Seni Baca Al-Qur'an dan Menyikapi Fenomena Sawer terhadap Qariah

Sumber foto: Republika.co.id
Sumber :
  • vstory

VIVA – Kitab suci Al-Qur’an sebagai bacaan utama umat Islam memiliki sifat-sifat kebudayaan tersendiri yang khas. Kehadiran Al-Qur’an di tengah-tengah umat manusia khususnya umat Islam begitu melekat dengan seni. Seni umumnya identik dengan keindahan, tidak hanya manusia yang menyukai keindahan, tetapi lebih dari itu, keindahan disenangi oleh Allah SWT.

Hari Buku Sedunia, Starbucks Indonesia Serahkan 8.769 Buku untuk Anak-anak

Salah satu seni yang lahir dari Al-Qur’an yang berkembang dan menjadi primadona di kalangan umat Islam adalah seni baca yang kita kenal di antaranya dengan istilah nagham. Membaca Al-Qur’an identik dengan seni suara atau seni baca yang indah dan merdu. Dalam hadits disebutkan: “Hiasilah Al-Qur’an dengan suaramu” (HR. Abu Dawud dan An-Nasa’i).

Penerapan nagham sebagai unsur seni dalam bacaan Al-Qur’an sudah tumbuh sejak periode awal Islam. Nagham sesungguhnya menempati posisi terdepan dalam jajaran seni suara dalam Islam, karena bukan saja sebagai seni tertua melainkan juga satu-satunya seni yang bermula dan terpancar dari Al-Qur’an itu sendiri sebagai wahyu dari Yang Maha Indah.

Gus Baha Ingatkan Semua Orang Agar Ingat Mati Tapi Tetap Semangat Hidup

Berkaitan dengan seni baca Al-Qur’an, baru-baru ini muncul video viral tentang seorang perempuan yang membaca Al-Qur’an menggunakan seni nagham atau seorang qari’ah yang kemudian diberi saweran uang ketika membaca Al-Qur’an di depan khayalak umum pada sebuah acara. Persoalan yang memancing perbincangan ramai adalah cara pemberian saweran yang nampak kurang pantas, terlebih karena pembacanya adalah seorang perempuan. Lalu bagaimana seharusnya kita menyikapi kejadian tersebut.

Dalam KBBI, sawer bisa diartikan sebagai permintaan uang kepada penonton, atau penonton memberi uang kepada pemain dalam sebuah pertunjukan. Tidak seperti biasanya, jika selama ini kita mengetahui bahwa menyawer di Indonesia biasanya diberikan kepada para penyanyi, namun kali ini pemberian sawer justru diberikan kepada seorang qari’/qari’ah. Keberadaan sawer menunjukkan kebahagiaan dan penghargaan si pemberi pada pertunjukan si penerima.

Pariwisata Hijau dan Berkelanjutan Bakal Jadi Fokus Kemenparekraf

Jika kita telusuri, fenomena sawer kepada qari’/qari’ah ketika sedang membaca Al-Qur’an bukanlah budaya asli Indonesia, melainkan berasal dari Pakistan. Diketahui, masyarakat di sana mengagumi suara-suara emas yang dimiliki oleh para qari’/qari’ah ketika membaca Al-Qur’an, yang kemudian kekaguman itu disalurkan melalui saweran uang. Selain sebagai bentuk apresiasi, saweran juga bagian dari amal baik dalam mensyukuri rezeki yang diberikan Allah SWT.

Tidak diketahui secara pasti kapan budaya ini mulai masuk ke Indonesia, namun dengan perkembangan zaman dan teknologi, praktik ini bisa kita lihat dan saksikan melalui berbagai media online seperti facebook, youtube dan lain-lain. Selain itu, budaya ini juga bisa saja dibawa oleh para qari’/qari’ah yang pernah tampil di Pakistan atau bahkan yang secara langsung pernah disawer, dan memang jika dilihat, terdapat beberapa qari’ dari Indonesia yang pernah merasakan hal itu.

Dalam pandangan Islam, membaca Al-Qur’an terlebih dibaca dengan suara indah dan merdu merupakan bagian dari sarana dakwah, agar kemudian muncul rasa cinta terhadap Al-Qur’an. Rasulullah sendiri sangat suka mencari sahabat yang mau membacakan Al-Qur’an untuknya. Lalu Nabi Saw memperhatikan bacaan itu secara seksama. Sahabat Ibnu Mas’ud berkata: Nabi berkata kepadaku: “Bacakan Al-Qur’an kepadaku!” “Aku membacakan Al-Qur’an kepada engkau sedangkan Al-Qur’an diturunkan kepadamu?” balasku. Nabi kemudian bersabda aku senang mendengarkan bacaan Al-Qur’an dari selain diriku.” (HR. Bukhari).

