PPDB dan Aturan Zonasi Penerimaan Peserta Didik Baru Setengah Hati

Sejumlah orang tua murid terdampak PPDB DKI Jakarta melakukan aksi unjuk rasa di depan Gedung Balaikota DKI Jakarta, Jakarta Pusat, Selasa (23/6).-APRILLIO AKBAR/ANTARA
Sumber :
  • bbc

Pelaksanaan sistem zonasi setiap tahun dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB) kerap menuai kritikan dari para calon orang tua murid yang mau mendaftarkan anaknya sekolah.

Tahun ini, penerapan sistem zonasi di DKI Jakarta yang memasukan batasan usia sebagai salah satu pertimbangan menyebabkan ratusan orang tua melakukan demonstrasi di depan Gedung Balaikota DKI Jakarta, Selasa (23/06).

Salah satu pendemo yang bernama Gunawan kecewa dengan kebijakan batasan umur tersebut dan minta dibatalkan karena tidak memberikan akses pendidikan yang adil dan terbuka bagi seluruh calon siswa.

Dinas Pendidikan DKI Jakarta menyatakan bahwa aturan prioritas umur dalam PPDB sudah mengikuti aturan yang dibuat oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 44 tahun 2019 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru pada TK, SD, SMP, SMA dan SMK.

Pengamat pendidikan pun menilai berulangnya masalah terkait pelaksanaan zonasi setiap tahun bermuasal dari kebijakan zonasi "setengah hatinya" yang tercantum dalam Permendikbud Nomor 44 tersebut.

Artinya penerapan sistem zonasi tidak murni hanya berdasarkan pertimbangan jarak, namun memasukan pertimbangan lain yang ditafsir bebas oleh masing-masing daerah.

Orangtua murid: Batasan usai tidak adil

"Kalau anak saya kalah atau tidak keterima sekolah karena adu nilai, oke saya terima karena memang anak saya bodoh. Tapi kalau karena usia? Saya sangat kecewa.

"Terus untuk apa ada program akselerasi dan memang tidak boleh orang muda berprestasi?" kata Gunawan, orang tua murid yang kecewa dengan adanya kebijakan batasan umur dalam PPDB di Jakarta tahun ini.

Menurut Gunawan, aturan batasan umur telah mengeksekusi hak para siswa dalam mendapatkan akses pendidikan yang adil dan terbuka.

"Anak-anak yang masih muda yang berjuang dan memiliki semangat tinggi untuk meningkatkan prestasi dan mendapatkan SMA yang diinginkan lalu tiba-tiba kandas karena usia," kata Gunawan.

"Terus anak saya mau masuk ke mana kalau di semua sekolah negeri ditolak karena usianya tidak cukup? Tidak sekolah, menganggur, dan menunggu sampai umurnya cukup?" kata Gunawan dengan kesal.

Gunawan mengatakan telah mempersiapkan anaknya yang kini berusia 14 tahun tujuh bulan selama beberapa tahun terakhir sehingga dapat masuk ke sekolah favorit dekat dengan tempat tinggalnya di Matraman, Jakarta Timur.

Parahnya lagi, aturan itu baru muncul beberapa bulan belakangan ini, yaitu 11 Mei lalu dimana sekolah swasta yang bagus sudah menutup pendaftaran, dan yang tersisa adalah sekolah yang menurut Gunawan kurang bagus.

"Lalu anak yang saya persiapkan matang dan baik, saya sekolahan di situ? Kalau disosialisasikan dari tahun lalu, kita terima karena bisa menerima konsekuensi ini dan mempersiapkan ke swasta favorit," kata Gunawan.

Ungkapan kecewa yang sama juga diutarakan oleh Tri Agustina yang akan memasukkan anaknya ke SMP.

"Dari kelas 4, anak saya sudah les sampai sore agar nilai rapotnya selalu tinggi dan bisa masuk SMP negeri, tahu-tahunya batasan usia yang diprioritaskan. Jadi perjuangan anak saya belajar semaksimal mungkin kayak sia-sia," kata Agustina yang anaknya kini berusia 12 tahun.

Aturan tersebut juga menjatuhkan mental anak Agustina dengan merasa "apa harus usia jadi syarat lanjut sekolah, apa tidak bisa diukur dari rapot dan perjuangan yang dilakukan siswa?".

"Kalau cari swasta biaya mahal, apalagi kondisi saat ini, ada wabah virus corona. Lalu saya mau masuk SMP negeri agar bisa mudah ke SMA negeri," kata Agustina yang ingin memasukan anaknya ke SMP di wilayah Jakarta Selatan.

Seleksi PPDB: dari yang tertua hingga termuda

Dinas Pendidikan DKI Jakarta mengatakan aturan tersebut telah mengikuti aturan di atasnya, yaitu Permendikbud Nomor 44 tahun 2019 tentang PPDB, khususnya dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6 dan Pasal 7.

