Pergi, Namun (Bukan) untuk Kembali

Kita pernah sedekat nadi. Namun kini sejauh mentari.
Sumber :
  • vstory

VIVA – Tut tut tut. Suara ponsel yang sedari tadi kamu mainkan. Entah untuk menuliskan sebuah pesan SMS, WA, BBM, atau mungkin sekadar membuka dan menutup menu di HP mu.

C3 Aircross Dijual Murah, Citroen Tak Berminat Pasang Target Penjualan

 Aku tidak sendirian, tapi justru sunyi yang aku rasakan. Manusia di depanku entah mengapa hanya sibuk menatap layar ponselnya tanpa berbicara sesuatu.

“Emmm, katanya ada yang mau dibicarakan?”

Momen Shin Tae-yong Hibur Korea Selatan U-23 Usai Kalah Penalti

“Oh, he, iya, gimana?”

“Iya, tujuan kita bertemu untuk berbicara kan?”

Rubicon Mario Dandy Nggak Laku Dilelang Diduga Gegara Mahal, Ini Kata Kejari Jaksel

“Oh iya, benar.” katamu terbata.

“Mau bicara apa?”

"Emmm, aku besok mau buka puasa bareng Mas Aan. Boleh?"

"Hahahaha, kamu lucu ya? Masih ingat katamu tempo hari?"

"Aku masih ingat. Aku pernah janji untuk membuang semua kenanganku yang lalu. Tapi....."

"Tapi apa? Masih sayang sama dia?", sergahku dengan segera.

"Iya. Aku belum siap jika harus melepas dia seutuhnya", katamu sambil terisak.

"Hebat ya kamu. Bisa bermain dengan dua hati"

Hening. Keadaan seketika berubah menjadi hening. Hanya isak tangis yang menjadi pemecah sunyi diantara kami. Satu jam berlalu tanpa ada obrolan.

“Begini saja, aku merasa kita, sepertinya harus emm emm….”

“Harus mengakhiri hubungan dengan segera? Begitu kan?” terpaksa aku menyelanya dengan segera. Daripada berlama-lama, untuk apa juga. Toh aku memang sudah menduga akan berakhir seperti apa.

“Tapi kamu perlu tahu, kalau aku masih teramat sayang. Tapi kamu juga tahu aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain pergi”

“Ada. Jika masih sayang, harusnya berjuang, bukan meninggalkan. Kalau memang ingin pergi, tidak perlu pakai alasan”.

“Tapi kamu tahu sendiri, sudah berapa kali kita berjuang? Hasilnya? Selalu di situ-situ saja. Kehadiranmu bahkan belum bisa menghapus dia seutuhnya”

Aku terdiam.

“Iya aku tahu. Harusnya aku tidak mengatakan itu.” Sesalku sebab telah mengeluarkan kalimat yang seharusnya tidak aku lontarkan.

“Kita masih bisa berteman kan?”

“Tentu. Tapi aku tidak bisa menjamin akan sehangat dulu. Makanan dua hari yang dipanasi juga tidak akan sama rasanya dengan saat pertama kali matang bukan?”

Aku berdiri, meninggalkan dia yang sepertinya masih ingin bersuara. Tapi sayang, aku lebih tidak tahan menatapnya lama-lama. Aku tidak menyesalkan perjalanan kami.

Aku tidak menyesalkan mengapa yang kami mintakan pada Tuhan harus dihentikan di tengah jalan. Aku hanya ingin meminta satu hal. Supaya hati ini ikhlas, supaya hati ini rela, meski semua masih ingin aku genggam bersama-sama dengan dia.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.