Virus Corona, Kapan Ventilator Buatan Indonesia Diproduksi Massal

BBC Indonesia
Sumber :
  • bbc

Jumlah ventilator di Indonesia dinilai belum cukup dan distribusinya belum merata. Kondisi ini mendorong sejumlah universitas dan lembaga mengembangkan alat tersebut. Pemerintah mengatakan akan membeli jika alat ini memang sudah lulus uji.

Ketersediaan alat bantu napas sangat vital dalam upaya menekan angka kematian dari Covid-19, penyakit yang dapat mengganggu fungsi pernapasan pada kasus berat.

Mantan pasien Covid-19 dari Jakarta Selatan, Arif Wijaya, mengatakan dirinya sangat terbantu dengan alat ini.

Sekarang ia lebih banyak beraktivitas di rumah saja.

"Anak dan istri saya ungsikan dulu. Banyak yang tanya kabar, tapi saya tetap jaga. Ya, kita nggak tahu, kalau saya masih jadi carrier (pembawa virus) bagaimana? Jadi saya harus jaga 14 hari ini," kata Arif melalui sambungan telepon, Selasa (07/04).

Arif menduga, ia terinfeksi virus corona setelah melalui rangkaian aktivitas mulai dari pertemuan rekan kerja pada 28 Februari di Menteng, Jakarta Pusat, sampai berbaur dengan pasien Covid-19 di rumah sakit.

Namun, ia tak bisa memastikan lokasi di mana ia tertular.

Melalui masa kritis dengan ventilator

Selama mengalami gejala Covid-19, Arif tidak langsung dirawat. Pada kurun waktu 15-21 Maret, ia mendatangi RS Kramat Jati, RS Primer Bintaro, RSP Pertamina, RS Persahabatan, RS AU Halim, dan RS Polri.

Namun, kata Arif, sebagian rumah sakit hanya memberi obat, memintanya pulang. Sebagian lagi menolak merawat karena tak ada surat yang menunjukkan dirinya positif Covid-19.

"[Saya sampai] pingsan. Setengah sadar. Itu masih ditolak sama rumah sakit," kata Arif.

Kondisi kesehatan memburuk. Napas Arif makin tersengal-sengal. Pada 21 Maret, ia dibawa ambulans ke RS Kramat Jati untuk menjalani sejumlah tes kesehatan. Ia kemudian dirawat, pasang infus, ventilator dan penguapan.

"Sering tidak ingat sesuatu, pingsan atau mati suri saya tidak tahu," katanya.

Setelah itu, ia dipindahkan ke RS Duren Sawit dan mendapat perawatan ekstra dengan ventilator.

Kondisinya mulai membaik tiga hari kemudian. Ia dinyatakan sebagai Pasien Dengan Pengawasan (PDP).

Hasil tes kesehatan baru diketahui 26 Maret: ia positif Covid-19.

"Dinyatakan positif ketika saya sudah agak segar," kata Arif.

Arif meyakini ventilator telah menyelamatkan nyawanya selama kondisi kritis. Ventilator dipasang di kala ia tak bisa bernapas dan setengah sadar.

"Kondisinya drop. Begitu dipasang ventilator, saya bisa bernapas kembali," kata Arif.

Seorang wartawan, WD, tak bernasib seperti Arif. WD kehilangan nyawa karena diyakini tidak ditangani dengan cepat saat tengah kritis.

Istrinya, RD, mengatakan penanganan cepat, termasuk bantuan ventilator, mungkin dapat menyelamatkan nyawa sang suami.

"Mungkin kalau langsung ditangani, langsung dikasih antibiotik, alat pernapasan, mungkin tidak akan seburuk itu," kata RD kepada BBC News Indonesia, akhir Maret.

RD membagikan pengalaman saat mencari pertolongan suaminya juga sempat ditolak sejumlah rumah sakit.

Seorang dokter menyebut kondisi itu terjadi karena keterbatasan ruang isolasi, alat bantu pernapasan, alat pelindung diri (APD) dan jumlah tenaga medis kala itu.

