesia harus menurut Injil, bekerjalah mati-matian, agar suapaya sebagian besar dari pada utusan-utusan yang masuk badan perwakilan Indonesia ialah orang kristen, itu adil,  - fair play!"

Soekarno menyadari dalam masyarakat yang beragam, kekuatan-kekuatan politik pasti tumbuh dengan varian identitas yang berbeda. Ada yang menggunakan identitas agama, identitas kelompok, identitas kedaerahan, identitas kesukuan dan identitas kebangsaan untuk menyatakan sikap politiknya. Realitas itu, tidak bisa dihindari dalam masyarakat Indonesia.

Republik berdiri dengan perbedaan. Bahkan ketika persiapan kemerdekaan, ada dua kelompok besar yang selalu bersinggungan, baik dalam sidang BPUPK dan PPKI (1945) hingga Konstituante (1955-1959).

Golongan itu disebut golongan Islam dan golongan kebangsaan. Secara ide, dua golongan ini sering memperdebatkan posisi agama dan negara, tapi pada hakikatnya, mereka menyatu dalam kepentingan negara. Tidak ada tuduhan dan kalimat sarkas yang terlontar dalam perdebatan tajam mereka.

Begitu perdebatan mereka selesai, maka kita saksikan dalam sejarah, dua golongan besar itu masih bisa minum kopi bersama. Sekeras apapun M. Natsir (Ketua Masyumi), Aidit (Ketua PKI) Kasimo (Ketua Partai Katolik) berbeda pendapat, tapi pada akhirnya juga mereka tetap bisa berbonceng sepeda bersama dan minum kopi di kantin DPR.

Pendiri bangsa pernah berdebat mengenai bentuk negara, di satu sisi golongan Islam ingin membentuk negara Islam, di sisi lain kelompok nasionalis ingin negara Republik, tetapi mereka tetap mengedepankan prinsip musyawarah mufakat.

Pada saat mereka berdebat mengenai filosofiche groundslaag Indonesia merdeka, Golongan Kebangsaan ingin negara terpisah dari Agama, Golongan Islam ingin negara berdasarkan syariat Islam. Pada akhirnya mereka pun sepakat Piagam Jakarta Tanggal 22 Juli 1945 adalah dasar negara.

Namun, tatkala itu diubah pada tanggal 18 Agustus 1945,  dengan dihapusnya tujuh Kata dalam Piagam Jakarta, yaitu "Ketuhanan dengan kewajiban menjalan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" diganti dengan "Ketuhanan Yang Maha Esa",  golongan-golongan ini juga berkompromi dan bersepakat Piagam Jakarta diganti dengan Pancasila.

Secara historis Kompromi antara golongan Islam dan golongan kebangsaan ini terwujud dengan cara yang beradab, demokratis dan konstitusional. Sejauh mengenai perbedaan golongan dalam politik Indonesia, tidak pernah muncul bahaya-bahaya yang dapat merugikan republik.

Karena itu, secara konstitusional, penggunaan identitas bukanlah kriminalitas. Penegasan dalam pasal 28E UUD 1945 yang memberikan kebebasan bagi setiap orang untuk memilih agama, beribadat, memilih tempat tinggal, kebebasan menyatakan sikap dan pikiran, kebebasan berserikat dan berkumpul merupakan bagian dari cara setiap orang untuk mengembangkan hak asasinya melalui identitas yang melekat pada dirinya.

Akar persoalannya sama sekali bukan politik identitas. Para buzzer juncto politisi, kehilangan visi, misi dan program untuk dipertengkarkan. Labeling dan serangan menggunakan identitas dijadikan temeng untuk menyembunyikan segala kekeringan narasi dan kekurangan program.

Tuduhan politik identitas ini selalu dialamatkan kepada umat Islam. Sepanjang sejarah, umat Islam sebagai mayoritas telah menerima keberagaman sebagai sebuah Rahmat Allah bagi bangsa Indonesia. Karena itu sejak Republik berdiri umat Islam menjadi perekat kebangsaan, karena sadar bangsa ini didirikan atas dasar keberagaman.

Dengan keberagaman itulah sistem politik dan sistem pemerintahan republik dibangun. Negara Kesatuan yang terbentuk pun diperjuangkan dengan menyatukan Identitas-identitas kelompok kedaerahan yang pada tahun 1949-1950 pernah menjadi negara Serikat.