Dalam Pasal 4 Permendikbud, calon peserta didik baru pada Taman Kanak-Kanak (TK) berusia minimal empat tahun untuk kelompok A, dan lima tahun untuk kelompok B.

Di Pasal 5, calon peserta didik baru SD berusia tujuh tahun sampai dengan 12 tahun atau paling rendah enam tahun pada 1 Juli tahun berjalan.

Untuk SMP berusia paling tinggi 15 tahun pada 1 Juli tahun berjalan, dan untuk jenjang SMA dan SMK berusia paling tinggi 21 tahun pada tanggal 1 Juli tahun berjalan sesuai Pasal 6 dan Pasal 7.

Pemerintah DKI pun menerjemahkan aturan tersebut dalam bentuk Keputusan Kepala Dinas Pendidikan DKI nomor 501 tahun 2020 tentang petunjuk teknis PPDB tahun pelajaran 2020/2021.

Dalam keputusan Dinas Pendidikan DKI Jakarta tersebut, jika dalam proses seleksi yang mendaftar melalui jalur zonasi, afirmasi, prestasi akademik dan luar DKI Jakarta melebih daya tampung, maka dilakukan seleksi berdasarkan, salah satunya adalah usia tertua ke usia termuda.

Pendaftaran PPDB DKI Jakarta SD, SMP, SMK, dan SMA untuk Jalur Afirmasi, Inklusi, Prestasi Non Akademik, dan Jalur Perpindahan Orang Tua dan Anak Guru sudah dibuka sejak Senin, 15 Juni 2020 melalui portal http://ppdb.jakarta.go.id. Lalu, untuk pendaftaran jalur zonasi akan dilangsungkan pada 25 - 26 Juni 2020.

Selain mengikuti Permendikbud, alasan lain usia dijadikan salah satu pertimbangan dalam proses seleksi, menurut Sekretaris Dinas Pendidikan DKI Jakarta Susi Nurhati adalah untuk memberikan akses pendidikan yang merata bagi semua masyarakat Indonesia.

"Lalu ada kan yang usianya 20 tahun baru diterima di SMA atau SMK, tapi setelah ditelusuri ternyata anak ini pernah tidak naik kelas, putus sekolah, apa salah kalau kita fasilitasi anak-anak yang harus diperhatikan untuk bisa sekolah sama dengan lainnya, banyak loh seperti itu," kata Susi.

`Setengah hati` sistem zonasi

Koordinator Nasional Jaringan Pengamat Pendidikan Indonesia Ubaid Matraji menyebut kritikan dan penolakan yang selalu muncul tiap tahun saat penerimaan peserta didik baru disebabkan oleh pelaksanaan `setengah hati` sistem zonasi.

"Yang ribut-ribut dari usia, ujian, nilai dan lain itu hanyalah hilir dari persoalan hulu yang tidak selesai, yaitu Permendikbud soal PPDB yang setengah-setengah dalam menggunakan zonasi atau tidak," kata Ubaid.

Dalam Pasal 11 huruf 2 Permendikbud tersebut tertulis jalur zonasi paling sedikit 50?ri daya tampung sekolah.

"Akibatnya membingungkan di level sekolah dan pemerintah daerah yang menafsirkan berbeda-beda antara provinsi satu dan lain, seperti contoh batasan usia umur ini yang diterapkan di Jakarta," kata Ubaid.

"Orang tua jadi binggung, ini jalurnya zonasi, prestasi, afirmasi, usia, atau apa? Harusnya aturannya tegas. Jika zonasi maka pertimbangannya cuma satu yaitu jarak rumah ke sekolah, tidak perlu ada aturan lain," katanya.

Sedangkan bagi calon siswa yang putus sekolah dan telat sekolah maka perlu diberikan kuota khusus dan tidak dicampur aduk sehingga "berdesakan" mengisi kuota zonasi, tambah Ubaid.

"Untuk itu, agar masalah seperti ini bisa dihindari dan clear maka Permendikbud-nya harus dipertegas sehingga penerapannya sama di semua daerah," katanya.

"Kalau masuk SD, anak masih bisa menunggu. Tapi kalau SMP dan SMA, lalu anak siswa itu harus bagaimana? Tidak sekolah sampai usia cukup? Itu menyalahi keadilan dalam mendapatkan akses pembelajaran di sekolah," katanya.

Pemerintah juga, kata Ubaid, harus melakukan pemerataan mutu dan kualitas sekolah jika ingin menerapkan sistem zonasi secara tepat.

Terkait dengan masukan tersebut, Pelaksana tugas Direktur Jenderal PAUD, Pendidikan Dasar, dan Menengah Kemendikbud Muhammad Hamid menjawab, "Kalau terjadi di sebagian besar daerah, mungkin Permendikbud-nya yang perlu diperbaiki," katanya.