Rencana Taman Nasional Komodo Ditutup, Apakah Gara-gara Turis?

Pemprov NTT mengklaim keberadaan pengunjung yang membludak di TN Komodo ini secara tidak langsung mengganggu habitat hewan berdarah dingin ini. - Getty Images
Sumber :
  • bbc

Rencana penutupan sementara Taman Nasional Komodo pada 2020 terus bergulir.

Kepala Balai Taman Nasional Komodo (BTNK), Lukita Awang, mengatakan rencana tersebut masih dalam proses pengkajian.

"Masih dikaji dulu. Sabar dulu. Ini masih ada waktu April, Mei, Juni. Nanti Juli kita laporkan rekomendasi kita. Nanti kita putuskan," kata Lukita Awang tanpa mau menyebut hal-hal yang dikaji oleh tim, Rabu (03/04).

Tim terpadu kajian penutupan sementara TN Komodo ini melibatkan Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE), Pemprov Nusa Tenggara Timur, dan Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat.

Menjamin mangsa utama komodo

Dalam rapat tim terpadu yang digelar Februari lalu, poin yang diputuskan adalah ketersediaan rusa sebagai mangsa utama komodo.

KSDAE memperkirakan terdapat 3.900 rusa yang hidup di Pulau Komodo. Jumlah ini akan ditingkatkan dengan menekan jumlah perburuan rusa.

Salah satu caranya, menurut Juru Bicara Pemprov NTT, Marius Jelamu, adalah melalui pengaturan pintu masuk jalur kapal dan penjualan tiket masuk menuju TN Komodo.

Pada penghujung tahun lalu, kepolisian meringkus aksi perburuan ratusan rusa dan kerbau liar di Pulau Komodo. Setelah diburu dengan cara ditembak, rusa dan kerbau liar itu dibawa dengan kapal laut ke Nusa Tenggara Barat.

Cara lain adalah mengatur arus wisatawan.

"Termasuk regulasi, tata cara atau keluar-masuknya, tidak hanya penumpang, tidak hanya wisatawan, tetapi kapal-kapal wisata, kapal-kapal pesiar, pintu masuk dan sebagainya," kata Marius kepada wartawan Muhamamd Irham yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Rabu (03/04).

Pemprov NTT, sambung Marius, bakal menaikkan tiket masuk TN Komodo untuk wisatawan asing sebesar US$500 dan wisatawan lokal US$100.

Semula tiket masuk TN Komodo untuk wisatawan asing sebesar Rp150 ribu dan wisatawan lokal Rp5 ribu.

"Ini salah satu cara untuk mencegah mass tourism," lanjut Marius.

`Keberadaan turis ganggu habitat komodo`

Marius mengklaim keberadaan pengunjung yang membludak di TN Komodo ini secara tidak langsung mengganggu habitat hewan berdarah dingin ini.

"Gerak gerik pengunjung yang banyak itu, tidak memberikan perlindungan yang baik kepada satwa ini," katanya.

Berdasarkan data yang dirilis Ditjen KSDAE, jumlah pengunjung ke TN Komodo meningkat dua kali lipat dalam kurun waktu lima tahun terakhir.

Pada 2014 jumlah pengunjung mencapai 80.626, lalu meningkat menjadi 95.410 pada 2015. Lalu, 2016 jumlahnya menjadi 107.711 pengunjung, 2017 sebanyak 125.069 pengunjung dan 2018 sebanyak 159.217 pengunjung.


Komodo hidup di lima pulau di Indonesia. - Science Photo Library

Apakah turis berpengaruh pada populasi komodo?

Akan tetapi, sebagaimana dipaparkan Evy Arida selaku peneliti komodo dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), keberadaan turis tak terlalu berdampak terhadap populasi komodo. Sebab keberadaan turis hanya sementara menempati TN Komodo.

"Kalau turis kan datang-pergi, datang-pergi. Tetapi yang tetap di situ, merambah, membuat pemukiman bertahun-tahun beranak-pinak, dan populasi manusianya semakin besar," kata Evy, Rabu (03/04).

Berdasarkan laporan yang diterima Evy, permukiman penduduk di Pulau Rinca justru bisa membuat komodo bertahan hidup dengan mendapatkan pakan alternatif. Komodo kerap makan ternak warga dan ikan-ikan yang sedang dijemur.

"Bisa jadi karena tidak ketemu rusa dua hari saja. Karena rusanya sedang migrasi ke tempat lain. Nah, di situ ada jemuran ikan ya ambil saja. Jadi saya pikir ada juga sifat opportunitis dari komodo," lanjutnya.

Komodo mengambil pakan alternatif di permukiman warga bisa menimbulkan konflik dengan manusia. Karena itu perlu berbagai pihak duduk bersama untuk menyelesaikan persoalan ini.

"Kita cari solusi bagaimana caranya komodo dan manusianya, biar sama-sama happy," katanya.

Mengapa populasi komodo fluktuatif?

Data Ditjen KSDAE menunjukkan jumlah komodo fluktuatif dalam lima tahun terakhir.

Pada 2014, populasi komodo mencapai 3.039 ekor, lalu tahun berikutnya turun menjadi 3.012 ekor.

Penurunan cukup drastis terjadi pada 2016 ketika komodo hanya teridentifikasi berjumlah 2.430 ekor.

Namun, jumlahnya kembali meningkat pada 2017 yaitu 2.884 ekor dan bertambah menjadi 2.897 ekor tahun lalu.

Menurut Evy, banyak faktor penentu fluktuasi populasi komodo, salah satunya sifat kanibalisme dari kadal raksasa tersebut.

"Komodo itu kanibal, makan sendiri anaknya. Itu sangat wajar. Sebelum umur dewasa, anak komodo itu rentan dimakan oleh jantan yang sudah dewasa," kata Evy sambil mengatakan penurunan populasi harus dilihat dari tren pola hidup komodo.

Faktor lain yang berpengaruh terhadap populasi komodo adalah perbandingan antara jantan dan betina.

Dalam habitatnya, jumlah komodo betina lebih sedikit ketimbang jantan, dengan rasio 4:1.

"Terus mereka juga sifatnya monogami. Tidak sembarang jantan bisa mengawini betina. Yang betina itu cenderung memilih hewan jantan yang besar, yang kecil-kecil dia tidak terima," kata Evy Arida.

Lebih lanjut, Evy berharap tim terpadu mengeluarkan rekomendasi berdasarkan hasil penelitian ilmiah terkait rencana penutupan sementara TN Komodo.

"Kajiannya sangat perlu untuk melihat arah konservasinya," katanya.

Awal tahun ini, keinginan Gubernur Nusa Tenggara Timur, NTT, Viktor Laiskodat, menutup sementara TN Komodo memicu polemik.

Sebagai pemegang otoritas atas keberadaan TN Komodo, Ditjen KSDAE kemudian membentuk tim terpadu bersama Pemprov NTT dan Manggarai Barat.

Tim bekerja untuk mengkaji keberadaan TN Komodo dengan batas waktu Juli mendatang.

Hasil kajian akan menjadi rekomendasi bagi Menteri KLHK, Siti Nurbaya, untuk tetap membuka atau menutup sementara TN Komodo pada 2020 mendatang. (ann)