Pegiat Demokrasi Sesalkan Maraknya Penangkapan Berbau PKI

Kaos berlambang PKI dan palu
Sumber :

VIVA.co.id – Gerakan Masyarakat untuk Demokrasi (Gema Demokrasi), yang terdiri dari berbagai organisasi dan individu yang peduli terhadap demokrasi di Indonesia, menyesalkan beragam penangkapan dan upaya perampasan kemerdekaan warga oleh aparat negara dengan mengatasnamakan pemberantasan terhadap komunisme dan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Dalam pernyataan yang diterima VIVA.co.id, Kamis 12 Mei 2016, juru bicara Gema Demokrasi, Asep Komarudin, menilai penangkapan itu sama sekali tidak berdasarkan hukum yang sah.

"Berdasarkan konstitusi Indonesia, hak warga untuk berkumpul dan menyatakan pendapat serta berekspresi tertuang pada pasal 28, 28 E ayat (2) dan (3) serta pasal 28 F. Jaminan perlindungan ini menjadi fondasi kehidupan demokrasi yang sehat, dan kedaulatan hukum," katanya.

Namun, melihat data pelanggaran atas hak berkumpul dan berpendapat serta berekspresi dari beragam organisasi pemantau seperti Kontras, Elsam, LBH Jakarta, dan SAFENET, memperlihatkan paling tidak ada 41 kali diabaikannya hak sipil itu sejak Januari 2015 sampai Mei 2016. Pelanggaran ini dilakukan dalam bentuk pelarangan, intimidasi, pembubaran paksa, penangkapan sewenang-wenang, pembredelan, pencekalan, dan lain-lain.

Frekuensinya, menurut Asep, juga cenderung meningkat. Terutama pada 2016, dimana setidaknya ada 4 sampai 5 kali peristiwa per bulan.

Paling baru adalah penangkapan terhadap aktivis literasi Adlun Fiqri, dan aktivis lingkungan Supriyadi Sawai di Ternate, Maluku Utara. Keduanya, "ditangkap empat intel Kodim 1501 Ternate, hanya karena memakai kaos bertuliskan Pecinta Kopi Indonesia," terang Asep.

Menurut Asep, penangkapan ini, dan berbagai penangkapan lainnya yang dicap sebagai bagian dari komunis, adalah bentuk teror dan penyebaran ketakutan yang diciptakan agar warga bereaksi negatif pada para aktivis, gerakan rakyat, dan kelompok minoritas. Hal ini juga mengaburkan upaya penyelesaian persoalan masa lalu Indonesia pada tahun 1965-1969, dan banyak kasus pelanggaran HAM lainnya.

Asep melanjutkan, tindakan melawan hukum ini, dibungkus negara dengan menggunakan landasan hukum lama, yaitu TAP MPRS No. XXV Tahun 1966 tentang Pembubaran PKI. Aturan ini sesungguhnya telah ditinjau ulang melalui TAP MPR No. I Tahun 2003.

Pada pasal 2 angka 1 TAP MPR tersebut, mengatur seluruh ketentuan dalam TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang pembubaran PKI serta larangan menyebarkan komunisme tetap berlaku, tapi dilakukan dengan berkeadilan dan menghormati hukum, prinsip demokrasi serta hak asasi manusia.

"Pelarangan dan pembubaran paksa pada bentuk kegiatan dan kebebasan berekspresi seperti menonton, pameran seni dan kegiatan akademik, ilmiah adalah pelanggaran serius pada hak sipil masyarakat untuk berkumpul, berpendapat, berekspresi dan mengakses informasi," ucap Asep.

Tindakan ini, juga dinilai sebagai wujud upaya sistematis menghambat pendidikan rakyat atas apa yang terjadi di sekitar mereka. "Jelas tindakan-tindakan tersebut adalah tindakan anti demokrasi dengan meruntuhkan bangunan negara hukum Indonesia dengan meniadakan Rule of Law," tutur dia.

(ren)