Tak Kalah Bahaya, TBC Perlu Penanganan Serius di Tengah Pandemi

dokpedia - ilustrasi penderita TBC
Sumber :
  • U-Report

VIVA – Penanggulangan penyakit Tuberculosis (TBC) perlu mendapat perhatian serius di tengah pandemi COVID-19. Selain banyaknya pengidap TBC di Indonesia, dampak yang ditimbulkannya pun berbahaya. 

Berdasarkan data yang dirilis pada 2019, World Health Organization (WHO) menempatkan Indonesia pada peringkat ketiga di dunia kasus TBC terbanyak, setelah India dan Tiongkok (2,4 juta kasus dan 889 ribu kasus). 

WHO mencatat kasus TBC di Indonesia mencapai 845 ribu, sekitar 24 ribu kasus resisten obat. Dari angka tersebut, hanya 69 persen atau sekitar 540 ribu kasus yang ditemukan dan diobati. Total kematian mencapai 98 ribu jiwa.

Baca juga: Waspada Mom, Kematian Anak karena COVID-19 di Indonesia Tinggi

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI, Achmad Yurianto menekankan pentingnya penanganan TBC ini semestinya bukan hanya sebagai masalah sektoral namun nasional. 

"Di Indonesia bukan hanya masalah Kemenkes, tapi masalah negara," ujar Yurianto dalam Editor Meeting “Kondisi Pemberitaan Penanganan TBC di Indonesia di Masa Pandemi COVID-19” secara daring, yang digelar AJI Jakarta, Jumat, 2 Oktober 2020. 

Berkenaan ini, Yurianto menyebut, Presiden Joko Widodo pun sempat menyinggung agar persoalan TBC ini perlu segera menjadi perhatian negara lewat kebijakan atau regulasi. Seperti, Perpres guna mempercepat penanggulangan penyakit yang mudah menular ini, layaknya COVID-19.

Sosialisasi menyoal TBC yang efektif pun perlu didorong lebih efektif. Menurutnya, para pemangku kebijakan juga perlu menggaet berbagai pemangku kebijakan untuk turut menyosialisasikan kesadaran atas TBC seperti sosialisasi pencegahan TBC sesuai bahasa lokal masyarakatnya. 

Baca juga: Kerja Tak Kenal Waktu, Raffi Ahmad Akui Enggak Takut Meninggal

"Untuk menjawab permintaan masyarakat terhadap informasi (TBC), dari kita tak memaksakan harus berbahasa Indonesia misalnya,"  ujarnya.

Direktur Eksekutif Stop TB Partnership Indonesia (STPI), Henny Akhmad mengatakan di tengah pandemi COVID-19 masalah TBC semakin terpinggirkan. Bahkan, kampanyenya seolah mundur akibat atensi masyarakat yang lebih berfokus ke COVID-19

"Karena COVID-19, (TBC) jadi mundur 4 atau 5 tahun lalu. Bukan berarti beban penanganan TBC berkurang drastis karena ribuan kasus tidak ditemukan, tapi karena semua layanan fokus ke Covid-19," tuturnya.. 

Senada, Pegiat di Yayasan pejuang Tangguh TB-RO (PETA) Jakarta, Binsar Manik mengatakan para pasien TBC mengalami tantangan yang semakin berat di masa pandemi ini. Bukan saja banyaknya rumah sakit yang beralih untuk menangani COVID-19, namun juga memengaruhi psikologi pasien yang cemas untuk berobat. 

"Padahal, kalau berobat (TBC) seharusnya tidak boleh ditunda. Tapi mereka lebih memilih untuk tidak keluar berobat yang dapat menyebabkan mereka ketemu pasien COVID-19," kata dia. 

Sebagai pendamping pasien TBC, Binsar juga mengalami kendala tersendiri. Selain karena protokol kesehatan Covid-19, namun juga komunikasi selama pandemi

"Mereka tidak punya alat komunikasi, mereka sulit bertemu dengan petugas karena dibatasi dengan kendala yang ada," ujarnya.

Jumlah pasien COVID-19 masih tinggi, maka jangan lupakan 3M: memakai masker, menjaga jarak dan hindari kerumunan, serta mencuci tangan.

#pakaimasker
#jagajarakhindarikerumunan
#cucitanganpakaisabun
#ingatpesanibu
#satgascovid19