Lebih Fair, Kasus Djoko Tjandra dan Jaksa Pinangki Ditangani KPK

Buronan kasus korupsi pengalihan hak tagih Bank Bali Djoko Tjandra (tengah)
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

VIVA – Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Nawawi Pomolango, mengatakan kasus-kasus korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum idealnya ditangani KPK. Menurut Nawawi, penanganan oleh KPK dapat menghindari terjadinya konflik kepentingan di internal lembaga penegak hukum dan menjaga kepercayaan publik.

"Menurut saya, idealnya dugaan tipikor oleh aparat penegak hukum ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi. Itu akan lebih 'fair' untuk menumbuhkan rasa kepercayaan publik," kata Nawawi saat dikonfirmasi awak media, Rabu, 19 Agustus 2020.

Baca: Satu Lagi Jenderal Jadi Tersangka Kasus Djoko Tjandra

Diketahui, belakangan ini, terdapat sejumlah kasus dugaan korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum.

Kejaksaan Agung saat ini sedang menangani kasus dugaan korupsi berupa pemerasan yang melibatkan Kepala Kejaksaan Negeri Indragiri Hulu (Kajari Inhu) Hayin Suhikto dan sejumlah pejabat Kejari Inhu lainnya.

Selain itu, Kejagung juga sedang mengusut kasus suap terkait skandal Djoko Tjandra yang menjerat mantan Kepala Sub-Bagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejaksaan Agung, Pinangki Sirna Malasari.

Tak hanya Kejaksaan Agung, dalam rentetan skandal Djoko Tjandra, Bareskrim juga sedang mengusut keterlibatan pejabat di internal Korps Bhayangkara.

Bareskrim telah menetapkan mantan Kepala Biro Pengawasan (Korwas) PPNS Bareskrim, Brigjen Prasetijo Utomo dan mantan Kadiv Hubinter Polri, Irjen Napoleon Bonaparte sebagai tersangka penerima suap terkait surat jalan dan hapusnya nama Joko Tjandra dalam daftar red notice Interpol Polri.

Nawawi menyatakan, selain lebih fair dan dapat menumbuhkan kepercayaan publik, berdasarkan aturan KPK berwenang menangani kasus dugaan korupsi yang melibatkan penegak hukum.

Hal ini sebagaimana tugas dan fungsi KPK sebagaimana tercantum dalam Pasal 11 ayat (1) UU Nomor 19 Tahun 2019 Tentang KPK yang menyatakan lembaga antikorupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, Penyelenggara Negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau Penyelenggara Negara.

"Kewenangan yang sebenarnya brsifat spesialis ini secara jelas disebutkan dalam Undang-undang KPK, yaitu dalam Pasal 11 yang menyebukan, pada pokoknya, KPK berwenang menangani perkara korupsi yang dilakukan 'aparat penegak hukum'," kata Nawawi.

Nawawi menambahkan, di sejumlah negara, kehadiran lembaga antikorupsi seperti KPK dilatari ketidakpercayaan terhadap aparat penegak hukum di negara-negara tersebut dalam menangani perkara korupsi yang dilakukan oleh dan di dalam lingkungan kerja aparat itu sendiri.

Untuk itu, Nawawi memandang wajar jika ada kelompok masyarakat seperti ICW yang meminta KPK mengambil alih kasus-kasus dugaan korupsi yang melibatkan penegak hukum.

Meski begitu, Dia menegaskan, pernyataannya bukan berarti KPK akan mengambil alih kasus-kasus tersebut. Nawawi menilai akan lebih elok jika perkara-perkara itu dilimpahkan Kejaksaan atau Kepolisian atas kehendak sendiri.

"Saya tidak bicara soal pengambilalihan, tapi menurut saya akan lebih pas kalau ada kehendak sendiri untuk melimpahkan penanganan-penanganan perkara semacam itu kepada KPK, dan KPK tidak hanya berada dalam koridor supervisi," imbuhnya. (ren)