UU TPKS Disahkan Setelah Ditolak 6 Tahun, Apa Saja Poin Pentingnya

BBC Indonesia
Sumber :
  • bbc

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI resmi mengesahkan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) menjadi undang-undang melalui rapat paripurna, Selasa (12/04), setelah enam tahun terus dibahas dan jadi polemik di Senayan.

"Di dalam forum ini kami ingin meminta persetujuan rapat paripurna untuk ini bisa disahkan di tingkat luas sebagai undang-undang, di mana penantian korban, penantian perempuan Indonesia, kaum disabilitas, dan anak-anak Indonesia dari para predator seksual yang selama ini masih bergentayangan," kata Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU TPKS, Willy Aditya.

Semua fraksi pun menyetujui pengesahan RUU TPKS. Namun, sebelumnya, dalam pembahasan tingkat I Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi satu-satunya fraksi yang menolak RUU TPKS dilanjutkan ke pembahasan tingkat II dalam rapat paripurna.

Willy menjelaskan UU TPKS ini merupakan undang-undang yang berpihak kepada korban. Melalui undang-undang ini pula "aparat penegak hukum akhirnya memiliki payung hukum atau legal standing yang selama ini belum ada" untuk menangani setiap jenis kasus kekerasan seksual.

"Rancangan undang-undang ini juga memuat tentang victim trust fund atau dana bantuan korban. Ini adalah sebuah langkah yang maju bagaimana kita hadir dalam memberikan perlindungan bagi warga negara Indonesia," ujar Willy.

UU TPKS terdiri dari 8 BAB dan 93 pasal. Dalam proses penyusunannya, DPR dan pemerintah juga melibatkan 120 kelompok masyarakat sipil.

Baca juga:

Apa saja poin pentingnya?

UU TPKS memasukkan sembilan bentuk tindak pidana kekerasan seksual, yaitu pelecehan seksual non-fisik; pelecehan seksual fisik; pemaksaan kontrasepsi; pemaksaan sterilisasi; pemaksaan perkawinan; kekerasan seksual berbasis elektronik; penyiksaan seksual; eksploitasi seksual; dan perbudakan seksual.

Dibandingkan dengan usulan awal, ada dua poin yang dihapus, yaitu pemerkosaan dan aborsi. Dalam pembahasannya, para pendamping korban kekerasan seksual mengeluhkan hal tersebut karena menurut mereka hingga kini tidak ada layanan dan prosedur aborsi aman bagi korban pemerkosaan, walaupun aturan aborsi sudah ada di Undang-Undang Kesehatan.

"Bagaimana mungkin RUU yang bicara tentang kekerasan seksual, tapi tidak berbicara pemerkosaan dan aborsi. Ini rohnya RUU TPKS menjadi hilang," kata Dian Novita dari LBH Apik Jakarta, Senin (04/04).

"Kemenkes belum mengeluarkan petunjuk teknis atas layanan aborsi aman bagi korban pemerkosaan sehingga para korban tidak memiliki pilihan."

Willy Aditya mengatakan, keputusan itu diambil karena pidana pemerkosaan akan diatur dalam RKUHP dan aborsi telah ada dalam Undang-Undang Kesehatan.

"Kan tidak boleh dua norma hukum itu bertabrakan, jadi kita menggunakan undang-undang yang sudah existing.

"Kebetulan kita kan yang mewakili pemerintah juga, dalam hal ini Wamenkumham juga yang bertanggung jawab terhadap RKUHP pemerkosaan memang tidak dimasukkan karena penjelasan beliau ada di RKUHP dan yang kedua aborsi itu ada di Undang-Undang Kesehatan," kata Willy.

Jaringan Masyarakat Sipil (JMS) dan Forum Pengada Layanan (FPL) untuk advokasi RUU TPKS mengatakan "pengaturan tindak pidana perkosaan dalam KUHP belum sepenuhnya memiliki keberpihakan terhadap korban" karena hanya mengakomodasi tindak pidana pemaksaan hubungan seksual dalam bentuk penetrasi penis ke vagina yang dapat dibuktikan dengan bukti-bukti kekerasan fisik akibat penetrasi.

Menurut mereka, meski tindak pidana perkosaan akan diatur dalam RKUHP, tidak ada jaminan pengaturan perkosaan dengan ragam jenis, cara, modus, dan tujuannya, seperti yang diharapkan ada dalam RUU TPKS.

"Mengingat kerigidan pengaturan dalam RKUHP lebih banyak mengatur persoalan kejahatan pada umumnya. Sehingga substansi pasal perkosaan dalam RUU KUHP diatur lebih umum, dikarenakan konsepsi pembahasan RKUHP lebih kepada pokok-pokok pembahasan pada hukum pidana materiil," kata JMS dan FPL dalam keterangan tertulisnya pada 7 April lalu, setelah RUU TPKS selesai dibahas oleh Panja Baleg DPR.

Meskipun dinilai masih belum sempurna, UU TPKS dianggap memiliki beberapa capaian karena berpihak pada korban, seperti yang disinggung Willy dalam rapat paripurna. Undang-undang itu mengizinkan lembaga penyedia layanan berbasis masyarakat ikut berperan dalam proses pendampingan dan perlindungan korban kekerasan seksual.