Ventilator belum merata

Baru-baru ini, dokter spesialis paru di RS Persahabatan, Erlina Burhan, mengatakan ketersediaan ventilator sudah memadai, meski perlu cadangan.

"Cadangan diperlukan kalau ada yang rusak. Tapi kalau dari segi jumlah sudah memadai. Sekarang ada 10 sampai 12 [ventilator]," kata Erlina kepada BBC News Indonesia, Selasa (7/4).

Erlina mengakui, kapasitas ruangan dengan ventilator di RS Persahabatan terbatas. Umumnya pasien yang dirujuk minta untuk dipasangkan ventilator, tapi tidak semua bisa diberikan fasilitas tersebut.

"Kita bilang ke rumah sakit semula saja, karena ventilator kita sudah terpakai. Biasanya begitu. Kita punya cara lain untuk pemberian oksigen, nggak semua pakai ventilator," tambah Erlina.

Sementara itu, rumah sakit rujukan Covid-19 di Jawa Barat, Rumah Sakit Hasan Sadikin menyiapkan 11 unit ventilator untuk menangani pasien Covid-19.

Jumlah tersebut sudah ditambah setelah mendapat bantuan dari pemerintah daerah dan pusat serta pihak swasta dan NGO.

Sebelumnya, RSHS malah hanya memiliki tiga unit ventilator, jauh dari angka ideal untuk menangani wabah.

RSHS sempat kewalahan ketika jumlah pasien yang gagal napas melampaui jumlah ventilator yang ada.

"Waktu itu kita hanya punya tiga ventilator. Ada yang masuk lima [pasien], dua lagi terpaksa memakai alat yang lain. Tapi sekarang hal itu sudah ditindaklanjuti," kata Direktur Medik dan Keperawatan RSHS, Nucki Nursjamsi Hidayat, kepada wartawan Yulia Saputra yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Kamis (09/04).

Menurut Nucki, ketersediaan alat ventilator akan memengaruhi angka kematian dari Covid-19.

"Ya, meninggal [kalau pasien gagal napas tidak dipasang ventilator]. [Tapi] ada beberapa yang dikirim dalam keadaan sudah gagal napas sehingga masuk ke IGD Hasan Sadikin beberapa menit meninggal, belum sempat dipasang ventilator," papar Nucki.

Dari 16 kasus kematian pasien positif Covid-19 yang tercatat pada Kamis (09/04) hingga pukul 11:00 WIB, sebagian sudah dipasang ventilator dan sebagian lagi datang dalam kondisi yang sudah kritis.

"Meninggal karena kasusnya sudah berat banget. Jadi ada beberapa kasus yang walaupun pakai ventilator juga akhirnya meninggal," ungkap Nucki.

Sejauh ini, RSHS sudah merawat 366 kasus ODP dan 49 kasus positif Covid-19 yang sudah dinyatakan negatif. Sementara, 26 orang PDP sedang menunggu hasil tes.

Tercatat sebanyak 52 orang pasien positif Covid-19 yang ditangani RSHS, 16 di antaranya meninggal dan empat orang dinyatakan sembuh.

Mengantisipasi lonjakan kasus positif Covid-19, Nucki mengatakan, pihaknya sudah menyiapkan sejumlah skenario. Antara lain, memobilisasi general ICU untuk dialihfungsikan agar dapat menangani pasien Covid-19.

"Kita hanya mampu mengembangkan sampai sebanyak 11 ventilator statik. Tapi kita pun di saat kasusnya mulai meningkat, kita akan memobilisasi general ICU yang ada 11 lagi, di saat tertentu bisa dioperasikan, di-switch untuk pasien Covid-19," katanya.

Namun, kata Nucki, ada beberapa hal lain yang perlu disiapkan selain ketersediaan ventilator.

"Tidak hanya ventilator saja. Pertama, tergantung dari sarana. Kedua, tergantung jumlah SDM yang bisa mengoperasikan. Ketiga, jumlah ventilatornya," kata Nucki.

Sementara itu, Ketua Tim Dokter Penanganan Infeksi Khusus RSHS Bandung, Yovita Hartantri, menjelaskan hanya menerima kasus dengan kategori sedang dan berat.

"Untuk yang ringan atau hijau diserahkan ke rumah sakit lain," katanya.

Dari wilayah timur Indonesia, Rumah Sakit Dok II Jayapura dilaporkan kekurangan ventilator. Kepala Rumah Sakit tersebut, Aloysius Giyai mengatakan saat ini rumah sakit rujukan tertinggi di provinsi tersebut hanya memiliki tujuh unit ventilator.

"Sedangkan di ruang isolasi kami sangat butuhkan, sangat kurang. Kami sangat membutuhkan kurang lebih 20 unit. Itu rumah sakit provinsi. Apalagi di daerah-daerah sangat kurang," katanya kepada BBC News Indonesia, Kamis (09/04).

Dari situs Pemprov Papua per 8 April 2020, pasien positif Covid-19 di provinsi tersebut mencapai 45 orang. Sementara jumlah PDP sebanyak 54 orang dan ODP mencapai 3.084 orang. Lima pasien meninggal dunia sementara lima lainnya sembuh.

Kota Jayapura menjadi tempat dengan jumlah kasus positif Covid-19 terbanyak di Papua, yaitu 21 kasus. Dari jumlah itu, 16 pasien dalam perawatan, tiga pasien sembuh, dan dua pasien meninggal dunia.

Berlomba membuat ventilator

Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto mengatakan ada 8.423 ventilator yang didistribusikan ke 2.867 rumah sakit di Indonesia. Jumlah ventilator terbanyak terdapat di Jawa Barat dengan 1.215 unit untuk 364 rumah sakit dan DKI Jakarta sebanyak 1.071 ventilator untuk 190 rumah sakit.

"Rumah sakit tersebut meliputi rumah sakit pemerintah maupun swasta," kata Terawan dalam rapat kerja dengan Komisi Kesehatan DPR, Kamis (02/04).

Sementara itu, juru bicara pemerintah untuk pengendalian Covid-19, Achmad Yurianto, menyebutkan pemerintah telah mendatangkan 100 ventilator baru.

Pembuatan ventilator dikebut menyusul angka pasien Covid-19 yang terus meningkat.

Per 9 Maret, jumlah kasus Covid-19 terkonfirmasi sebanyak 3.293 dengan angka kematian 280 jiwa dan angka kesembuhan 252 jiwa. Tingkat kematian di Indonesia akibat Covid-19 mencapai 8,1% termasuk salah satu yang tertinggi di dunia.

Sejumlah lembaga dan universitas berlomba membuat ventilator.

Salah satunya, kolaborasi para peneliti di Fakultas Teknik UI (FTUI), Fakultas Kedokteran UI (FKUI), Rumah Sakit UI (RSUI), Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Jakarta Jurusan Teknik Elektromedik dan RSUP Persahabatan Jakarta.

Ketua Tim Ventilator UI, Basari, menamai produknya Ventilator Transport Lokal Rendah Biaya Berbasis Sistem Pneumatik (COVENT-20). Kata dia, produk sudah melalui uji kalibrasi dengan PT Medcalindo, perusahaan di bidang kalibrasi peralatan medik.

"Tahapan selanjutnya adalah pengujian di Balai Pengamanan Fasilitas Kesehatan (BPFK), dan uji klinis di RSUI sebelum pengurusan izin produksi dan izin edar dari Kementerian Kesehatan dan produksi massal," kata Basari.

Produk yang diciptakan oleh tim yang berjumlah 10 orang ini sudah dilakukan sejak tiga pekan terakhir.

COVENT-20 merupakan jenis ventilator noninvasif, yang artinya tidak menggunakan selang yang dimasukkan ke dalam rongga pernapasan pasien yang kesulitan bernapas.

Basari mengatakan jenis ventilatornya mudah dimobilisasi sekaligus dapat digunakan dalam kondisi darurat.

"Jadi pasien itu ada yang sadar, ada yang tidak sadar. Tidak sadar katakanlah pingsan. Kita harus pressure dia, kita berikan kayak napas buatan," kata Basari sambil menjelaskan ini sebagai Continuous Mandatory Ventilation (CMV).

Ketika pasien sudah sadar namun belum dapat mengatur napas dengan baik, maka pengguna COVENT-20 bisa diubah ke moda Continuous Positive Airway Pressure (CPAP). Moda ini dapat mengatur hembusan dan tarikan napas pasien sehingga tetap menjaga kadar oksigen di dalam paru-paru.

"Alat itu bisa digunakan untuk di rumah. Misalnya PDP atau ODP yang memiliki gangguan napas yang karantina diri. Atau yang dia memang PDP atau positif mau dimasukkan ke ruang isolasi, selama perjalanan dari rumah ke rumah sakit [bisa menggunakan alat ini]," kata Basari.

Kelebihan lainnya, COVENT-20 bisa beroperasi di mana pun karena dilengkapi batere isi ulang. Pengguna tak perlu repot mencari sambungan listrik. Harga produksinya mencapai Rp25 juta per unit.

Basari mengatakan sudah ada perusahaan yang mengajukan kerjasama untuk memproduksi secara massal jika alat ini lolos uji dari Kemenkes. "Kabarnya, mereka bisa sanggup di pabriknya 200-250 ventilator per bulan," katanya.

Selain UI, kampus lain yang sedang dalam proses uji dan izin produksi ventilator adalah Institut Teknologi Bandung (ITB) yang berkolaborasi dengan YPM Salman ITB dan Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran dengan nama Vent-I (Ventilator Indonesia). Inovasi serupa juga dilakukan Institut Teknologi Sepuluh November (ITS), yang harga produksinya dibandrol Rp20 juta.

BUMN janji bantu produksi

Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Erick Thohir mengatakan, kementeriannya bisa membantu memproduksi prototipe ventilator yang sudah lulus uji.

"Tapi tentu dengan penemuan-penemuan yang ada dari universitas-universitas, seperti UI, ITB bahkan juga kami di industri pertahanan sudah dapat informasi BPPT, LAN juga sedang melihat. Ya, kalau memang nanti kita bisa bantu produksi kenapa tidak," katanya awal pekan ini, kepada media.

Erick Thohir juga menggambarkan dari 661 ruang ICU di rumah sakit milik pemerintah, baru 50 persen yang memiliki ventilator. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, salah satu opsinya adalah dengan memproduksi ventilator dalam negeri.

Sementara itu, Juru Bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19, Achmad Yurianto mengatakan pemerintah membuka peluang untuk membeli ventilator buatan kampus.

Tapi harus jelas pengujiannya. "Kan harus diuji coba dulu, berfungsi tidak. Sesuai dengan spek dasar yang dibutuhkan sebagai ventilator tidak. Kan tidak otomatis semuanya dipakai," katanya kepada BBC News Indonesia, Rabu (08/04).

Pemerintah, kata Yuri, belum ada rencana untuk memberi intensif bagi invonasi ventilator yang saat ini sedang digarap sejumlah kampus dan Lembaga.

"Ini kan termasuk inovasi, kan ada mekanismenya inovasi. Uji fungsi dan sebagainya, kalau semua sudah bagus ya baru nanti ditindaklanjuti sampai produksi massal kalau diperlukan," katanya.

Yurianto menjelaskan, saat ini pemerintah berkonsentrasi pada pencegahan di tengah wabah yang makin meluas. Ia mengatakan, `tak ada yang bisa memprediksi` puncak dari penyebaran Covid-19 di Indonesia.

"Bukan skenario terjelek yang dipersiapkan, tapi bagaimana skenario terjelek itu dicegah supaya jangan sampai terjadi. Itu kuncinya. Itu sebabnya kita melaksanakan PSBB dan sebagainya," katanya.