Ketua MUI KH Amidhan Shaberah

Halal Itu Domain Ulama, Bahaya Kalau di Tangan Pemerintah

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) H.A. Amidhan
Sumber :
  • Antara/ Widodo S Jusuf
VIVAnews -
Melindungi Keamanan, Ini Imbauan Penting Petugas Jemaah Haji di Tanah Suci
Genderang perang itu ditabuh delapan tahun silam, saat pertama kali Rancangan Undang-undang Jaminan Produk Halal diajukan DPR. Pangkal soalnya, sertifikasi halal. RUU mengamanahkan pemerintah memegang kendali proses sertifikasi ini. Padahal sudah 25 tahun sertifikasi halal digodok Majelis Ulama Indonesia.

425 Pelari Bertarung Jadi Tercepat di Bukit Lawang Orangutan Trail 2024

Sempat tidak terdengar kabarnya, pembahasan RUU ini kembali 'dihidupkan' DPR, dua pekan lalu. Pemerintah masih bersikukuh mengambil alih pekerjaan MUI. Dan, majelis yang merupakan kumpulan ulama ini juga tegas menolak.
Tragedi Trans Putera Fajar di Subang, Aparat Mesti Berani Tindak Tegas PO Bus yang Bandel


Majelis berdalih, masalah halal dan haram merupakan domain ulama, bukan pemerintah. Ditemui VIVAnews di ruang kerjanya, Kantor Pusat MUI, kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Jumat 28 Februari 2014, Ketua MUI Bidang Ekonomi dan Produk Halal KH Amidhan Shaberah membeberkan bagaimana sebuah produk mendapat stempel halal.

Siang itu, tokoh masyarakat Kalimantan tersebut ditemani Wakil Bendahara Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika MUI H Zuhdi.

Amidhan menanggapi komentar miring yang muncul di masyarakat, antara lain soal monopoli penerbitan sertifikat halal. Kata dia, kewenangan MUI yang dilakoni selama 25 tahun itu merupakan amanah, bahwa masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim harus dilindungi dan mendapat jaminan, apa yang dikonsumsinya halal.

Karena itu dia yakin sekali kewenangan MUI ini tidak akan berpindah tangan ke pemerintah. Mengapa Amidhan begitu yakin? Ikuti petikan wawancaranya berikut ini:

Soal RUU Jaminan Produk Halal, Menteri Agama Suryadharma Ali berpandangan sertifikasi halal baiknya dikeluarkan pemerintah bukan MUI. Bagaimana pandangan MUI?


Kita kurang sependapat. Secara teknis sebenarnya bisa disinergikan. Kita hanya di jalur fungsi MUI dalam peran sertifikasi halal. Dimana halal tidaknya sebuah produk dihasilkan dengan apa yang kita sebut fatwa tertulis. Fatwa ini dikeluarkan melalui sebuah mekanisme rapat komisi fatwa yang beranggotakan 45 orang. Dari sini jelas fatwa adalah domain ulama. Kami juga sudah ketemu dengan Pak SBY (Presiden Susilo Bambang Yudhoyono) membicarakan kewenangan ini. Pak SBY setuju sertifikasi halal domain ulama dan bukan pemerintah.


Kenapa harus MUI?


MUI adalah organisasi besar umat Islam. Di dalam MUI tergabung semua organisasi Islam seperti NU, Muhammadiyah dan banyak lagi. Maka keputusan halal MUI bisa diterima semua. Kalau tidak dikeluarkan MUI nanti justru jadi aneh. Ada sertifikasi halal NU, Muhamadiyah, dan banyak lagi.


Selain itu bila sertifikasi halal dipegang oleh pemerintah, ini bisa menjadi bahaya. Sertifikasi ini bisa dipolitisasi untuk kepentingan tertentu. Di mana prodak tidak halal justru dijadikan halal. Atau pemerintah lupa melihat ada unsur ketidakhalalan dalam bahan baku yang menjadi bagian dari produk itu. MUI dalam konteks sertifikasi halal bisa lebih independen dibanding pemerintah, karena bebas kepentingan.


Jadi bagaimana harusnya peran pemerintah?


Kita sinergi dengan pemerintah. Pemerintah punya BP POM yang menentukan layak tidaknya sebuah produk dijual di negara kita. MUI hanya melanjutkan apakah produk yang layak jual ini sudah halal atau tidak. LPPOM MUI hanya mendalami apa yang sudah dilakukan oleh BPOM milik pemerintah. Dari sini sudah terlihat sinerginya.


Peran pemerintah lebih besar karena menyangkut keamanan produk hingga penindakan hukum bila ada produk yang melanggar atau tidak sesuai. Peran ini yang tidak bisa dan tidak akan diambil MUI. Jadi domain kita jelas. Pemerintah tidak bisa mengambil domain ulama. Sertifikasi halal domain ulama melalui Komisi Fatwa yang beranggotakan ulama dari berbagai organisasi Islam.


Bagaimana MUI bisa memegang "hak monopoli" sertifikasi halal?


Kita tidak memonopoli ini. Ini amanat yang diserahkan kepada MUI sejak 25 tahun lalu. Dimana masyarakat kita yang mayoritas muslim harus dilindungi dan dijamin, apa yang dikonsumsinya halal.