Melalui dakwah, kesalahan atau kekeliruan dalam memahami agama khususnya Al-Qur’an dapat diperbaikai, juga merupakan usaha kolektif dalam rangka fastabiqul khairat. Dakwah tidaklah sama dengan pertunjukan atau hiburan. Bila hiburan lebih kepada interaksi atau hubungan sosial antar manusia, lain halnya dengan dakwah yang merupakan interaksi manusia dengan Tuhannya. Allah SWT-lah yang akan memberikan penghargaan kepada hamba-Nya yang senantiasa menggeluti dirinya dalam usaha dakwah.

Selain sebagai dakwah, pada dasarnya membaca ataupun mendengarkan lantunan ayat suci Al-Qur’an merupakan ibadah, karena itu, kita mesti memperhatikan etika yang baik saat mendengarkan bacaan Al-Qur’an. As-Suyuthi dalam Al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an menyebutkan bahwa: Disunnahkan untuk mendengarkan Al-Qur’an dengan seksama, tanpa membuat gaduh dan bicara sendiri. Karena Allah berfirman: “Dan ketika Al-Qur’an dibacakan, maka dengarkanlah, agar supaya kalian mendapat rahmat”.

Mengacu dari keterangan di atas, maka menyawer qari’/qari’ah tidak elok dilakukan karena dapat mengganggu kekhusyukan dan menghilangkan sakralitas pembacaan ayat suci Al-Qur’an. Jika betul-betul ingin memberikan hadiah kepada pembaca, tunggu setelah selesai pembaca melantunkan ayat Al-Qur’an yang dibaca.

Selama ini, telah dimaklumi khususnya di kalangan qari’ dan masyarakat umum, belum ada perbincangan kritis mengenai budaya sawer ini, setelah kemudian fenomena yang terjadi baru-baru ini kepada seorang qari’ah yang bersangkutan. Itu artinya tidak terdapat permasalahan yang berarti terkait budaya ini, bahkan terkesan selama ini kita menikmatinya.

Namun ternyata setelah dikaji, memang terdapat bagian-bagian atau celah yang dapat kita kritisi, khususnya terkait etika yang semestinya kita tunaikan kepada Al-Qur’an, terlebih ini yang dialami oleh pembaca perempuan atau qari’ah. Lama-kelamaan dikhawatirkan yang pada awalnya pembacaan Al-Qur’an dengan seni dan keindahan sebagai sebuah dakwah akan bergeser hanya menjadi acara hiburan semata, bahkan dapat menimbulkan kemaksiatan.

Jika kita perhatikan, satu hal menarik yang dapat disorot dari kejadian ini adalah pada reaksi seorang qari’ah itu ketika disawer. Mengutip pengakuannya yang telah beredar di media sosial, qari’ah mengetahui bahwa praktik sawer tersebut tidak patut dilakukan, walau demikian yang bersangkutan tidak segera menhentikan bacaannya, tidak juga menunjukkan ketidaksetujuannya, sebab dia sedang membaca Al-Qur’an dan menyelesaikan bacaannya dengan baik dan benar serta tidak terbawa emosi. Ini menunjukkan adab tersendiri yang memang mesti dijaga.

Sikap demikian juga patut kita tiru, mengingat perbincangan di publik saat ini sangat liar bahkan sampai pada sikap menghakimi penyawer. Hal ini mesti kita hindari, karena setiap kita memiliki peluang melakukan sebuah kesalahan. Karena itu, fokus kita adalah pada pemahaman, bukan sepenuhnya pada pelaku.

Semua orang bisa saja memiliki pemahaman yang keliru mengenai agama. Maka daripada menghujat atau menghakimi si pelaku yang mungkin saja satu dari sekian orang yang memiliki pemahaman salah, bukankah lebih baik membicarakan pemahaman keliru yang telah terjadi itu, agar di kemudian hari kekeliruan itu bisa diperbaiki dan tidak lagi dilakukan.

Fenomena ini dapat menjadi pelajaran bagi kita, untuk melihat dan menelaah permasalahan dari berbagai sisi. Agar kemudian suatu kekeliruan atau kesalahan tidak mesti dihadapi dengan kesalahan pula, apalagi sampai kepada sikap membabi-buta yang dapat memicu perpecahan dan kebencian. Karena sesungguhnya esensi ajaran Al-Qur’an adalah dilaksanakan dengan cara yang bijak untuk kemudian menghasilkan kemaslahatan atau kebaikan bersama.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.