Adalah Mohammad Natsir, Ketua Fraksi Masyumi di Parlemen pada 3 April 1950 mengajukan gagasan Negara Kesatuan melalui Mosi Integral dan membubarkan negara Serikat bikinan Van Mook itu.

Republik Indonesia pernah mengalami krisis integritas. Dua Tahun setelah Pemilu 1955, terjadi gejolak daerah. Panglima Militer Daerah Indonesia Timur Vantja Samuel mengambil alih pemerintahan di wilayahnya dan memberlakulan keadaan darurat secara sepihak - cikal bakal lahir Permesta.

Di Sumatera, Kolonel Ahmad Husein mengambil Alih pemerintahan di daerahnya dan mendeklarasikan pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Persoalannya karena kekecewaan pada pemerintah pusat yang tidak memperhatikan daerah-daerah di luar Jawa.

Muncul dualisme otoritas yang cukup membahayakan pemerintahan. Krisis konstitusional terjadi sedemikian hebat. Negara Indonesia mengalami ancaman perpecahan dan pemerintah kehilangan wibawa.

Namun sentimen itu menyadarkan kita, betapa bahayanya kalau terjadi duel otoritas antara pusat dan daerah. Begitu juga sentimen SARA yang disulutkan dengan narasi-narasi yang tidak mendasar, lebih berbahaya bagi keakraban warga Negara.

Takdir Pilpres Langsung

Sebagai sebuah Negara yang menganut sistem pemerintahan presidensial yang dipadukan dengan sistem multipartai (multiparty system), Republik Indonesia cukup memiliki keunikan sendiri dalam praktiknya.

Pengalaman beberapa negara, memadukan presidensialisme dengan multipartai sistem cenderung membentuk pemerintahan yang terbelah (divided goverment).

Tapi dalam sistem presidensialisme ala Indonesia memberikan kedudukan yang kuat bagi presiden untuk menghadapi ancaman impeachent dari Parlemen - dengan proses yang berlapis.

Meskipun dalam beberapa kebijakan koalisi politik lah yang dapat mewujudkan program presiden. Tetapi pada kenyataannya dengan sistem multipartai, presiden bisa terselamatkan dari ancaman "Parlemen mayoritas".

Realitas kekuatan politik yang terfragmentasi dan faksi-faksi politik yang beragam, akan sulit mendapatkan suara mayoritas. Itu menandakan bahwa bangsa ini beragam dan tidak ada mayoritas kekuatan politik tertentu.

Keterbelahan masyarakat bukan dalam sistem politik dan sistem pemerintahan yang dianut. Tetapi sistem pemilihan umum yang didesain menggunakan syarat presidential threshold (PT) 20 persen untuk pasangan calon presiden dan wakil presiden. Para kandidat Presiden dan Wakil Presiden ditentukan oleh segelintir orang, kemudian disajikan kepada pemilih.

Sejauh Pilpres menggunakan ambang batas 20 persen ini dipertahankan maka polarisasi akan terus ada. Sebab, bukan pada kandidasi yang bermasalah, tapi pada sistem yang digunakan untuk mengatur kandidasi itu. Cacat sistem ini menjadikan pemilu tidak  adil (unfair election).

Berkali-kali Pasal 222 UU 7/2017 yang mengatur PT 20 persen itu diuji ke Mahkamah Konstitusi, tapi pada prinsipnya MK tidak mengatakan pasal tersebut konstitusional. MK hanya mendalilkan, bahwa pasal a quo adalah open legal policy.

Secara sistematis dan faktual  ketentuan UUD 1945, Pilpres diatur cukup ideal. Misalnya, ketentuan pasal 6A ayat (3) UUD 1945, yang menyatakan:

"Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden".

Tanpa penafsiran apapun angka electoral untuk mencapai jabatan presiden dan wakil presiden adalah harus mendapatkan suara lebih dari 50 persen dengan sebaran suara 20 persen tiap provinsi dapat dilantik menjadi presiden, berapapun calonnya.

Apabila tidak ada Capres dan Cawapres yang memperoleh suara  sebagaimana yang ditentukan dalam ayat (3), maka pasal 6A ayat (4) mengatur secara final.  Yaitu mengadakan pemilihan putaran kedua.