Selama 25 tahun itu kita terus belajar. Kita mempunyai sistem yang jelas. Laboratorium dan tenaga ahli berpengalaman, dengan latar belakang yang jelas. Selain itu para ahli ini sudah sering ke luar negeri untuk belajar hingga diminta bantuan untuk menentukan standar halal di luar negeri.


Dan sejak 25 tahun lalu domain fatwa halal diserahkan pada ulama. Dimana MUI adalah organisasi Islam yang berisi banyak ulama dengan beragam latar belakang.


Berapa putaran uang dari penerbitan sertifikasi halal? Untuk apa saja? Apa dapat bantuan juga dari pemerintah?


Mengenai berapa besar saya tidak hafal. Semua ada tarif sesuai kesepakatan. Saat dalam akad permohonan besarnya tidak hafal. Uang itu digunakan untuk membiayai operasional LPPOM MUI, dari karyawan, operasional laboratorium hingga tim ahli yang menjadi auditor.


Kita lembaga indipenden yang tidak dibiayai negara dari APBN. Kita membiayai diri kita sendiri.


Ada kewajiban setor ke pemerintah?


Tidak ada. MUI lembaga independen yang tidak dibiayai negara. Jadi tidak ada setoran untuk negara. Kewajiban kita adalah membayar pajak kepada negara. Ini kita lakukan. Setoran lain selain pajak tidak ada.


Lalu bagaimana pertanggungjawaban uang yang disetor produsen makanan?


Untuk pengelolaan anggaran kita rutin diaudit oleh akuntan independen. Dan hasilnya selalu dilaporkan setiap Munas MUI. Semua uang masuk tercatat dan harus dipertanggungjawabkan saat Munas.


(Wakil Bendahara LPPOM H Zuhdi pada kesempatan itu ikut menjelaskan soal anggaran dan biaya sertifikasi halal MUI)


Berapa biaya yang ditetapkan untuk proses sertifikasi halal?


Biayanya sesuai akad yang disepakati saat proses administrasi awal selesai. Anggarannya dari Rp0-Rp6 juta tergantung produk. Jumlah itu tidak termasuk untuk sertifikasi di luar kota. Untuk yang di luar kota, tim audit akan dibiayai orang atau perusahaan yang mengajukan sertifikasi. Besarnya relatif. tergantung yang memberi fasilitas.


Kita tidak memasukkan itu dalam akad karena kita tidak meminta dalam bentuk uang. Kita hanya minta tiket dan penginapan untuk tim yang akan melakukan audit ke tempat produksi pemohon sertifikasi halal.


Yang Rp0 bagaimana?


Itu biasanya rekomendasi lewat program pemerintah. Seperti Kementerian Perekonomian dan Kementerian Koperasi. Ini biasanya untuk UKM binaan pemerintah pusat.


Berapa lama prosesnya?


Untuk waktu administrasi hingga proses sertifikasi selesai antara 30-70 hari tergantung seberapa cepat orang yang mengajukan sertifikasi melengkapi persyaratan administrasi.


Persyaratannya apa saja?


Ada di web yang lengkap. Di antaranya pengantar dari BPOM. Data dari BPOM yang akan menjadikan acuan tim audit dan laboratorium LPPOM MUI.


Siapa tim auditnya?


Orang profesional yang kita minta untuk melakukan pengecekan lapangan. Mereka kebanyakan ahli gizi dan pangan. Mereka kebanyakan berprofesi sebagai dosen di IPB.


Dalam satu bulan berapa banyak sertifikat yang dikeluarkan?


Rata rata 200 fatwa tertulis yang dikeluarkan setiap bulannya. Dengan kategori pengajuan baru, perpanjangan dan pengembangan produk.


Tahapannya bagaimana?


Ada dua tahap LPPOM MUI dan Komisi Fatwa MUI. Tugas awal LPPOM MUI,
pertama,
registrasi. Semua sekarang on line.
Kedua,
melengkapi persyaratan masih on line. Setelah itu konsultasi awal. Kemudian akad biaya pembuatan sertifikasi halal. Selanjutnya pemeriksaan lapangan. Pengambilan sampel produk. Pengecekan produk di laboratorium. Kroscek bahan baku termasuk nota pembelian. Periksa administrasi dan amdal untuk perusahaan besar.


Selanjutnya hasil cek tim audit di lapangan dipersentasikan pada rapat LPPOM di Bogor untuk dikaji ulang. Setelah selesai hasilnya dipresentasikan di depan majelis fatwa. Dalam proses ini semua ditentukan, apakah majelis ini bersedia mengeluarkan fatwa tertulis atau tidak.


Setelah putusan keluar hasilnya dikembalikan ke LPPOM MUI. Tugas LPPOM MUI adalah meregister fatwa halal yang keluar dan memberitahukan pada yang mengajukan melalui on line. Bagi yang tidak lolos, LPPOM MUI juga wajib memberitahukannya.


Hasil registrasi ini kemudian dibawa pengaju ke BPOM pemerintah untuk melengkapi persyaratan sebuah produk benar-benar layak didistribusikan pada masyarakat. (adi)
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya