Kelaparan bagi Warga Afghanistan Sama Menakutkan dengan Corona

BBC Indonesia
Sumber :
  • bbc
BBC
Para pejabat sudah mulai menerapkan jaga jarak.

Dr Yousef adalah yang pertama terkena Covid-19 di keluarganya dan yang pertama meninggal.

"Ia pulang dan mengatakan, `saya sakit dan saya rasa, saya terkena virus," kata Behtarin Paktiawal, adik Yoesef, atas apa yang terjadi di keluarganya. Keluarga ini kehilangan tiga orang karena virus corona, yang menyebar di Afghanistan dengan kecepatan yang masih belum jelas seperti apa.

Afghanistan adalah negara yang masih dilanda perang dan menghadapi banyak masalah lain di tengah terjadinya pandemi dengan sistem kesehatan yang sudah buruk.

Setiap minggu, kekerasan meningkat, sementara virus menyebar.

Abang Paktiawan, Dr Yousef Khan Ariubi, dites positif Covid-19, namun ia tidak mendapatkan hasil tesnya. Ia menunggu tes dari rumah sakit yang dijalankan pemerintah Afghanistan-Jepang di Kabul, yang merupakan garda depan Afghanistan dalam memerangi virus corona.

"Saya bilang kepada mereka, `mengapa tidak memanggil kami?" Behtarin Paktiawal mengenang sambil memangku sebuah album foto kecil berisi foto saudaranya di dalam lembaran plastik. "Mereka bilang kepada saya bahwa mereka membuat kesalahan".

Lalu rumah sakit mengetes semua anggota keluarga.

Satu setengah bulan berlalu, dan hasil tesnya masih belum ada. Sementara menunggu, saudara Behtarin, Fazel dan Gul Khumar juga meninggal dunia.

"Benar yang dibilang bahwa banyak yang meninggal karena kurangnya alat tes," kata wakil presiden Afghanistan, Amrullah Saleh.

"Tanggapan saya adalah, alat tes langka. Bahkan seandainya kami mengeluarkan miliaran dolar untuk membelinya, tak ada di pasaran".

Perlombaan global untuk alat tes membuat negara miskin seperti Afghanistan tergeser ke belakang dalam antrian.

"Ini membuat kami terkejut. Sebuah negara yang berada di tengah perang dan pertempuran harus menangani pengungsian," kata Saleh. "Infrastruktur kesehatan kami tidak dirancang untuk bertahan terhadap kejadian luar biasa seperti pandemi virus corona ini".

Kurang alat tes

BBC
Behtarin Paktiawal membawa album foto abangnya yang meninggal karena virus corona.

"Malam-malam tanpa tidur"

Warga Afghanistan meninggal setiap minggu akibat perang melawan Taliban dan kelompok ekstremis seperti ISIS, dan banyak lagi yang tewas akibat kelaparan jika ada karantina ketat - seperti yang diterapkan di banyak negara di dunia untuk mencegah penyebaran virus.

Pemimpin Afghanistan juga teralih perhatiannya. Sumber daya mereka telah habis akibat pertarungan kekuasaan antara Presiden Ashraf Ghani dan penantangnya Dr Abdullah Abdullah, yang baru saja usai.

"Pertama, masalah ini tidak diatasi dengan serius dan mereka kelewat ambisius dengan rencana dan target," kata seorang pejabat organisasi pemberi bantuan di Kabul. "Namun kini mereka telah berada di jalur yang benar."

Ketika Paktiawal berdiri di luar rumah sakit Afghan-Jepang memakai masker dan berteriak melalui Facebook untuk memohon bantuan, barulah ia mendapat perhatian dari pejabat kesehatan senior.

"Saya rasa pelayanannya kini lebih baik," katanya. Ia sambil menyatakan bahwa orang miskin dan kaya harus diperlakukan setara.

Namun situasinya masih sangat rentan.

Beberapa minggu lalu, seluruh tes di semua laboratorium dihentikan karena bahan cairan laboratorium reagen habis karena pasokan global menipis. Reagen adalah substansi yang dipakai dalam tes Covid-19.

"Saya mengalami malam-malam tanpa tidur," kata Dr Rik Peeperkorn, yang memimpin World Health Organization (WHO) di Afghanistan. "Kami berhasil mendapat sejumlah kecil dan meneruskan tes dalam dua hari."

Dua bulan lalu, Afghanistan tak punya laboratorium yang mengerjakan tes Covid-19. Kini ada sembilan pusat tes didirikan dengan bantuan WHO, dengan rencana untuk mengembangkan lebih banyak lagi.

"Kami perlu mengetes lebih banyak untuk memahami bagaimana virus ini menyebar," kata Dr Peeperkorn, yang sudah menghabiskan tujuh tahun bekerja di sektor kesehatan di Afghanistan. "Kami kekurangan pasokan sumber daya dan solidaritas global."

BBC
Sejumlah masjid menerapkan jaga jarak.

Puncak virus corona di Afghanistan bulan depan

Jumlah infeksi yang kecil di Afghanistan dianggap positif sekaligus membingungkan.