Dalam pemilihan putaran kedua ini lahir dua pasangan calon hasil dari seleksi langsung rakyat melalui pemilihan pendahuluan tadi. Dalam pemilihan putaran kedua atau pemilihan penentu inilah kita melihat siapa pemenangnya.  

Karena itu saya berpendapat PT 20 Persen itu barrier to entry yang tidak tepat bagi sistem pemilu Indonesia. Sistem pemilu menggunakan angka ambang batas presiden bisa membuat demokrasi merosot. Demokrasi yang merosot akan terjerembab dalam lubang permainan oligaki.

Pilpres yang Seharusnya

Di Amerika Serikat kita mengenal popular vote (sebagai pemilihan pendahuluan), kemudian konfensi Partai (untuk menentukan calon Presiden) dan electoral college atau electoral vote (untuk menentukan siapa yang jadi presiden dan wakil presiden terpilih) dalam pemilihan presiden.

Di Amerika, negara yang diklaim sebagai moyangnya demokrasi itu justru tidak menggunakan pemilihan langsung seperti Indonesia. Amerika menggunakan sistem perwakilan, di mana rakyat di negara-negara Bagian memilih wakil-wakil mereka melalui Electoral Collage. Electoral College inilah yang akan memilih presiden dan wakil presiden. Jumlahnya 530 orang.

Pemilihan Langsung telah ditakdirkan dengan keburukan yang tidak bisa disepelekan. Ketika pemilihan konsul Romawi, Cicero yang juga kandidat Konsul pernah mengkritik pemilihan langsung ini sebagai kesalahan fatal yang membuat warga negara bertengkar. Di padang Matius para pendukung bertengkar - dua kali pemungutan suara itu dihentikan.

Begitu juga menjelang 2024 ini, para pendukung pasangan calon Presiden sudah bertengkar lebih awal. Bahkan Para politisi dan pendukungnya sudah berpikir tentang musim pemilu, sehari setelah dilantik Presiden baru, urusan Pilpres lima tahun yang akan datang mulai diributkan. Tidak ada waktu membangun bangsa, hanya sibuk memikirkan kekuasaan.

Kegagalan sistem Pilpres langsung ini perlu direnungkan kembali. Dalam UUD 1945 sebelum amandemen Indonesia mengenal pemilihan melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Wakil-wakil Rakyat yang dipilih dalam pemilihan umum, dan utusan Golongan yang tergabung dalam MPR memilih Presiden dan Wakil Presiden.

Sistem inilah yang menjadi falsafah pemilihan Indonesia. Para pendiri bangsa ini sadar bahwa bangsa dengan beragam suku dan kelompok sangat rentan terhadap polarisasi. Maka sistem perwakilan menjadi jalan terbaik untuk memilih presiden dan wakil presiden.

Namun, semenjak Reformasi dan perubahan konstitusi, pergeseran terjadi demokrasi yang cukup mendasar. Bangsa ini dijebak pada Demokrasi liberal yang mendalam dan pragmatisme akut. Dengan pemilihan langsung, terbuka kran pertarungan bebas diantara elit bangsa ini.

Akibatnya muncul polarisasi, pragmatisme dan politik uang. Dengan biaya politik yang mahal, seorang calon presiden harus memiliki modal yang besar. Untuk mendapatkan itu, capres dijebak pada kubangan kepentingan pemilik modal.

Kalau pemilihan presiden menggunakan perwakilan, maka biaya politik yang mahal bisa diminimalisir. Negara pun akan berhemat puluhan triliun untuk biaya pemilu dan, mengurangi para elit untuk sibuk lebih awal dalam mengampanyekan dirinya.

Karena itu perlu ada perbaikan-perbaikan yang mendasar untuk pemilihan presiden supaya kita tidak terperangkap dalam kubangan polarisasi dan pragmatisme politik. Biarlah Rakyat memilih wakilnya, dan presiden dipilih oleh wakil-wakil Rakyat itu. Dengan demikian Rakyat tidak disibukkan dengan agenda tahunan, dan elit politik bisa serius membangun bangsa ini. (Furqan Jurdi, Penulis & Intelektual Muda Muhammadiyah)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.