Begini Susahnya Indonesia Bikin Obat Sendiri

Pekerja pabrik farmasi tengah mengawasi pengemasan obat.
Sumber :
  • ANTARA/Andika Wahyu

VIVA.co.id – Indonesia disayangkan masih kesulitan membuat obat sendiri. Kemampuannya baru sebatas memproduksi, karena bahan aktifnya masih tergantung impor. Padahal, Indonesia memiliki keanekaragaman hayati terbesar di dunia setelah Brasil.

Menurut Peneliti Balai Bioteknologi dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Danang Waluyo, menciptakan obat membutuhkan waktu antara 10-15 tahun. Selain itu, memerlukan kemampuan (effort) sumber daya, baik kemampuan (skill) maupun pendanaan (budget), mengembangkan obat.

Sebenarnya, Danang mengungkapkan, Indonesia bisa mandiri membuat obat, karena memiliki keunggulan pada sumberdaya alam, yakni memanfaatkan keanekaragaman hayati.

"Kita memiliki biodiversitas keragaman hayati, kedua terbesar setelah Brasil. Itu keunggulan kita," kata Danang di Gedung BPPT Jakarta, Senin 21 Agustus 2017.

Oleh karena itu, untuk menuju kemandirian dalam pembuatan obat, pihaknya bekerjasama dengan Japan International Cooperation Agency (JICA) dan Japan Agency for Medical Research and Development (AMED), menggelar simposium internasional membahas persoalan obat-obatan.

Seperti diketahui, dalam dua tahun terakhir, BPPT telah memulai mencari inovasi pengobatan dari bahan alam. Yakni, mikroba atau bakteri dimanfaatkan untuk pengobatan malaria dan diare.

Hingga tiga tahun ke depan, Danang berharap sudah didapatkan senyawa kandidat. Senyawa kandidat ini didapatkan dari ekstrak mikroba yang memiliki potensi senyawa aktif.

Selanjutnya, untuk menciptakan obat pengembangan bisa dilanjutkan, seperti, ke perusahaan farmasi. Riset BPPT didanai oleh kedua lembaga asal Jepang itu yang mencapai Rp32,9 triliun. (ren)