Ada Apa dengan Zonasi PPDB?

Ilustrasi kelas dalam PPDB Zonasi || Sumber : Pixabay.com
Sumber :
  • vstory

VIVA – Akhir-akhir ini banyak kegaduhan di media sosial berkenaan zonasi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Hiruk pikuk ini karena banyak masyarakat atau orang tua/wali murid yang kecewa banyak anaknya yang tidak masuk sekolah dekat rumah mereka padahal masih masuk dalam zonasi setempat.

Penerapan Zonasi PPDB Sekolah Dinilai Belum Efektif

Gagasan Zonasi yang dimulai pada tahun 2017 di era Mendikbud Muhajir Efendy bertujuan untuk percepatan pemerataan dan akses layanan pendidikan. Agar menutup sistem “kasta” yang banyak terjadi. Zonasi sendiri, harus ditentukan oleh Pemerintah Daerah

Namun, entah mengapa, tujuan mulia tersebut sekarang malah muncul oknum-oknum yang diduga membuat jalan pintas untuk berlaku curang. Contohnya banyak informasi ramai bahwa masyarakat berebut “berpindah” domisili agar semakin dekat dengan sekolah. Sehingga warga yang memang tinggal di sana perlahan hilang dari sistem zonasi.

Problematika Sistem Zonasi Sekolah dalam PPDB Tahun 2021

Belum lagi, persoalan pungutan liar untuk memuluskan “pindahan ghaib” agar siswa bisa dipaksakan masuk ke SMP atau SMA yang diinginkan. Bahkan ada beberapa warga yang rela membayar lebih asalkan anaknya diterima di SMP atau SMA Negeri.

Persoalan zonasi yang muncul saat ini, merupakan dampak belum meratanya akses layanan pendidikan. Masyarakat yang saya temui di Jabodetabek beralasan belum semua sekolah siap memaksimalkan pengajaran kepada murid-murid.

Warga Sumut Keluhkan Proses PPDB, Gubernur Edy: Memang Sulit

Belum lagi, ternyata masih banyak persoalan kapasitas guru yang belum selesai, sehingga masyarakat tetap “pilih-pilih” sekolah negeri walaupun di luar zonasi rumah mereka bahkan rela mengeluarkan kocek lebih agar anaknya tetap di sekolah negeri yang berkualitas, ini menjadi catatan penting dunia pendidikan.

Merdeka Belajar sebagai Solusi

Sebetulnya, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) saat ini, sudah memiliki terobosan dari Program Merdeka belajar sebanyak 24 poin tersebut. Lalu ada tiga fokus agar sekolah di berbagai daerah bisa berkualitas.

Pertama adalah Merdeka Belajar Episode 3 yang merupakan penyaluran dan penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah atau dana BOS. Di era merdeka belajar penyaluran BOS langsung ke rekening sekolah dan disalurkan 3x per tahun.

Penggunaan dana BOS lebih fleksibel digunakan untuk sekolah seperti maksimal 50% untuk pembayaran honorer guru, bisa diberikan untuk tenaga pendidik serta untuk pengembangan sekolah tidak ada pembatasan alokasi buku maupun alat multimedia.

Kedua, untuk meningkatkan kualitas guru ada program guru penggerak. Sebelumnya saya sudah pernah menulis tentang guru penggerak sebagai salah satu ikhtiar agar meningkatkan kualitas serta income guru.

Namun saya akan sedikit ulas lagi, karena tujuan dari Guru Penggerak melahirkan bibit unggul dengan berbagai program pelatihan sehingga dapat memahami penerapan pembelajaran yang tepat kepada siswa, sehingga apa yang diajarkan dengan kebutuhan siswa sesuai.

Ketiga, Platform merdeka mengajar di mana guru juga bisa meningkatkan kapasitas keilmuan serta berbagi dan berkarya seperti membuat tutorial menghadapi murid serta membuat kelas menjadi menyenangkan. Hal ini, secara tidak langsung dapat berdampak pada pengajaran yang merata karena guru-guru bisa memiliki pengetahuan dan keahlian yang sama.

Terakhir, seharusnya masyarakat sudah tidak resah dengan adanya zonasi, tidak ada lagi mengambil jalan pintas karena adanya kurikulum merdeka yang lebih ramah kepada guru dan siswa sehingga fokus kepada kompetensi peserta didik.

Lalu mengapa masih banyak yang berlaku curang sampai berpindah kartu keluarga secara berjamaah?

Peran Pemerintah Daerah

Di sinilah persoalannya, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) sudah mempersiapkan semua perangkat yang dibutuhkan oleh seluruh stakeholder pendidikan.

Eksekusi terakhir seharusnya ada di Pemerintah Daerah. Namun saya sedikit ragu, karena sejak lama dunia pendidikan menjadi lahan “basah” bagi oknum-oknum di grassroot. Sehingga jika semua tawaran Mendikbud dilaksanakan lahan yang dimanfaatkan akan menjadi hilang.

Benar apa yang disampaikan oleh Rocky Gerung dan Gita Wirjawan dalam podcast endgame. “Kemendikbud saat ini sangat memperjuangkan guru serta memiliki konsep pendidikan yang baik. Namun mereka harus melawan oknum-oknum pendidikan,”

Saya kira, pemerintah daerah melalui Bupati atau Walikota harus berani mengambil andil, DPRD juga perlu menganggarkan biaya pendidikan minimal 20?ri APBD dan melaksanakannya dengan maksimal.

Bisa dibentuknya tim pengawas yang memang khusus mengawasi anggaran pendidikan tersebut. Seandainya semua konsep merdeka belajar dilaksanakan, pastinya sistem zonasi justru akan lebih baik dibandingkan saat ini. (Fathin Robbani Sukmana, Pemerhati Pendidikan)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.