Protes Cucu Bung Hatta, Tak Terima Figur Proklamator Dipolitisasi

Calon Wakil Presiden Republik Indonesia no urut 02, Sandiaga Uno mengangkat tangannya (dua kiri ke kanan) saat berkunjung ke Pasar Raya Inpres II, Padang, Sumatera Barat, Jumat (19/18/2018). - ANTARA/Muhammad Arif Pribadi
Sumber :
  • bbc

Video para "juru bicara muda" dari kubu Prabowo-Sandi membandingkan sosok capres-cawapres itu dengan Soekarno, Jenderal Sudirman dan Hatta. Namun cucu Bung Hatta menolaknya mentah-mentah dan tanggapan pun bermunculan dari para politisi, baik dari kubu Prabowo-Sandi maupun dari pihak lawan mereka.

Video itu muncul di akun @FaldoMaldini, salah seorang juru bicara yang sudah disebar lebih dari 3.000 kali dan disukai lebih dari 7.000 kali.

Dalam rekaman itu, juru bicara tim Prabowo-Sandi, Dahnil Anzar Simanjuntak mengatakan bahwa Prabowo-Sandi "sebagai bagian baru dari model Bung Karno-Bung Hatta. Pak Prabowo itu seperti kombinasi Pak Karno dan Jenderal Sudirman, sedangkan Bang Sandi itu adalah bagian dari Bung Hatta."

Namun perbandingan ini ditolak oleh Gustika Jusuf-Hatta, cucu Hatta, lewat beberapa cuitan di akun media sosialnya yang salah satunya kemudian disebar lebih dari 4.000 kali. "Yang satu tokoh korporasi, yang satu tokoh koperasi. Satu politisi, satu negarawan," tulis Gustika dalam cuitannya.

Setelah cuitan tersebut, muncul video di akun resmi Dahnil Anzar yang membantah bahwa dia mempersamakan antara Sandiaga Uno dan Hatta.

"Pada prinsipnya bukan kami ingin mempersamakan Bung Hatta dengan Bang Sandi, itu keliru. Yang betul adalah bagaimana caranya Bang Sandi itu bisa meniru Bung Hatta," kata Dahnil.

Menurut Dahnil, Sandiaga ingin mempelajari konsep ekonomi yang disampaikan oleh Hatta, "sesuai dengan konsepsi ekonomi di konstitusi kita".

Prabowo Subianto sebelumnya juga pernah mendapat penghargaan The Star of Soekarno dari Rachmawati Soekarnoputri pada peringatan Kemerdekaan RI ke-73 di Kampus Universitas Bung Karno pada 17 Agustus 2018.

Menurut sejarawan Bonnie Triyana, pemakaian identitas-identitas para proklamator ini menunjukkan bahwa Indonesia kekurangan tokoh autentik sehingga yang dirujuk hanya sosok sejarah yang itu-itu lagi untuk menunjukkan bahwa "Indonesia itu hebat, tapi para tokoh politik itu tidak menggunakan kemampuan diri sendiri. Kira-kira seperti itu."

"Jelas Hatta orangnya bersih dalam satu hal. Dalam politik ada macam-macam kontroversi, dalam (pemberontakan PKI di) Madiun ada banyak perdebatan (soal peran Hatta), ada banyak lah, tapi dalam satu hal, dia jujur, lurus," kata Bonnie.

Bahkan, tambah Bonnie, "ada semacam legenda yang menyelubungi kehidupan dia, bahwa sepatu Bally yang dia inginkan tetap tidak terbeli sampai akhir hayatnya."

Setelah pensiun, Bung Hatta ditawari jadi komisaris di berbagai perusahaan, lanjut Bonnie pula. "Tapi dia tolak, dia mau."

Dari situ menurut Bonnie, ada hal-hal prinsipil yang hanya ada di Bung Hatta dan tidak mungkin disetarakan dengan orang lain di luar Hatta sendiri, sehingga protes Gustika, dinilai punya dasar kuat.

Bonnie menambahkan bahwa penulisan sejarah yang selektif dan dibatasi membuat publik mengingat hanya segelintir tokoh sejarah, itu pun mereka yang diizinkan oleh penguasa, sehingga identitas proklamator Soekarno-Hatta terus-terusan diimitasi dengan berbagai macam tujuan.

Maka dalam tahun pemilu seperti ini, identitas Soekarno-Hatta kemudian digunakan untuk membangkitkan sentimen politik dan memikat pemilih.

Identifikasi dengan tokoh semacam ini sudah banyak ditemukan dalam sejarah, seperti contohnya mengidentifikasi diri sebagai keturunan raja atau keturunan Majapahit, sebagai cara melegitimasi bahwa seseorang pantas menjadi penguasa.

"Dari 2014, Prabowo mengidentifikasi diri sebagai Soekarno, sampai sekarang. Padahal kalau kita lihat sejarah, Soekarno sama bapaknya Prabowo akur, dan kebijakan yang Soekarno sama mertuanya Prabowo, walaupun tidak ada hubungannya ayah dengan mertua, Prabowo ya Prabowo, tapi ada keanehan-keanehan dalam sejarah bahwa satu dan lain hal itu saling bertentangan," ujar Bonnie.

Karakteristik dari para proklamator yang kemudian ditempelkan pada para politisi itu memang hanya yang di permukaan. Seperti bersih, kharismatis, dan berwibawa.

"Kita kan nggak mungkin ngomong detail sama pemilih, dan enggak butuh (bicara detail), apalagi ketika sebagian besar pemilihnya tradisional, ya peduli-peduli amat," kata Bonnie.

Tetapi, apakah pemilih akan teryakinkan dengan strategi identifikasi ini?

"Sebagai diri mungkin masih bisa disambung-sambungkan, tapi sejauh mana relevan atau efektif cara ini, dan sejauh mana berkontribusi pada pilihan orang, harus pakai survei," ujar Bonnie.