Pengungsi Rohingya, Asa Menunggu Negara Ketiga

Waga etnis Rohingya saat menyelenggarakan salat di barak pengungsian Blang Ado Aceh Utara
Sumber :
  • ANTARA/Rahmad

VIVA.co.id – "Rindu kampung halaman, tapi tak mau pulang," tutur Syamsidar dengan logat Indonesia yang tertatih-tatih. Siang itu, perempuan asal Myanmar ini terlihat sibuk memandikan buah hatinya, Yusuf Faya.

Setahun silam. Syamsidar merupakan salah seorang perempuan dari ratusan orang pelarian dari etnis Rohingya di Myanmar yang terdampar di Provinsi Aceh setelah berbulan-bulan terkatung di tengah laut.

Beberapa di antara mereka tewas mengenaskan lantaran kelaparan. Sehingga hanya tersisa 323 orang yang kemudian diselamatkan nelayan dan dibawa ke daratan Aceh, untuk selanjutnya diminta bermukim sementara.

Tahun ini, pas setahun Syamsidar menginjakkan kakinya di bumi Serambi Mekah. Harapannya tetap tak berubah. Meski kini ia sudah memiliki rumah sementara, mimpi Syamsidar untuk ke Malaysia tetap ada.

Maklum, jauh sebelum diselamatkan saat terdampar di laut Aceh. Syamsidar dan ratusan pengungsi memang berencana ke Malaysia. Namun sial, nakhoda kapal meninggalkan mereka di tengah laut. “(Ingin) Ke Malaysia. Tinggal di Malaysia enak,” kata Syamsidar.

FOTO: Syamsidar, pengungsi Rohingya yang kini masih bertahan di Aceh saat memandikan bayinya, Jumat (13/5/2016)

Pelarian kedua

Mimpi Syamsidar untuk ke Malaysia cukup beralasan. Sebab, kini di barak pengungsi yang terdapat di Desa Blang Ado Aceh Utara, rupanya sudah banyak ditinggalkan.

Tercatat, dari 323 orang yang diselamatkan dari kapal tak bertuan di perairan laut, kini hanya menyisakan 77 orang lagi yang masih bertahan. Satu per satu, pengungsi Rohingya yang telah difasilitasi oleh pemerintah Indonesia justru menghilang.

Konon, sebagian besar mereka melanjutkan mimpinya ke Malaysia, untuk bertemu sanak saudara. Mimpi kemegahan Malaysia dan harapan hidup lebih baik, masih membenak di kepala pengungsi Rohingya.

Alhasil, kini barak pengungsian semakin sepi. Cuma tersisa 44 orang lelaki dewasa, 22 perempuan dewasa, anak laki-laki 9 orang, anak perempuan 1 orang. Kemudian 4 bayi, masing-masing dua perempuan dan dua laki-laki. Pelarian kedua pengungsi Rohingya ini kini seolah tak terbendung.

FOTO: Barak pengungsian etnis Rohingya di Desa Blang Adoe Aceh Utara yang kini kosong ditinggalkan pengungsi.


Negara Ketiga

Tahun ini, genap setahun pengungsi Rohingya ditampung di Indonesia. Sesuai perjanjian sebelumnya, ratusan pengungsi memang cuma mendapat jatah 365 hari untuk berada di Aceh. Setelah itu, akan direlokasi atau mungkin diperpanjang.

Pemerintah Kabupaten Aceh Utara, sejauh ini belum mendapatkan kepastian untuk status pengungsi Rohingya  tersebut.

“Kami masih menunggu informasi dari pemerintah atasan, soal negara ketiga itu kewenangan pemerintah atasan. Kami prinsipnya hanya penampungan semetara,” ujar Abdul Azis, Asisten II Pemkab Aceh Utara, Sabtu, 14 Mei 2016.

Ia mengatakan, sesuai dengan arahan Kementerian Hukum dan HAM saat itu, Pemkab Aceh Utara diminta menampung pengungsi selama setahun, bahkan mungkin bisa lebih. Selama pemerintah bersama pihak UNHCR mencari negara ketiga.

Azis tak menampik jika selama menampung pengungsi Rohingya menjadi beban psikologis untuk pemerintah. Sebabnya muncul anggapan masyarakat bahwa pemda justru terkesan memprioritaskan pengungsi. Padahal faktanya, penanganan itu juga mendapatkan bantuan dari donatur dan lembaga internasional.

“Ini beban psikologis. Kemudian orang juga bisa menyorot, seolah-olah pemda kurang maksimal melayani (pengungsi), padahal kami sudah melakukannya dengan maksimal, ini kendala buat Pemda Aceh Utara,” katanya.

Karena itu, ia berharap Pemerintah RI dan lembaga yang bertanggungjawab terhadap kelangsungan hidup pengungsi tersebut segera menemukan negara ketiga untuk mereka. “Kepada pemerintah atasan untuk cepat-cepat menemukan solusi untuk para pengungi, barangkali dikirim ke negara ketiga.”

Masih Setia

Dari sisi relawan, sejauh ini sepertinya tidak menjadi kendala. Kesetiaan mereka merawat pengungsi sudah tak diragukan lagi. "Sampai sekarang ya masih sanggup, masih mau terus mendampingi mereka, dibilang capek enggaklah,” ujar seorang relawan bernama Maulida.

Ia mengaku kendala yang dihadapi sejauh ini hanya soal bahasa. Sebab, hingga kini, masih banyak pengungsi yang tidak fasih berbahasa Indonesia atau bahasa Aceh.

“Kadang-kadang enggak nyambung komunikasinya. Kami bilang A mereka bilang B, memang sih ada beberapa yang sudah bisa berbahasa Indonesia, tapi tetap saja kadang salah pengertian,” katanya.

FOTO: Situasi barak pengungsian etnis Rohingya di Aceh

Selama ini, kata Maulida, para pengungsi tak pernah dikekang. Mereka bahkan bebas keluar dari barak pengungsian hingga jalan-jalan ke pasar di pusat Kota Lhokseumawe. “Mereka sangat suka masak, jadi ke pasar kadang beli ikan, bawang, kadang ada juga sesekali mereka beli baju,” katanya.

Media Officer ACT (Aksi Cepat Tanggap), Zainal Bakri mengatakan hingga saat ini ACT belum menentukan rencana ke depan. “Saat ini ACT baru merancang program untuk setahun, apakah tahun berikutnya setelah ini masih ikut menangani Rohingya di Aceh atau tidak lagi, belum final,” kata Zainal Bakri. (ase)