Soal APBN, MK Pangkas Kewenangan DPR

Rapat paripurna DPR.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf

VIVAnews - Mahkamah Konstitusi memangkas kewenangan Badan Anggaran DPR dalam pembahasan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Kewenangan yang dipangkas antara lain, memberikan praktik pemblokiran atau tanda bintang pada anggaran kementerian atau lembaga, sehingga pembahasan APBN itu tidak sampai pada satuan tiga DPR.

Sebab, pasal 71 huruf D tentang Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat (MD3) dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.

Menurut Mahkamah, pemblokiran itu bisa menimbulkan ketidakpastian hukum. Pemblokiran anggaran ini biasanya dilakukan setelah DPR menggelar rapat paripurna sehingga mengubah Rancangan APBN menjadi Undang-Undang APBN.

"Bahwa sesuai dengan pembagian kewenangan DPR dan pemerintah, menurut Mahkamah, kewenangan DPR dalam melaksanakan fungsi anggaran hanya sebatas persetujuan dan pengawasan anggaran," kata Hakim MK Fadil Sumadi dalam membacakan keputusannya.

Agar jelas kewenangan DPR dalam pembahasan APBN, maka DPR harus tegas menyetujui atau tidak menyetujui mata anggaran tertentu tanpa persyaratan seperti penundaan pencairan. "Sehingga tidak dapat melakukan penyalahgunaan kewenangan," ujar dia.

DPR dalam menjalankan tugas dan kewenangannya dalam melakukan pembicaraan APBN dengan pemerintah akan menyalahi UUD 1945 jika pembahasan itu dilakukan setelah RAPBN berubah menjadi UU APBN.

Akar korupsi

Sementara itu, kuasa hukum penggugat Erwin N Oemar mengaku puas dalam putusan MK itu. Menurut dia, putusan MK itu memutus akar korupsi di badan anggaran DPR.

"Hari ini MK memotong akar dari korupsi politik itu, karena selama ini mereka paham di mana anggaran, mereka menawan lembaga dengan membintangi," ujar dia.

Sebelumnya, sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat, seperti Yayasan Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Indonesia Budget Center (IBC), dan Indonesian Corruption Watch (ICW) menggugat Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat (MD3) serta Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara terhadap UUD 1945.

Sejumlah LSM tersebut, mempersoalkan empat hal dalam UU MD3 dan UU Keuangan Negara. Pertama, keberadaan dan kewenangan Badan Anggaran DPR yang bersifat tetap. Kedua, kewenangan DPR untuk membahas Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) secara terperinci, ketiga, perbintangan atau pemokiran anggaran dan keempat, proses dan ruang lingkup pembahasan perubahan APBN.

Mereka menilai, keberadaan Banggar sesuai yang termaktub dalam Pasal 71 huruf g, Pasal 157 ayat 1, dan Pasal 156 huruf a UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang MD3 serta Pasal 15 ayat 5 UU Keuangan Negara dinilai dapat menimbulkan peluang korupsi yang sangat besar di parlemen.

Dalam persidangan beberapa waktu lalu, Ruhut Sitompul yang merupakan perwakilan dari DPR mengatakan, keberadaan banggar tidak menyalahi UUD1945 sebab, keterlibatan DPR dalam penetapan APBN merupakan wujud dari pasal 20A ayat 1 yang berbunyi: "Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan”. Serta pasal 23 ayat 1 dan 2 UUD 1945.

Selain itu, keterlibatan DPR dalam pembahasan anggaran negara juga dalam rangka mewujudkan efektifitas pengelolaan anggaran negara. Oleh karena itu, DPR membentuk alat kelengkapan dewan yang mendukung fungsi anggaran dalam penyusunan APBN. (umi)