Menguak Fakta Psikologi Ibu Penyimpan Jasad Bayi di Kulkas
- Muhammad Tahir Hendy - VIVA.co.id Tarakan
VIVA.co.id – Kepolisian Resor Tarakan, Kalimantan Utara, masih mendalami kasus seorang ibu yang menyimpan jasad bayi yang dilahirkannya selama tiga bulan di dalam lemari es di rumahnya, Jalan Pulau Bunyu RT 11, Kelurahan Karang Harapan, Kota Tarakan, Kalimantan Utara.
Menurut Kapala Humas Polres Tarakan, Ipda Deny Mardianto, sejak ditetapkan sebagai tersangka, ibu berinisial SA (24 tahun) itu sudah diamankan petugas Satreskrim untuk menjalani serangkaian pemeriksaan.
Deny mengatakan, kepolisian sudah cukup banyak mendapatkan keterangan dari SA, terutama tentang kronologi dan motif SA sengaja menyimpan jasad bayi yang baru dilahirkannya itu di dalam kulkas.
Tapi, hal itu belum cukup, apalagi berdasarkan keterangan SA, menurut Deny, dia mengaku terpaksa merebut hak hidup darah dagingnya tersebut, hanya karena permasalahan takut kelak anak keduanya itu kesulitan mendapatkan akta kelahiran seperti yang dialami anaknya.
“Tersangka ini istri keempat dan berstatus istri sirih. Dia takut kesulitan mendapatkan akta kelahiran," kata Deny, Minggu, 6 Agustus 2017.
Motif ini dinilai sangat aneh. Maka, kepolisian mendatangkan psikolog Fanny Sumajouw untuk memeriksa kejiwaan SA.
Fanny menuturkan, dalam melakukan pemeriksaan psikologi atas SA, ada beberapa metode yang dilakukan, yakni observasi, interview dan rangkaian psikotes.
Kekanak-kanakan
Dari keseluruhan pemeriksaan, menurut Fanny, ditemukan adanya unsur karakteristik kekanak-kanakan pada diri SA.
"Jadi memang kondisinya benar-benar pribadi yang kurang wawasan. Sangat terbatas dengan kondisi pengetahuan umum, kemudian terkungkung dalam satu masalah, ada beberapa sumber stres yang mengikuti, sehingga membuat dia menjadi tertekan, membuat dia tidak nyaman dan membuat dia melakukan perilaku yang di luar batas," kata Fanny.
Fanny mengatakan, sebenarnya bukan hanya di luar batas. Tapi SA juga tidak punya ide sama sekali, untuk menyelesaikan masalah status pernikahannya.
"Saat ini anak harus diapakan, karena di satu sisi, SA ini sayang sama anaknya. Makanya membiarkan kehamilan itu. Tapi ketika mendekati proses melahirkan, memang dia betul-betul tidak punya ide harus memberitahu siapa," katanya.
Karena kondisi itulah, menurut Fanny, akhirnya SA mengambil tindakan yang lebih ke arah irasional alias tak masuk akal.
"Stressor pertama adalah status, status pernikahan. Kemudian kemiskinan, mau menerima pernikahan dengan cara sirih. Begitu masuk dalam tahap usia sekolah anak pertamanya tidak diterima di sekolah karena tidak memiliki akta yang komplet, karena tidak memiliki nama ayah," ujarnya.
Fanny menuturkan, sebenarnya SA sudah berkomunikasi dengan suaminya dan meminta penjelasan status pernikahan mereka. Itu agar anak-anak mereka kelak bisa masuk sekolah tanpa hambatan akta kelahiran lagi.
"Nah, ketika suami ditanyakan, mungkin ingin melakukan sesuatu tapi nanti. Menurut SA sendiri, itu janji. Tidak dilakukan saat itu juga, makanya dia mulai terpikir, 'Bagaimana sih anak saya nantinya? Apakah bisa sekolah atau tidak? Bagaimana saya punya masa depan,’" ungkap Fanny. (ren)
Laporan Muhammad Tahir Hendy dari Tarakan