Selain itu, ada juga ketentuan yang melarang pelaku kekerasan seksual mendekati korban dalam jarak dan waktu tertentu selama berlangsungnya proses hukum. "Ketentuan ini menjadi ujung tombak keselamatan korban kekerasan seksual agar korban aman dan tidak harus melarikan diri dari pelaku," tulis JMS dan FPL dalam keterangan persnya.

Terakhir, undang-undang ini juga mengatur ketentuan tentang hak korban, keluarga korban, saksi, ahli dan pendamping untuk memastikan pemenuhan hak korban dalam mendapatkan keadilan, pemulihan, dan perlindungan.

Mengapa pembahasan UU TPKS sampai berlangsung bertahun-tahun?

Koordinator Advokasi Kebijakan Asosiasi LBH APIK Indonesia, Ratna Batara Munti, menilai pembahasan RUU TPKS di DPR kali ini sangat berbeda dengan periode sebelumnya.

"Hampir tidak ada resistensi terhadap RUU TPKS seperti periode lalu. Tidak ada lagi hoaks yang beredar. Pembahasan kali ini begitu kondusif dan positif, 14 anggota panja yang terus hadir hingga akhir, menyampaikan pandangannya secara konstruktif, dan terbuka menerima masukan dari masyarakat sipil," kata Ratna pada 6 April lalu.

Undang-undang terkait kekerasan seksual pertama kali diinisiasi Komnas Perempuan pada 2012, dengan nama awal RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS). Namun, baru meminta naskah akademiknya pada 2016, empat tahun setelahnya.

Di tahun yang sama DPR sepakat memasukkannya ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas. Presiden Joko Widodo pun menyatakannya dukungannya.

Pada 2017, DPR sempat menyepakati RUU PKS sebagai RUU inisiatif DPR. Namun, pada 2018, DPR memutuskan menunda pembahasan RUU yang dinilai kontroversial itu hingga Pemilu 2019 selesai.

Pembahasan RUU PKS pun tidak selesai di masa periode 2014-2019 dan akhirnya dilanjutkan ke DPR periode 2019-2024.

Sampai 2020, pro dan kontra masih mewarnai perjalanan RUU tersebut. Bahkan empat fraksi di DPR masih tidak mendukung RUU PKS masuk dalam Prolegnas 2021, hanya lima fraksi saja yang mendukung. Fraksi yang keras menolak adalah PKS, sementara PPP, PAN, dan Demokrat, tidak secara tegas menyatakan diri mendukung RUU PKS.

Sempat juga ada kabar bahwa pembahasan RUU itu bakal dicabut dari prolegnas oleh Komisi VIII, yang saat itu ditunjuk sebagai pembahas RUU PKS. Namun, kabar itu dibantah oleh ketua komisi VIII dan mengatakan pembahasannya akan diserahkan ke Badan Legislasi (Baleg).

PKS yang konsisten menentang

Dalam perjalanannya, RUU PKS sempat mendapat `perlawanan` dari fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), bahkan sampai detik-detik RUU TPKS disahkan menjadi undang-undang.

Merujuk pada draf 2016, fraksi PKS mempermasalahkan frasa "persetujuan untuk melakukan hubungan seksual" atau sexual consente. Hal itu, menurut PKS, harusnya tetap dilarang untuk mereka yang belum resmi menikah.

Partai itu juga mempermasalahkan naskah akademik RUU yang menjelaskan mengenai kekerasan seksual atas dasar pilihan orientasi seksual berbeda. Mereka juga keberatan dengan pasal mengenai pemaksaan aborsi dan pemaksaan perkawinan.

Sejumlah kelompok juga sempat menentang RUU ini yang mereka sebut "mendukung zina dan LGBT".

Anggapan seperti ini sudah berulang kali dibantah oleh pengusul RUU PKS dan Komnas Perempuan.

PKS juga tidak setuju dengan nama RUU PKS. Partai itu menyarankan nama RUU diubah, tidak menyebut kekerasan seksual tapi kejahatan seksual. Tujuannya, agar fokus pada tindak kejahatan seksual, yaitu perkosaan, penyiksaan seksual, penyimpangan perilaku seksual, pelibatan anak dalam tindakan seksual, dan inses.

Pada September 2021, panja DPR memutuskan mengganti nama itu. RUU PKS pun berubah menjadi RUU TPKS. Penggantian nama itu, kata DPR, sudah didiskusikan dengan berbagai elemen masyarakat.

[removed]!function(s,e,n,c,r){if(r=s._ns_bbcws=s._ns_bbcws||r,s[r]||(s[r+"_d"]=s[r+"_d"]||[],s[r]=function(){s[r+"_d"].push(arguments)},s[r].sources=[]),c&&s[r].sources.indexOf(c)<0 t=e.createElement(n);t.async t.src=c;var a=e.getElementsByTagName(n)[0];a[removed].insertBefore(t,a),s[r].sources.push(c)}}(window,document,>