Tanggal 19 Maret, ada sekitar 7.600 kasus positif dan 200 kematian. Ini berbeda sekali dengan Iran yang punya 122.000 kasus dan 7.000 kematian - dan diduga angka sesungguhnya jauh lebih tinggi.

Tanda tanya masih membayangi terkait masuknya lebih dari 200.000 orang Afghanistan menyeberang perbatasan ketika virus mulai menyerang.

Pejabat PBB mengatakan mereka yakin penyakit ini akan mencapai puncaknya di Afghanistan kira-kira dalam sebulan ke depan. Namun ada juga kekhawatiran penyakit ini menyebar tanpa terdeteksi.

Sampel yang diambil secara acak dari 500 orang penduduk Kabul mengkhawatirkan karena hampir 30% hasil tes positif.

`Jaga jarak sulit dilakukan karena bukan budaya kami`

Seperti di banyak negara lain, media di Afghanistan dipenuhi pesan "jaga jarak" dan "cuci tangan".

Di provinsi Nangarhar, Gubernur Shah Mahmood Miakhel, mencontohkan dengan cara menyumbangkan gajinya untuk membantu mengatasi pandemi.

"Saya berhenti berjabat tangan tiga bulan lalu," katanya. Ketika teman lamanya dan para tamu terhormat muncul di pemakaman seorang pejabat kepolisian, ia bergeming di bawah tekanan sosial yang sangat besar.

"Itu sangat sulit diterima masyarakat," katanya. "Saya gembira dengan keputusan saya. Namun jaga jarak itu sangat sulit sekali dalam budaya kami."

Menjelang akhir Ramadan dan datangnya Idul Fitri, karantina di beberapa kota besar dilonggarkan. Namun pejabat Afghan meningkatkan peringatan ketika jumlah kasus meningkat.

"Virus corona tak akan membunuh kami, tapi kami akan mati kelaparan"

Beberapa minggu lalu, pasar di banyak tempat di Afghanistan kehilangan pembeli karena toko-toko tutup.

Namun masih ada anak-anak bekerja di jalanan, berjualan masker untuk mencari uang agar keluarga mereka tetap bisa makan.

Zabiullah, satu dari jutaan pekerja harian, kembali ke pasar di Kabul dengan kereta dorongnya. Itu adalah modalnya satu-satunya untuk meneruskan harapan dan menghindari kelaparan.

Ia mencoba tinggal di rumah, tapi ia mendengar adanya program pemerintah membagi-bagikan roti untuk orang-orang miskin seperti dirinya.

"Tak ada yang membantu, bahkan dengan sepotong roti," keluhnya. "Saya takut kelaparan. Virus corona tak akan membunuh kami, tapi sudah pasti kami akan mati karena kelaparan."

"Sebanyak 12,4 juta orang terancam kelaparan dalam beberapa bulan ke depan," kata Toby Lanzer, kordinator upaya kemanusiaan PBB di Afghanistan. "Kita perlu meningkatkan upaya mempertahankan kehidupan di Afghanistan."

Karantina di negara maju, yang didukung oleh banyaknya program jaminan pemerintah, ditujukan untuk melindungi sistem layanan kesehatan dari tekanan.

Dokter-dokter di Afghanistan merasa perlu bercerita.

"Kami kehilangan tiga orang dokter minggu ini akibat Covid," kata seorang dokter di Kabul lewat telepon. Ini merupakan hari pertamanya kerja sesudah pulih dari Covid-19.

"Mereka kontak dengan pasien Covid dan tidak pakai baju pelindung".

Di Provinsi Faryab, seorang dokter lain menjelaskan bahwa "banyak dokter senior menutup klinik karena mereka menghadapi risiko tanpa perlindungan yang memadai".

Di Herat, Provinsi yang berbatasan dengan Iran, dokter bercerita tentang kurangnya peralatan penting seperti ventilator dan pakaian pelindung di ICU.

Mereka juga bepergian sehari dua kali di dalam satu minibus tanpa jaga jarak yang cukup.

Sementara itu di kawasan yang dekat dengan kawasan Taliban, dokter yang bekerja di rumah sakit darurat di Lashkar Gah melakukan disinfektasi dan menjaga jarak. Namun di ruang operasi, mereka merawat korban perang bukan korban virus.

Di desa tetangga, Taliban mencari bantuan lebih besar dari lembaga bantuan untuk melawan Covid-19, tetapi mengabaikan seruan untuk mengadakan gencatan senjata demi kemanusiaan.

"Taliban adalah virus yang lebih besar ketimbang virus corona," kata wakil presiden Saleh.

Kekerasan dan virus mengancam orang-orang yang berani berharap bahwa ini akan menjadi tahun perdamaian, daripada mereka harus menghadapi perang di beberapa fron sekaligus.

BBC

GEJALA dan PENANGANAN: Covid-19: Demam dan batuk kering terus menerus

PETA dan INFOGRAFIS: Gambaran pasien yang terinfeksi, meninggal dan sembuh di Indonesia dan dunia

VAKSIN: Seberapa cepat vaksin Covid-19 tersedia?

Laporan khusus BBC terkait Covid-19